Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Salah Mereka

16 Agustus 2016   10:59 Diperbarui: 16 Agustus 2016   11:20 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bisnis.liputan6.com

Bagi yang menyaksian talk show di sebuah televisi, antara pakar hukum internasional (Hikmahanto Juwono), mantan kepala BIN (AM Hendro P), dan anggota DPR RI dari fraksi PDI P (Effendi Simbolon) menyiratkan benar pernak-pernik warna wacana tentang tema kontroversi kewarganeraan Menteri ESDM, Archandra Tahar. Seperti itu pula wajah opini media (utamanya media sosial) atas kontroversi masalah kewarganegaraan tersebut.

 Kalau boleh saya petakan, berdasar dari talk show tersebut, ada tiga kelompok besar dalam menyikapi permasalahan kontroversi tersebut, yaitu : 

 1. Kelompok pro pemerintah, yang dibagi lagi menjadi tiga bagian. Yaitu a) pro dengan mengunakan logika dan dasar hukum, b) pro dengan segala dalih pembenaran menurut tafsirnya sendiri, c) pokoknya mendukung, baik dengan cara yang garang maupun cukup berdiam diri saja dalam membela kebijakan yang ada. Dalam Talk show tersebut, menurut saya, terlihat diwakili oleh AM Hendro P. Jika saya salah, saya mohon maaf.

 2. Kelompok tengah. Kelompok ini cenderung mengedepankan aturan dan hukum-hukum normatif yang berlaku di negari ini. Bagi saya, dalam talk show tersebut sangat diwakili oleh Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwono.

 3. Kelompok yang kontra. Semirip dengan yang pro, kelompok inipun juga dibagi tiga, punya dasar atas kontranya, asal menolak, dan garang atau terdiam dalam penolakannya. Efendi Simbolon lebih mewakili kelompok ini.

Terlepas dari setuju dan tidak setujunya pembaca atas simpulan sederhana saya ini, itulah fakta opini yang sekarang senantiasa bergulir di dunia opini bangsa ini. Yang jelas, apapun tema yang sedang hangat diperbincangkan, di media, opini-opini (yang ditulis penulis bebas) menyiratkan tiga kelompok besar tersebut. 

Ada yang membabibuta membela pengangkatan Menteri tersebut dengan segala dalih menurut tafsirannya sendiri. Kadang terasa hambar dengan sumber hukum dan aturan, lebih menyiratkan akan keberpihakan atas figur-figur dan kepentingan yang tersembunyi. Ada  juga yang memang memiliki data yang cukup  sebagai dasara untuk membenarkan atau menyalahkan atas kontoversi itu. Ada juga yang menolak, yang juga asal menolak.

Yang sangat memprihatinkan itu adalah, Gaya-gaya garang (baik menolak maupun mendukung tetapi tanpa dasar yang jelas) atau malah bersembunyi dengan penolakannya dan pembenaran yang dimiliki). 

Semakin memprihatinkan, ketika media (baik maenstream maupun sosial) malah memblow up kelompok-kelompok yang asal menolak atau asal membenarkan atas segala kebijakan yang ada. Jika kondisi gaya media semacam ini menggurita, sangat mungkin perjalanan sejarah berada dalam hukum rimba. Siapa yang kuat itulah yang menang.

Saya berharap sekali ada gerakan dari masyarakat yang menggugat dua jenis kolompok ini. Sekaligus juga menggugat media-media yang kurang ramah dengan idealisme pemberitaannya, berikut dengan pewacana yang cenderung mulai berani membolak-balikkan fakta dan aturan hukum negara dan agama. 

Menyasar siapa mereka, bagi saya bukan hal yang penting. Karena, seperti pernyataan banyak pakar informatika, gerakan ini senyap, tetapi terasa keberadaannya. Sebuah kelompok yang lebih cenderung mengusung kepentingan-kepentingan. 

Jadi, permasalahannya kan hanya satu, Apapaun kepentingan yang ada yang kemudian menjadi semangat untuk menolak dan membenarkan sebuah paradigma, sudah hal itu sesuai dengan tata aturan hukum bernegara?

Khusus untuk permasalah kewarganegaraan, jika kini Presiden telah mengambil sikap dengan memberhentikan dengan hormat Menteri ESDM tersebut, maka harus dibaca sebagai bagian yang tidak terpisahkan atas dialog-dialog dari wacana tersebut. 

Membaca dan menjabarkan ekses atas pemberhentian itu wajar. Menariknya menjadi kesalahan yang berujung pada pidana atau etika, itu juga wajar. Yang tidak wajar adalah mewacanakan kembali kebijakan Presiden tersebut dengan dasar-dasar yang tidak jelas, baik dengan berniat untuk membenarkan keputusan pemberhentian itu atau kembali menyalahkannya. 

Sangat tidak wajar jika negara sebesar Indonesia hanya gaduh oleh wacana dan opini yang tidak memiliki kekuatan dasar atas aturan hidup berbangsa dan bernegara. 

Menolak asal menolak atau membenarkan asal membenarkan, apalagi jika keduanya dibumbui dengan pengelabuan-pengelabuan wacana (bahkan data) dan di dukung kekuatan media, memungkinkan sekali fenomena itu menjadi bibit-bibit pembusukan akan proses pendewasaan hidup warganya.

Haruskah kita mendiamkan hal ini untuk menjadi budaya?

Sumber: www.tribunnews.com
Sumber: www.tribunnews.com
Archandra Tahar dan Gloria, dua sosok korban atas permainan wacana tanpa dasar itu. Dalih apapun yang akan dikemukakan, sejatinya keduanya tidaklah memiliki kesalahan. 

Jangan menjadikan korban-korban lain, dengan tema dan momen apapun. Mewacanakannya lebih dalam tanpa dasar yang sesuai aturan, tidak saja melukai keduanya, tetapi juga menghinakan bangsa ini.

Kelompok yang pro dan kontra, teruslah berwacana selama dasar pro dan kontranya mengerucut pada tata aturan kenegaraan. Mari perbanyak kelompok tengah, yang masih idealis membaca aturan negara (dan agama) sebagai sebuah kebenaran yang haq. Keduanya jika bisa bersinergi dengan baik akan bisa melibas mereka-mereka yang asal pro dan kontra dengan segala pengelabuannya.

Salam Indonesia jernih!

Kertonegoro, 16 Agustus 2016
Salam,

Akhmad Fauzi 

Ilustrasi gambar : 

1. gambar 1         : news.liputan6.com

2. gambar 2         : www.tribunnews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun