Gerindra sudah memastikan mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pilpres 2019. Prabowo menyatakan kesediaan diperintah partainya sendiri maju dalam kontestasi lima tahunan itu, saat menyampaikan orasi politik di hadapan rapat koordinasi nasional (Rakornas) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Rabu (11/4/2018).
Sesuai prediksi banyak pengamat politik dan kalangan luas lainnya, Pilpres 2019 akan kembali berhadap-hadapan Prabowo vs Jokowi, mengulangi ajang Pilpres 2014 lalu. Setidaknya itu terlihat dari hasil survei sejumlah kembaga dalam beberapa bulan terakhir, di mana dua figur itu selalu leading, Jokowi paling atas dan disusul Prabowo di bawahnya.
Meski selisih elektabilitas Jokowi cukup jauh di atas, tapi banyak pengamat menilai, wajar Jokowi leading. Selain Jokowi menjadi santapan media dengan ragam kesibukannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Apalagi Jokowi rajin turun ke daerah selama dia menjabat dalam empat tahun terakhir.
Berbeda dengan Prabowo, yang lebih banyak menebar narasi dan orasi politik di momen-momen tertentu, sifatnya insidentil dan seremonial yang berkaitan dengan agenda dan kegiatan partainya.
Sesekali Prabowo melontar isu dan topik panas, sebagai bagian dari akumulasi sikap oposan partainya terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Paling mutakhir adalah isu bubarnya Indonesia pada 2030. Isu ini trendik dan ramai dibicarakan di Tanah Air.
Melihat situasi ini, dua figur yang dipastikan kembali bertarung, dengan konfigurasi usungan parpol yang cenderung mirip pada Pilpres 2014, kecuali Golkar yang sudah mantap begeser ke posisi Jokowi, akan menawarkan sesuatu yang membosankan bagi rakyat.
Perbedaan keduanya mungkin hanya akan di cawapres masing-masing. Prabowo cenderung akan memasang wajah baru sebagai cawapresnya. Jika 2014 dia bergandengan dengan Ketua Umumi PAN saat itu Hatta Rajasa, maka kali ini figur dari PKS sepertinya menjadi yang paling mungkin. Koalis Gerindra dan PKS yang sukses di Pilkada DKI Jakarta 2017 sepertinya menjadi pemulus koalisi nasionalis religius ini.
Begitu juga Jokowi, hampir dipastikan tak lagi berpasangan dengan Jusuf Kalla. Selain karena faktor konstitusi yang tak membolehkannya maju, juga pernyataan politik Jusuf Kalla yang mengatakan tak lagi ingin menjadi cawapresnya Jokowi, meski dia mengaku tetap mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Pertarungan ulangan dua figur ini pada Pilpres 2019 kelak, selain membosankan dan rawan pembelahan kohesifitas sosial rakyat, juga sebetulnya mengindikasikan tak berjalannya proses pelahiran pemimpin berkelas dan mumpuni di institusi politik kita, terutama parpol dalam beberapa tahun belakangan.
Ada kesan hanya Prabowo dan Jokowi sosok kader parpol terbaik di negeri ini. Padahal jika para elit parpol pengusung dua figur itu berani membuka ruang, bagi majunya kader internal cemerlang yang diyakini pasti ada satu dua. Untuk menyebut nama seperti Tri Rismaharini dari Surabaya, Muhaimin Iskandar dari PKB atau Agus Harimurti Yudoyono dari Demokrat.
Atau bahkan sosok eksternal yang mumpuni dari berbagai lembaga pemroduk pemimpin, seperti TNI, Polri, Kampus, Teknokrat, Birokrat, Ormas dan lain-lain, untuk sekadar menyebut nama Sri Mulyani, Gatot Nurmantyo, Mahfud MD, dll.
Tentu itu bagi parpol langkah "berisiko" ini menjadi investasi politik dan kepemimpinan ke depan, selain pula bagian edukasi politik bagi rakyat, betapa lembaga politik kita dan elit politik kita sejak awal terus mempersiapkan para calon pemimpin di negara ini.
Ada tiga parpol yang sejauh ini diprediksi membentuk poros ke tiga di luar Jokowi dan Prabowo, yakni Demokrat, PAN dan PKB. Poros ini sebetulnya sangat seksi dalam konteks menawarkan capres dan cawapres alternatif. Ketiga parpol itu memang sejauh ini belum memutuskan akan ke mana arah dukungan politik, belum ke Jokowi dan Prabowo.
Hanya saja, kubu pengusung Jokowi tampaknya sedang berusaha mengkandaskan poros ini. Pragmatisme politik kubu parpol pengusung Jokowi sebetulnya sedikit memuakkan jika bermaksud hanya akan menghadirkan pertarungan Prabowo vs Jokowi. Bahkan sempat mencuat ide capres tunggal.
Padahal, dari segi pengalaman Pilpres 2014 yang membelah rakyat dalam dua dukungan politik yang emosional hingga berlanjut ke parlemen dan kini tetap terasa dalam kehidupan pemerintahan, terjadi lantaran head to head tersebut.
Beruntung ada posisi politik penyeimbang yang dimainkan Demokrat dan SBY dalam empat tahun terakhir, sehingga oposan dan pemerintah tak jatuh dalam seteru penuh emosi. Ada semacam ice breaking bagi dua poros berbeda itu.
Nah, agar Pilpres 2019 sarat warna, menawarkan kemeriahan politik berpelangi, mengeliminasi sikap politik "kita" dan "mereka", lalu hadirnya poros alternatif, tentu amat berkelas dan bernaas jika Demokrat memainkan poros ke tiga secara kuat dan ngotot.
Visinya jelas, supaya Indonesia benar-benar tak bubar 2030, sebagai dampak rusaknya kohesi sosial akibat belahan dukungan politik nan emosional dua poros, yang masih terasa dari residunya Pilpres 2014 lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H