Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Salah Mereka

16 Agustus 2016   10:59 Diperbarui: 16 Agustus 2016   11:20 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bisnis.liputan6.com

Jadi, permasalahannya kan hanya satu, Apapaun kepentingan yang ada yang kemudian menjadi semangat untuk menolak dan membenarkan sebuah paradigma, sudah hal itu sesuai dengan tata aturan hukum bernegara?

Khusus untuk permasalah kewarganegaraan, jika kini Presiden telah mengambil sikap dengan memberhentikan dengan hormat Menteri ESDM tersebut, maka harus dibaca sebagai bagian yang tidak terpisahkan atas dialog-dialog dari wacana tersebut. 

Membaca dan menjabarkan ekses atas pemberhentian itu wajar. Menariknya menjadi kesalahan yang berujung pada pidana atau etika, itu juga wajar. Yang tidak wajar adalah mewacanakan kembali kebijakan Presiden tersebut dengan dasar-dasar yang tidak jelas, baik dengan berniat untuk membenarkan keputusan pemberhentian itu atau kembali menyalahkannya. 

Sangat tidak wajar jika negara sebesar Indonesia hanya gaduh oleh wacana dan opini yang tidak memiliki kekuatan dasar atas aturan hidup berbangsa dan bernegara. 

Menolak asal menolak atau membenarkan asal membenarkan, apalagi jika keduanya dibumbui dengan pengelabuan-pengelabuan wacana (bahkan data) dan di dukung kekuatan media, memungkinkan sekali fenomena itu menjadi bibit-bibit pembusukan akan proses pendewasaan hidup warganya.

Haruskah kita mendiamkan hal ini untuk menjadi budaya?

Sumber: www.tribunnews.com
Sumber: www.tribunnews.com
Archandra Tahar dan Gloria, dua sosok korban atas permainan wacana tanpa dasar itu. Dalih apapun yang akan dikemukakan, sejatinya keduanya tidaklah memiliki kesalahan. 

Jangan menjadikan korban-korban lain, dengan tema dan momen apapun. Mewacanakannya lebih dalam tanpa dasar yang sesuai aturan, tidak saja melukai keduanya, tetapi juga menghinakan bangsa ini.

Kelompok yang pro dan kontra, teruslah berwacana selama dasar pro dan kontranya mengerucut pada tata aturan kenegaraan. Mari perbanyak kelompok tengah, yang masih idealis membaca aturan negara (dan agama) sebagai sebuah kebenaran yang haq. Keduanya jika bisa bersinergi dengan baik akan bisa melibas mereka-mereka yang asal pro dan kontra dengan segala pengelabuannya.

Salam Indonesia jernih!

Kertonegoro, 16 Agustus 2016
Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun