Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Aman?

12 Mei 2016   17:04 Diperbarui: 12 Mei 2016   17:25 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : FB Dinas Pendidikan Kabupaten Jember (https://www.facebook.com/groups/244367931779/?fref=ts)


KLU Hari Ini

Biasanya, pasca UN, di tahun-tahun lalu bertebaran berita peristiwa bunuh diri atau anak stres, atau bahkan orang tua yang stres. Dua tahun ini, alhamdulillah belum terdengar berita semacam itu.

Jelas, ini efek yang berarti akan makna UN yang bukan lagi sebagai PENENTU kelulusan. Maka, tidak perlu susah-susah untuk mengibarkan kebaikan ini sebagai sebuah keberhasilan si A atau si B. Sebab, berangkat dari pengibaran atau PENCITRAAN itulah, muncul reaksi untuk TIDAK DIKIBARKAN, alias KONTRA pencitraan, alias (lebih tragis lagi) pembullyan. 

Biasanya, pasca kelulusan, utamanya kelulusan siswa SMA dan yang sederajat, pasti ramai konvoi keliling dan mengelilingi jalan. Khusus tahun ini, kadarnya menurun drastis. Sangat drastis. 

Bahkan di beberapa daerah ada aksi yang inspiratif yang dilakukan siswa menyambut kelulusannya. Misalnya bagi-bagi makan siang, bagi-bagi alat tulis, bagi-bagi bunga, pun ada pula yang kerja bakti bersih-bersih. 

Yah, KONVOI mulai di MOVE ON-kan dengan tindakan bijak yang bermanfaat.

Inipun jangan tergesa-gesa karena efek REVOLUSI ini atau itu, atau efek dari kepemimpinan itu ini. Jangan!

Kekuatan inovasi lembaga pendidikan sangat berperan dalam MENGENDALIKAN gairah kecanduan konvoi dan kelembutan pensikapan atas pelaksanaan UN. Mari, tidak ada salahnya jika kita move on pula untuk MENGALIHKAN pencitraan itu pada mereka-mereka yang gigih berjuang di ujung aksi. Yah, kasarannya BAGI-BAGI PENCITRAAN lah.

Artinya, arus yang ada dalam kurun dua tahun ini jangan dikotori oleh sebab kepentingan yang sudah ngga NJAMAN. Bantu situasi yang semakin cantik ini dengan penguatan opini, pemotretan langkah, penambalan kreasi, dan motivasi-motivasi. Agar PERJUANGAN teman-teman kita yang di bawah tidak MUSPRO oleh gairah GILA DAN ALERGI terhadap sesuatu.

Artinya, ruh yang dibangun dalam kondisi proses kelulusan di akhir tahun pelajaran ini adalah bagian yang tidak boleh kita sia-siakan untuk membangun SEKOLAH AMAN.

Yah, baru tahun ini, WAR WER, TAN TIN, teriak-teriak, tidak lagi segempita tahun lalu menyapa depan rumah saya. Hanya ada SATU KONVOI yang sempat saya lihat. Itupun tidak panjang dan tidak SEGARANG tahun-tahun sebelumnya.

Di televisi, hampir tidak ada peliputan konvoi ini. Apalagi peliputan konvoi anak PEREMPUAN SETENGAH TELANJANG naik di atas sepeda motor. kalau toh ada, sangat minim sekali. Dan ada kesan JADUL wal malu-malu.

Yah, mungkin memang sudah NGGAK NJAMAN ini konvoi, karena di Sabtu, 7 Mei 2016, saat ada satu konvoi lewat depan rumah, sorenya, saat pulang, para pengkonvoi ini tercerai berai, tidak satu konvoi lagi, dan terkesan KLEJINGAN, INGAH-INGIH, alias KIKUK.

Artinya, kembali pada sekolah yang aman. Sekaranglah saatnya semua elemen bangsa ini untuk bergerak satu visi MEMBANGUN sekolah yang aman. 

Artinya, dalam kelulusan SMA tahun ini, masyarakat sudah mulai merasakan aman dari ancaman konvoi. Siswa, aman dari HANTU UN, orang tua merasa aman karena tidak perlu lagi was-was akan LULUS dan KONVOI. Dan, kesucian jiwa aman pun dari KECURANGAN.

Mari kita jaga terus rasa aman ini. Bukan berarti sekolah tadinya jahat, atau ada kejahatan di sekolah, atau sekolah dijahati,. TIDAK! Tetapi, bagaimana gestur kehidupan di sekoah, di dunia pendidikan terasa aman dari segala ancaman. 

Yah, tidak aneh, narkoba sudah masuk ke sekolah. Mari kita bahu membahu untuk membentengi sekolah dari kerasukan barang laknat ini.

Yah, sekolah bukan ajang TAMPAT-MENAMPAR. Baik guru-siswa, siswa-siswa, pun, guru dan guru. Termasuk Negara (pemerintah) dan pihak sekolah.

Yah,Sekolah harus bebas dari situasi yang rendah norma, culun etika, nisbi kalimat mulia, dan LENYAP AGAMA. Tetapi juga jangan pula sekolah dijadikan proses menjadikan semua itu (norma, etika dsb) sebagai MOMOK langkah siswa.

Mungkin masih ingat kita, ada dua siswa yang saling BULLY di media sosial. Tragisnya, dengan kata-kata yang rendah kalori makna. Syukurlah, pihak sekolah sudah bisa menyelesaikan kasus ini dengan baik.

Artinya, Ketika Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menengarai adanya sebab infra struktur dari kejadian YUYUN, tidak ada salahnya jika MEMANG harus di debat. Infrastruktur mungkin ikut berperan juga (karena situasi lingkungan yang masih sepi, kondisi falislitas komuikasi yang minim dll), tetapi yang lebih penting lagi adalah penguatan individu-individu atas kesadaran diri dan orang lain, atas pemahaman hukum, aturan, norma, dan juga agama. 

Dan, yang harus segera dibangun adalah "Tingkah laku para manusia dewasa dihadapan anak-anak KITA".

Sangat tepat, jika sekolah harus bebas dari membully, akan lebih tepat lagi jika orang-orang besar yang di atas sana, media, media sosial, termasuk tokoh-tokohnya untuk tidak memerankan SENGKUNI dalam kesehariannya. Karena itu bisa dibaca oleh mereka, anak-anak kita.

Artinya, dalam sekolah yang aman, nuansa ceria, semangat etos belajar dan kerja, semangat prestasi, semangat berani, semangat saling mengasihi, semangat menjaga wibawa negara  dan wibawa agama dapat terus digelorakan untuk SALING BERSAHUTAN dengan merdunya.

Niscaya, sekolah akan menjadi rumah kedua bagi siswa dan guru serta pola ketinggian wacana bagi bangsa. Sehingga, dunia pendidikan, dunia sekolah, dengan sendirinya akan mampu memfilter bentuk arus apapun yang arus itu bisa menyebabkan KEGAGALAN HIDUP manusia, hidup para siswa. Hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Mari kita lihat di Juni yang akan datang, apakah proses akhir untuk siswa SMP lebih BAIK dari SMA yang baru saja berakhir. Semoga lebih baik dan lebih berjiwa bagi kita semua. Setelah itu, kita pekikkan, "Selamat datang sekolah aman...". Aamiin.

Salam Indonesia jernih, teduh, dan religius.
Semoga bermanfaat.

Kertonegoro, 12 Mei 2016
Salam,

Akhmad Fauzi 

Link tambahan :

http://sekolahaman.kemdikbud.go.id/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun