Mohon tunggu...
Tigaris Alifandi
Tigaris Alifandi Mohon Tunggu... Teknisi - Karyawan BUMN

Kuli penikmat ketenangan. Membaca dan menulis ditengah padatnya pekerjaan | Blog : https://tigarisme.com/ | Surel : tigarboker@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menguji Relevansi Wartawan Baik dengan Prestasi Timnas

26 November 2018   07:46 Diperbarui: 29 November 2018   01:10 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
style.tribunnews.com

Artinya, parameter wartawan baik masih menjadi perdebatan. Batasan yang digunakan tidak hanya kode etik dan aturan terkait, namun juga sikap dan kepribadian dalam menjalankan tugas jurnalistik. Poin ini yang tidak bisa dinilai pasti karena latar belakang budaya serta pemahaman yang berbeda tiap individu.

Beda saya, beda anda, beda juga menurut Edy. Wartawan yang baik mungkin baginya adalah wartawan yang tidak melulu mengkritik kepemimpinannya di PSSI. Menggiring opini publik untuk "meng-kudeta" dirinya dari pucuk tertinggi PSSI. Harus berimbang, jangan jeleknya saja yang diramaikan.

Tunggu dulu, benarkah ada relevansi langsung wartawan baik dengan prestasi timnas??

Media Inggris terkenal sangat pedas mengkritik timnas. Ataupun subyek yang pantas dikritik. Macam Mourinho dan Wenger yang dianggap gagal. Namun, media Inggris juga hiperbolis ketika memberitakan tentang keberhasilan persepakbolaan. Macam fenomena Raheem Sterling yang disebut sebagai talenta emas sepakbola di awal kemunculannya di Liverpool. Atau kesombongan perihal Inggris yang dianggap akan menang mudah lawan Kroasia di semifinal Piala Dunia Rusia Juli lalu. Keduanya tentu bak pisau bermata dua. Ada efek baik dan buruknya.

Hasilnya, Inggris masih belum meraih satu gelar mayor sejak mereka Juara Dunia di tahun 1966. Tapi, keberhasilannya lolos ke semifinal Piala Dunia lalu saya rasa karena mereka mulai serius menggarap pembinaan pada tingkatan akar rumput. Apalagi setelah mereka serius membangun St. Georges Park, sebagai pusat pengembangan pembinaan sepakbola.

Apakah Prancis menjadi juara Piala Dunia 2018 karena wartawan mereka baik. Apakah Jerman dan Spanyol mendominasi persepakbolaan dunia karena wartawan mereka jarang mengkritik. Apakah Portugal meraih gelar Piala Eropa pertamanya pada 2016 lalu karena wartawan mereka menganut prinsip "ABS" (Asal Bapak Senang) untuk presiden federasinya.

Nyatanya, wartawan baik tidak linear dengan prestasi timnas. Pembinaan akar rumput dan pengelolaan kompetisi domestik lah yang sangat menentukan keberhasilan timnas.

Kontinuitas regenerasi timnas Jerman terjaga karena pembinaan dan iklim Bundesliga yang mengakomodasi berkembangnya pemain muda. Prancis meraih Piala Dunia pertamanya pada 1998 setelah mereka membangun Clairefontaine sebagai pusat riset sepakbola mereka sepuluh tahun sebelumnya. Dan mereka sekarang menikmati generasi emas sepakbola bertabur bintang muda. Spanyol selalu percaya pada filosofi Tiki-Taka yang mengantar mereka meraih tiga gelar mayor beruntun pada kurun waktu 2008-2012. Belanda dengan filosofi Total Football yang mendarah daging dan pembinaan pemain muda yang terstruktur. Italia dengan universitas pelatih dan direktur olahraga terbaik di dunia, di Coverciano. Brazil dan Argentina dengan budaya sepakbola yang kental.

Banyak jalan menuju Roma. Banyak cara untuk meraih prestasi persepakbolaan. Ada yang merevitalisasi infrastruktur, ada yang mengubah sistem dan kurikulum pembinaan, ada yang mempertahankan tradisi positif yang erat dengan sepakbola.

Pembinaan sepakbola kita menganut prinsip piramida. Jadi, kalau yang bawah tidak ada pondasi yang bagus, di puncak pun kita akan meraih hasil yang tidak memuaskan. Tugas pihak di puncak inilah yang membentuk sistem yang baik bagi pondasi di bawah. PSSI, klub dan seluruh stakeholder yang bisa mengubah sistem yang ada. Bukan seorang Indra Sjafri yang blusukan, bukan Fachri Husaini yang turun, bukan Luis Milla yang menjadi filsuf sepakbola Indonesia.

Perlu gerakan serentak agar prestasi sepakbola kita membaik. Berapa kali ganti ketum, dari Nurdin Halid sampai Edy Rahmayadi. Toh tetap saja stagnan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun