Mohon tunggu...
Tigaris Alifandi
Tigaris Alifandi Mohon Tunggu... Teknisi - Karyawan BUMN

Kuli penikmat ketenangan. Membaca dan menulis ditengah padatnya pekerjaan | Blog : https://tigarisme.com/ | Surel : tigarboker@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menguji Relevansi Wartawan Baik dengan Prestasi Timnas

26 November 2018   07:46 Diperbarui: 29 November 2018   01:10 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
style.tribunnews.com

"Wartawannya yang harus baik. Kalau wartawan baik, timnasnya juga baik", ujar Edy Rahmayadi ketika ditanya mengenai kegagalan Timnas Indonesia lolos dari fase grup di Piala AFF 2018 ini.

Antara kesal dan tidak tahan mungkin. Ketum PSSI yang juga sekarang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara itu menjawab dengan nada acuh kala itu. Mengingat kritik pedas dan desakan dirinya untuk mundur semakin deras mengalir terutama dari warganet yang konon mahabenar. Gelombang dukungan #EdyOut semakin menjadi ketika Timnas kalah dari Singapura dan Thailand pada fase grup AFF beberapa waktu lalu.

Tekanan yang diterima Edy memang begitu keras. Bagaimana media kita sangat radikal melancarkan kritik atas dirinya yang dianggap tidak layak lagi memimpin PSSI. Beruntung memang, "Papa" Edy masih agak sabar menanggapi hal tersebut meskipun dalam kondisi tertentu terlihat "ngegas". Andai dia temperamental macam Donald Trump, banyak wartawan yang akan bernasib serupa dengan Jim Acosta dari CNN.

Tak hanya media Indonesia, bahkan Fox Sports Asia pun menuliskan bahwa argumen yang dilontarkan Edy sebagai "ridiculous reason" untuk kegagalan ke empat Indonesia lolos dari fase grup AFF sepanjang keikutsertaannya. Konyol memang.

Ditambah lagi hasil imbang pada laga yang tidak menentukan lagi tadi malam. Alih-alih mempersembahkan perpisahan yang manis, justru sebaliknya. Sepanjang laga fans timnas yang memadati GBK menyanyikan chant "wartawan harus baik" sebagai kritik atas pernyataan Edy.

Ya, lumayan lah. Masih ada sekitar limabelas ribuan orang yang menonton tadi malam di GBK. Tagar #kosongkanGBK membukukan prosentase keberhasilan 80%. Dari target 77 ribu kursi kosong, menjadi 62 ribu kursi kosong.

Wartawan Baik Tidak Linear dengan Prestasi Timnas

Kembali lagi pada pokok persoalan yang ingin saya bahas. Apakah ada relevansi antara wartawan baik dengan timnas yang berprestasi??? Apakah keduanya menunjukkan hubungan yang linear???

Penekanan di sini adalah "wartawan yang baik". Jika kita ketik di Google kata kunci penelusuran "good journalist", maka muncul sederet kriteria yang menunjukkan kualifikasi baik bagi seorang wartawan.

Wartawan baik disini tidak hanya menyangkut kompetensi di bidang jurnalistik yang mumpuni, namun juga terkait sikap dan perilaku yang tentunya dibatasi oleh kode etik yang berlaku. Bisa jadi anda tidak setuju dengan argumen saya ini.

Artinya, parameter wartawan baik masih menjadi perdebatan. Batasan yang digunakan tidak hanya kode etik dan aturan terkait, namun juga sikap dan kepribadian dalam menjalankan tugas jurnalistik. Poin ini yang tidak bisa dinilai pasti karena latar belakang budaya serta pemahaman yang berbeda tiap individu.

Beda saya, beda anda, beda juga menurut Edy. Wartawan yang baik mungkin baginya adalah wartawan yang tidak melulu mengkritik kepemimpinannya di PSSI. Menggiring opini publik untuk "meng-kudeta" dirinya dari pucuk tertinggi PSSI. Harus berimbang, jangan jeleknya saja yang diramaikan.

Tunggu dulu, benarkah ada relevansi langsung wartawan baik dengan prestasi timnas??

Media Inggris terkenal sangat pedas mengkritik timnas. Ataupun subyek yang pantas dikritik. Macam Mourinho dan Wenger yang dianggap gagal. Namun, media Inggris juga hiperbolis ketika memberitakan tentang keberhasilan persepakbolaan. Macam fenomena Raheem Sterling yang disebut sebagai talenta emas sepakbola di awal kemunculannya di Liverpool. Atau kesombongan perihal Inggris yang dianggap akan menang mudah lawan Kroasia di semifinal Piala Dunia Rusia Juli lalu. Keduanya tentu bak pisau bermata dua. Ada efek baik dan buruknya.

Hasilnya, Inggris masih belum meraih satu gelar mayor sejak mereka Juara Dunia di tahun 1966. Tapi, keberhasilannya lolos ke semifinal Piala Dunia lalu saya rasa karena mereka mulai serius menggarap pembinaan pada tingkatan akar rumput. Apalagi setelah mereka serius membangun St. Georges Park, sebagai pusat pengembangan pembinaan sepakbola.

Apakah Prancis menjadi juara Piala Dunia 2018 karena wartawan mereka baik. Apakah Jerman dan Spanyol mendominasi persepakbolaan dunia karena wartawan mereka jarang mengkritik. Apakah Portugal meraih gelar Piala Eropa pertamanya pada 2016 lalu karena wartawan mereka menganut prinsip "ABS" (Asal Bapak Senang) untuk presiden federasinya.

Nyatanya, wartawan baik tidak linear dengan prestasi timnas. Pembinaan akar rumput dan pengelolaan kompetisi domestik lah yang sangat menentukan keberhasilan timnas.

Kontinuitas regenerasi timnas Jerman terjaga karena pembinaan dan iklim Bundesliga yang mengakomodasi berkembangnya pemain muda. Prancis meraih Piala Dunia pertamanya pada 1998 setelah mereka membangun Clairefontaine sebagai pusat riset sepakbola mereka sepuluh tahun sebelumnya. Dan mereka sekarang menikmati generasi emas sepakbola bertabur bintang muda. Spanyol selalu percaya pada filosofi Tiki-Taka yang mengantar mereka meraih tiga gelar mayor beruntun pada kurun waktu 2008-2012. Belanda dengan filosofi Total Football yang mendarah daging dan pembinaan pemain muda yang terstruktur. Italia dengan universitas pelatih dan direktur olahraga terbaik di dunia, di Coverciano. Brazil dan Argentina dengan budaya sepakbola yang kental.

Banyak jalan menuju Roma. Banyak cara untuk meraih prestasi persepakbolaan. Ada yang merevitalisasi infrastruktur, ada yang mengubah sistem dan kurikulum pembinaan, ada yang mempertahankan tradisi positif yang erat dengan sepakbola.

Pembinaan sepakbola kita menganut prinsip piramida. Jadi, kalau yang bawah tidak ada pondasi yang bagus, di puncak pun kita akan meraih hasil yang tidak memuaskan. Tugas pihak di puncak inilah yang membentuk sistem yang baik bagi pondasi di bawah. PSSI, klub dan seluruh stakeholder yang bisa mengubah sistem yang ada. Bukan seorang Indra Sjafri yang blusukan, bukan Fachri Husaini yang turun, bukan Luis Milla yang menjadi filsuf sepakbola Indonesia.

Perlu gerakan serentak agar prestasi sepakbola kita membaik. Berapa kali ganti ketum, dari Nurdin Halid sampai Edy Rahmayadi. Toh tetap saja stagnan.

Salam Olahraga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun