Cukup lama tak menonton aksi unjuk rasa di Balai Kota Jalan Merdeka, Siantar. Saat sering meliput, aksi unjuk rasa merupakan sebuah pemandangan biasa. Aksi adem pun aksi ricuh. Apa pun tipikal aksi selalu asyik dan sah. Pilihannya, apakah aksi berujung dialog atau menyesakkan.
Tadi siang, di bawah terik matahari, aksi unjuk rasa pedagang Pasar Horas didampingi para mahasiswa di depan gedung Walikota Siantar berkantor, menjadi frame siang yang menyesakkan.
Para mahasiswa dan pedagang berorasi sampaikan unek-uneknya melalui pengeras suara yang diamplipaier dari perangkat yang dibawa dari satu minitruk kap terbuka.
Mereka membawa poster dan spanduk. Menolak kebijakan Direksi PD Pasar Horas Jaya melakukan revitalisasi balerong gedung Pasar Horas, yang mereka nilai menindas pedagang kaki lima dan pemilik kios tempel di sana.
Matahari terik seperti mewakili pikiran dan hati para pendemo, manakala orang yang mereka minta menjawab tuntutan mereka, Hefriansyah tak berkenan hadir malah mengutus seorang pejabat sekelas asisten sekda.
Pendemo pun memaksa walikota hadir dan berusaha menaiki undakan gedung Balai Kota yang dijaga puluhan pria petugas Satpol PP yang rerata berbadan besar, meski ada juga beberapa perempuan di front hadap-hadapan dengan massa pendemo.
Terjadilah aksi dorong, antara petugas Satpol PP tegap-tegap dengan kelompok mahasiswa rerata berbadan sedang, namun bernyali garang. Di sana, beberapa mahasiswa berhasil didorong mundur.
Dalam insiden itu, ada seorang mahasiswi kena pukul wajah bagian kanan dan mengenai kupingnya yang kemudian berdengung keras. Bahkan seorang mahasiswi lain mengaku payudaranya (maaf) kena remas salah seorang petugas Satpol PP. Sengaja atau tidak masih perlu didalami.
Setelah aksi ricuh itu mereda, dua mahasiswi korban pukul dan remas dibawa ke rumah sakit. Â Berikutnya, mahasiswi itu pun membawa aksi banal yang mendera mereka ke meja polisi. Mereka minta pelaku diusut.
Di saat massa pendemo dan petugas Satpol PP saling dorong hingga tampak melelahkan begitu di tengah guyuran terik  panas membakar, imaji melayang : betapa seorang walikota tak peduli dengan orang-orang yang tengah berantuk.
Padahal, jika saja dia datang dan berbicara baik-baik, situasi mencemaskan dan rentan diprovokasi oknum-oknum luar itu, tak akan terjadi. Tak akan ada mahasiswa kena bogem dan kena remas. Tak ada petugas tampak sangat kepayahan akibat fisiknya dikuras dan menerima hujatan orasi pendemo.
Di sana banyak polisi, polisi Pemko dan polisi Polres Siantar, siap sedia mengamankan jika walikota berani memberikan penjelasan. Atau kalau mau, minta perwakilan berdoalog di ruangan, membahas soal tuntutan warganya, yang dulu juga memilih Hefriansyah semasa Pilkada 2015-2016. Pendemo bukan warga Batubara, mereka adalah warga Siantar.
Namun imaji itu mendadak buyar. Walikota memang tak peduli, sebab dia tak di sana. Entah dia memahami apakah politik itu komunikasi atau politik itu cuma kekuasaan belaka.
Komunikasi buruk, memanen amuk. Ini kali kedua, Hefriansyah didemo dalam sebulan terakhir, akibat kebijakannya. Entah masih akan ada menyusul..Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H