Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Bulan Kemanusiaan RTC] Sahabat Bersyukurku

27 Juli 2016   11:32 Diperbarui: 27 Juli 2016   11:34 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya punya sahabat, tidak terlalu akrab. Tetapi selalu ketemu setiap hari. Tidak pernah menyapa kecuali sesekali. Kalau tersenyum, itu mesti. Terlahirlah puisi dari kesahajaannya, menimbun nilai baca hikmah atas ketabahannya. Sahabat bersyukurku yang selalu aku tunggu usai maghriban. Aku ingin istiqomah menemani ia pulang, walau satu dua batang rokok yang bisa aku berikan. Berdialog dengannya, seperti menampar diri, karena terlalu banyak obsesi diri ini. Nyatanya, sedikit saja saya ajak bercanda, lepas tawanya. Aku tidak menemukan susah walau mungkin ada.
.....

Umurku duapuluh lima
Aku manusia
Tetapi sudah lupa apa itu kaya

Aku bekerja
Belajar dari warisan ayah mengais sampah
Tetapi aku juga lupa, apakah ini salah

Pagi aku berangkat
Meletakkan mimpi dan rasa penat
Tetapi aku berharap jangan tergesa-gesa kiamat

Malam, selepas isya aku pulang
Masih tersisa sedikit nasi di rantang
Aku lupa, apakah laparku sudah hilang

Aku tidak punya pacar
Lama aku bersandar untuk sadar
Mungkin ini yang dimaksud orang agar selalu membangun jiwa sabar

Aku tidak mengeluh
Karena nyaris lupa berapa ribu jam aku berkeluh

Aku tidak marah
Karena tanpa marah pun aku sudah terlalu hina

Aku ingin menjadi bayi
Yang ditimang disayang dan disuapi
Tertawa lucu karena tidak mau tahu siapa ayah ibu

Aku wajah pelupa
Selalu di lupa

Aku wajah manusia
Yang lupa siapa yang sedang berkuasa
Karena bagiku lebih menarik seonggok sampah

(dari puisi akhmad fauzi “Wajah Dilupa”)

Sahabat yang telah mendidik saya untuk terus istiqomah dalam bersyukur. Sahabat yang mengajak saya untuk selalu membaca sejauh yang bisa saya baca. Sahabat yang memaksa saya untuk menidurkan obsesi yang berlebih.

Adalah sahabat itu, bisa dipastikan jam 6 pagi melintas di depan rumah. Kadang berdua, kadang bertiga, tidak jarang berempat. Bisa dipastikan menjelang maghrib sahabat saya ini akan melintas kembali, meskipun saya sering melihat jam 8 malam ia melintas di depan rumah dengan segala kepayahan yang tampak di rautnya.

Tidak banyak yang ada dalam sorot matanya kecuali terlihat di pagi hari dengan keceriaan, dan melintas di sore hari dengan kelelahan membawa berkarung-karung beban barang. Ilustrasi kehidupan anak manusia yang tidak bisa saya abaikan setiap harinya.

Ketika saya Tanya, berapa kilo perjalanannya. Dengan hanya isyarat tangan saya bisa membaca tidak lebih dari 20 kilo sahabat saya ini berjalan kaki setiap hari.

Ketika saya Tanya, akan menghasilkan berapa rupiah barang-barang itu. Jawabnya saya disuruh menebak sendiri sembari menunjukkan apa yang ada di karung yang ia bawa. Perkiraan saya sementara, rerata rupiah yang dibawa pulang tak lebih dari 40 sampai 50 ribu nilai barang dari rombongan ini.

Bagi masyarakat di desa saya, sahabat ini bisa jadi melebihi ketenaran seorang kasun atau seorang tokoh tingkat desa. Anda sebut saja nama itu, bisa dipastikan sebagian besar masyarakat desa akan mengenalnya.

Sahabat bersyukur saya, Sajar namanya. Yang tadi sore saya ajak untuk membagi cerita di depan rumah. Dengan gaya khas minim katanya, saya harus bisa menterjemahkan cerita yang ia bagi. Dan, saya tidak mampu menceritakan dengan kata-kata, karena kata pun tidak akan mampu menjabarkan betapa lugasnya sahabat saya ini dalam membaca hidupnya.

Adalah Sajar, pemulung, tetangga tigaratus meter dari rumah saya, rumahnya. Telah saya mintai ijin untuk saya foto dan untuk saya kabarkan dalam tulisan ini. Lihat, betapa tanpa ekspresi wajah yang dipunya. Dengan datar ia pertontonkan senjata kerja yang ala kadarnya, untuk menjual tenaga agar bisa hidup besoknya!

Asal tahu saja, sahabat bersyukur saya ini berlima hidup di rumah amat sangat sederhana. Dari lima kepala itu, tiga dalam kondisi abnormal, sementara yang dua dalam kondisi rendah kecerdasan.

sajar-3-57983301e5afbdf822a2257b.jpg
sajar-3-57983301e5afbdf822a2257b.jpg
Saya tidak tahu sebab kehidupan yang harus menemui kondisinya seperti ini. Yang saya tahu, ketika setiap pagi saya menanti rombongan ini selalu seperti mereguk energi baru bagi saya. Energi bersyukur! Bukan bersyukur karena lebih dari ia tetapi lebih karena bersyukur melihat sahabat ini dalam keceriaan dan tersipu menatap saya kala melintas di depan rumah.

Jahatnya diri ini, jika keceriaan yang ia tampakkan setiap pagi harus aku sambut dengan keluhan menatap hidup. Lebih jahat lagi jika kelelahan ia kala melintas di sore hari harus aku sambut dengan pelototan mata karena terlalu berjejal dipikir ini untuk menumpuk apa yang belum ada.

Yah, Sajar, sahabat syukur saya. Yang selalu saya rindu dan nantikan silaturahminya setiap kali hari raya. Dalam momen hari raya itulah, saya bisa berkaca, siapa saya! Nikmat sekali rasanya melepas keluarga ini keluar dari rumah usai menikmati hidangan hari raya dan sedikit oleh-oleh dari saya. Senyum dan kepuasan yang ditampakkan menyiratkan keihlasan ia dalam menapaki hidup dengan segala takdir yang dijalaninya. Ingin tahu siapa Sajar? Dialah pemulung tulen! Pejuang kehidupan!

Teringat kalimat hikmah dari AA Gym, “Jangan takut dengan rezeki yang belum ada, tetapi takutlah untuk tidak bisa mensyukuri rezeki yang telah diterima…”.

Teringat pula, “Orang itu suka dipuja karena belum mengenal Tuhannya…”.

Dan Sajar, sahabat syukur saya, telah mempraktekkan dalam kehidupan nyata apa yang tersirat dari kata-kata hikmah itu. Entahlah.

Terima kasih sahabat syukur saya, semoga Allah swt. ridho dengan hidup dan kehidupan kita, amin. Wallahu’alam bisshawab

Kertonegoro, 27 Juli 2016
Salam,

Akhmad Fauzi

logo-rumpies-5798332e6f7a61510dd120c5.jpg
logo-rumpies-5798332e6f7a61510dd120c5.jpg
Ilustrasi/foto : arsip pribadi

Logo              : https://www.facebook.com/groups/rumpies23theclub/?fref=ts

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun