Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ronde Malam (Cerbung Bagian 2)

11 Juli 2020   15:05 Diperbarui: 11 Juli 2020   15:01 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita bagian 1:

Tubuh wanita 30an itu sudah separuh yang terlihat. Daster transparannya tidak lagi benar menutup sebagian tubuhnya.

Bekas-bekas kemolekan seorang Wiwik, bunga kampung, masih nampak jelas. Padahal, tidak ada perawatan khusus yang ia lakukan. Jangankan ke salon, merawat kuku pun sering ia tinggalkan. Kemolekannya, masih belum ada yang menandingi dalam kurun waktu satu dasa warsa ini. Setidaknya untuk sedesa.

"Wik, mbok kalau ada kaji Dullah yang biasa saja...".

Mata lelah Wiwik membanting kesana kemari, mencari ruang yang pas untuk menumpahkan rasa hati. Bukan tidak ada tempat untuk menempatkan fokus tatapan, tetapi habis sudah setiap sudut dapur sederhana rumah tua ayahnya ia titipi butir-butir air mata.

Wanto 11 tahun sudah, kurang dua bulan genap berusia 12 tahun. Hampir selama itu, bening kelopak gadis wiwik melelehkan kesedihan. Gurat kecantikan tak juga beranjak dari putri tunggal mantan petinggi desa.

Jauh sebelum ada kegetiran, ia perawan idaman. Status sang Bapak memperkuat nilai idaman yang sudah dimilikinya. Sebab itu pula, puluhan perjaka gemetaran membangun keberanian untuk menyentuhnya.

Sisa-sisa kebesaran itu, sebagian telah redup. Tetapi, keredupan itu telah melahirkan kemolekan yang lain. Mungkin sudah garis hidupnya, ia ditakdirkan memiliki kekuatan aurora cinta bagi lawan jenisnya.

Cinta pertamanya kandas di ujung keputusan orang tua. Ia harus mengubur rasa itu bersama jasad yang terbujur kaku. Ikhsan, menjemput ajal diperantauan, menggenggam sejuta kasih sayang. Pemuda desa yang dulu sedang naik daun potensi sepak bolanya.

"Kamu tidur saja Wik, kamu lelah...". Membuyarkan lamunan wiwik yang tanpa sadar sudah bersimpuh dipangkuan si Mbok.

Ia tak berhasrat memenuhi ucapan maknya. Membiarkan tangan keriput mengusap wajah basah air mata. Nafas tak lagi menghentak! Jemari lentik, dengan sebuah cincin mungil menggenggam erat lengan Mbok. Pagi yang hampa.

"Aku ngga menyangka apapun dengan kaji Dullah, Nduk. Tapi seperti itulah perasaan ku was-was saja". Timpal si Mbok, seperti ingin menjernihkan maksud ucapannya.

Wiwik tetap tidak bergeming, ia cengkeram sekuatnya lengan emak, seraya membenamkan kepala di pangkuan.

Wajah tua, Mbok, mencium kening anaknya. Lama.

"Apa ada kabar tidak enak toh Mbok, tentang kaji Dullah?", Wiwik bersuara.

"Mbok tidak mendengar kabar apapun Nduk...", bisik emak lirih ke telinga Wiwik.

"Jangan bohong, Mbok...", desak Wiwik.

"Aku tidak akan bohong pada kamu?".

"Cuma was-was saja kan?", cecar Wiwik lagi.

"Iya...".

Si Mbok mengangkat kepala Wiwik. Kelelahan terlihat di dahinya. Ia tinggalkan Wiwik sendirian.

Wiwik, terdiam. Membiarkan tubuhnya terbujur manja di atas dipan dapur. Tidak juga berhasrat untuk membenahi lekuk-lekuk tubuh yang polos tak tertutupi daster transparannya.

Dada yang besar tidak nampak gerakan cepat nafas gelisah. Entah, ia terlelap, atau sedang menimbun getir angan-angan atas perjalanan hidup sendirinya.

