Saya punya sahabat, tidak terlalu akrab. Tetapi selalu ketemu setiap hari. Tidak pernah menyapa kecuali sesekali. Kalau tersenyum, itu mesti. Terlahirlah puisi dari kesahajaannya, menimbun nilai baca hikmah atas ketabahannya. Sahabat bersyukurku yang selalu aku tunggu usai maghriban. Aku ingin istiqomah menemani ia pulang, walau satu dua batang rokok yang bisa aku berikan. Berdialog dengannya, seperti menampar diri, karena terlalu banyak obsesi diri ini. Nyatanya, sedikit saja saya ajak bercanda, lepas tawanya. Aku tidak menemukan susah walau mungkin ada.
.....
Umurku duapuluh lima
Aku manusia
Tetapi sudah lupa apa itu kaya
Aku bekerja
Belajar dari warisan ayah mengais sampah
Tetapi aku juga lupa, apakah ini salah
Pagi aku berangkat
Meletakkan mimpi dan rasa penat
Tetapi aku berharap jangan tergesa-gesa kiamat
Malam, selepas isya aku pulang
Masih tersisa sedikit nasi di rantang
Aku lupa, apakah laparku sudah hilang
Aku tidak punya pacar
Lama aku bersandar untuk sadar
Mungkin ini yang dimaksud orang agar selalu membangun jiwa sabar
Aku tidak mengeluh
Karena nyaris lupa berapa ribu jam aku berkeluh
Aku tidak marah
Karena tanpa marah pun aku sudah terlalu hina
Aku ingin menjadi bayi
Yang ditimang disayang dan disuapi
Tertawa lucu karena tidak mau tahu siapa ayah ibu
Aku wajah pelupa
Selalu di lupa
Aku wajah manusia
Yang lupa siapa yang sedang berkuasa
Karena bagiku lebih menarik seonggok sampah
(dari puisi akhmad fauzi “Wajah Dilupa”)
Sahabat yang telah mendidik saya untuk terus istiqomah dalam bersyukur. Sahabat yang mengajak saya untuk selalu membaca sejauh yang bisa saya baca. Sahabat yang memaksa saya untuk menidurkan obsesi yang berlebih.
Adalah sahabat itu, bisa dipastikan jam 6 pagi melintas di depan rumah. Kadang berdua, kadang bertiga, tidak jarang berempat. Bisa dipastikan menjelang maghrib sahabat saya ini akan melintas kembali, meskipun saya sering melihat jam 8 malam ia melintas di depan rumah dengan segala kepayahan yang tampak di rautnya.
Tidak banyak yang ada dalam sorot matanya kecuali terlihat di pagi hari dengan keceriaan, dan melintas di sore hari dengan kelelahan membawa berkarung-karung beban barang. Ilustrasi kehidupan anak manusia yang tidak bisa saya abaikan setiap harinya.
Ketika saya Tanya, berapa kilo perjalanannya. Dengan hanya isyarat tangan saya bisa membaca tidak lebih dari 20 kilo sahabat saya ini berjalan kaki setiap hari.
Ketika saya Tanya, akan menghasilkan berapa rupiah barang-barang itu. Jawabnya saya disuruh menebak sendiri sembari menunjukkan apa yang ada di karung yang ia bawa. Perkiraan saya sementara, rerata rupiah yang dibawa pulang tak lebih dari 40 sampai 50 ribu nilai barang dari rombongan ini.
Bagi masyarakat di desa saya, sahabat ini bisa jadi melebihi ketenaran seorang kasun atau seorang tokoh tingkat desa. Anda sebut saja nama itu, bisa dipastikan sebagian besar masyarakat desa akan mengenalnya.
Sahabat bersyukur saya, Sajar namanya. Yang tadi sore saya ajak untuk membagi cerita di depan rumah. Dengan gaya khas minim katanya, saya harus bisa menterjemahkan cerita yang ia bagi. Dan, saya tidak mampu menceritakan dengan kata-kata, karena kata pun tidak akan mampu menjabarkan betapa lugasnya sahabat saya ini dalam membaca hidupnya.
Adalah Sajar, pemulung, tetangga tigaratus meter dari rumah saya, rumahnya. Telah saya mintai ijin untuk saya foto dan untuk saya kabarkan dalam tulisan ini. Lihat, betapa tanpa ekspresi wajah yang dipunya. Dengan datar ia pertontonkan senjata kerja yang ala kadarnya, untuk menjual tenaga agar bisa hidup besoknya!
Asal tahu saja, sahabat bersyukur saya ini berlima hidup di rumah amat sangat sederhana. Dari lima kepala itu, tiga dalam kondisi abnormal, sementara yang dua dalam kondisi rendah kecerdasan.
Jahatnya diri ini, jika keceriaan yang ia tampakkan setiap pagi harus aku sambut dengan keluhan menatap hidup. Lebih jahat lagi jika kelelahan ia kala melintas di sore hari harus aku sambut dengan pelototan mata karena terlalu berjejal dipikir ini untuk menumpuk apa yang belum ada.
Yah, Sajar, sahabat syukur saya. Yang selalu saya rindu dan nantikan silaturahminya setiap kali hari raya. Dalam momen hari raya itulah, saya bisa berkaca, siapa saya! Nikmat sekali rasanya melepas keluarga ini keluar dari rumah usai menikmati hidangan hari raya dan sedikit oleh-oleh dari saya. Senyum dan kepuasan yang ditampakkan menyiratkan keihlasan ia dalam menapaki hidup dengan segala takdir yang dijalaninya. Ingin tahu siapa Sajar? Dialah pemulung tulen! Pejuang kehidupan!
Teringat kalimat hikmah dari AA Gym, “Jangan takut dengan rezeki yang belum ada, tetapi takutlah untuk tidak bisa mensyukuri rezeki yang telah diterima…”.
Teringat pula, “Orang itu suka dipuja karena belum mengenal Tuhannya…”.
Dan Sajar, sahabat syukur saya, telah mempraktekkan dalam kehidupan nyata apa yang tersirat dari kata-kata hikmah itu. Entahlah.
Terima kasih sahabat syukur saya, semoga Allah swt. ridho dengan hidup dan kehidupan kita, amin. Wallahu’alam bisshawab
Kertonegoro, 27 Juli 2016
Salam,
Logo : https://www.facebook.com/groups/rumpies23theclub/?fref=ts