Pagi semakin beranjak naik, dapur tua itu lengang menenani telentangnya tubuh perempuan.

Cinta pertamanya kandas di ujung keputusan orang tua. Ia harus mengubur rasa itu bersama jasad yang terbujur kaku. Ikhsan, menjemput ajal diperantauan, menggenggam sejuta kasih sayang. Pemuda desa yang dulu sedang naik daun potensi sepak bolanya...".

---

"Abaikan rasa itu...!".

Jauh Iksan melangkah pagi ini. Kata itu terus mengejarnya, di tengah gejolak kesungguhan hati meraba kasih mawar desa. Jika itu sebuah keputusan, berat nian harus menutup panjang jalan melumat debar kisah.

Iksan, bisa memahami ketajaman mata Wiwik mengulang kata-kata itu, usai tiga hari sebelumnya, sang ayah memintanya juga. Ketajaman mata itulah yang menancap diujung hatinya. Yang kini berusaha diguncang-guncang permohonan tegas dari sang ayah, petinggi desa, sang orang tua.

Jalan desa yang terjal nan berkelok, Iksan jejaki untuk meminta sedekah bantuan rasa atas kenang indah yang pernah dinikmati bersama perindu hati, Wiwik. Memar mata Iksan setiap kali ia membuka langkah sembari meretas sudut-sudut jalan yang tertimbun kenang.

Pada sebuah balai, di pinggir selokan kecil, pinggir desa ia merebahkan diri!

"Aku tidak bisa melawan dilema ini, Mas...", Wiwik, mengusap lembut ubun-ubun Iksan.

Lajang itu membisu, tak juga hendak menatap wajah Wiwik yang bersimbah butir air mata. Iksan lebih senang meremas rambut Wiwik, yang terurai menutup dadanya.

Sore yang sepi.

"Mas, mungkin bukan sekarang waktunya untuk kita. Masih ada kesempatan", bisik Wiwik di telinga perjaka kekasihnya.

"Aku takut waktu malah melupakan kita, Wik...", sambut Iksan menjamah butiran air mata yang meleleh di sekujur pipi putih, sang kekasih.

"Setidaknya aku yang meyakini kita masih punya kesempatan itu, Mas".

"Aku juga, Wik. Aku juga...", bisik Iksan lugas.

Gadis itu, tersenyum, manja. Ia kecup tangan yang merebah dipipinya, dalam dan lama.

Sore hampir menghilang. Kabut tebal khas nuansa pedesaan mulai menyelimuti rupa teduh seluruh desa. Sejoli itu, memandang harap malam akan terus ramah dalam menggenggam cintanya.

Sore, yang akan semakin sibuk untuk menata perjalanan rindu.

"Aku akan meminta ke Dia, ... keajaiban Dik!".

Wiwik menggenggam erat genggaman tangan Iksan. Satunya lagi menyentuhkan telunjukknya ke bibir sang kekasih berharap Iksan merasakan detak jiwa yang ia rasa dan berdiam menikmati detak itu.

Sore, merangkak naik. Membiarkan keduanya membatu di huma bambu tempat keduanya menancapkan kesetiaan. Di antara rerimbun alang-alang, di gemericik sungai kecil batas desa.

Lamat-lamat adzan maghrib berkumandang. Menyadarkan keduanya jika malam telah tiba. Lelah mata keduanya melumpuhkan gairah bunga-bunga semak tuk mengembang. Iksan meminta Wiwik untuk pulang. Deras air mata gadis desa itu, menjawabnya.

Kabut menenggelamkan suasana!

(...bersambung)

Kertonegoro, 

karya        : 7 Januari 2018
diposting  : 5 Juli 2020

Salam,
Akhmad Fauzi

*foto dari indokaskus.blogspot.com
*Nama, waktu, situasi, dan tempat hanya fiksi belaka 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun