[caption caption="pancasila"][/caption]
KLU Hari Ini
Rhoma Irama pernah menolak Pancasila sebagai Dasar Negara. Panjang kalau saya ceritakan kronologinya. Yang pasti saat itu beliau dihujat dan dipinggirkan, baik oleh media, oleh negara, oleh yang berkuasa saat itu, oleh lawan-lawan politiknya. Syukurlah, saat ini beliau (dalam pandangan saya) suah bisa menerima Pancasila ini.
NU, secara individu pernah ada yang menolak Pancasila ini. Sama dengan bang Rhoma, banyak yang mengkritik, meminggirkan, dan seterusnya. Baik dari media, masyarakat, maupun negara. Syukur pula, polemik akan penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dalam yang terjadi di internal NU ini selesai dengan happy ending.
Muhammadiyah, dalam muktamar tahun lalu mengusung tema besar tentang pencerahan dan pentingnya bangsa ini untuk kembali kepada Pancasila sebagai rujukan hidup berbangsa. Salah satu alasan kuatnya adalah adanya upaya-upaya (baik terselubung maupun terang-terangan) untuk menggerus makna Pancasila ini dalam kehidupan berbangsa.
Dua hari yang lalu, ada simposium tentang tragedi '65 di lihat dari perspektif sejarah. Meskipun ada yang menolak, simposium itu bisa berjalan sampai tuntas. Hanya ada sedikit insiden, penyair, budayawan, Taufiq Ismail, harus diusir dari ruang simposium karena membacakan puisi tentang fakta kekejaman tragedi itu.
Apa hasil dari simposium itu? Silahkan pembaca browsing hasil simposium itu. Banyak link media online yang mewartakannya..
Satu yang sempat saya ingat, upaya dari sekelompok orang yang menginginkan agar negara meminta maaf atas tragedi tahun 1965 itu.
Artinya, pasca reformasi, pola kehidupan bangsa ini sebegitu euphorianya. Kungkungan orde baru seakan telah mencipta bisul-bisul anak negeri yang meledak dan diledakkan di masa reformasi ini.
Artinya, kini, Pancasila tak luput dari penggugatan-penggutan.Kalau di era orba penggugatan itu bersifat nyata dala bentuk penolakan, sekarang penggugatan itu lebih bersifat terselubung. Atau dalam bahasa kerennya telah terjadi PROXY WAR. Saling melempar batu sembunyi tangan sambil mengintip pentalannya nanti kemana.
Jelas, Upaya evaluasi atas kejadian tahun 1966, meski dibungkus dengan "pendekatan sejarah", bisa melahirkan tafsir yang macam-macam. Mulai dari PERTIWI HAMIL TUA, sampai pada upaya yang masiv untuk pengaburan sejarah tragedi itu.
Dimana akan kebenaran semua itu?
Saya hanya bertanya saja, "Siapa diantara pembaca, dan seluruh bangsa ini yang masih mencintai Pancasila...?".
Sungguh, ini hal yang semakin krusial untuk dipertanyakan. Karena, simposium itu bisa jadi ditafsirkan bisa mendegradasi akan KESAKTIAN PANCASIL. Tetapi, gejolak yang lebih masih lagi adalah, adanya upaya pemaksaan isme-isme dari luar agar hidup di bumi Pancasila ini.
Isme-isme itu tidak melulu dalam konteks agama, tetapi juga menyangkut budaya, sosial, ekonomi, hubungan kekerabatan (paternalisitk),, mindset memandang nilai-nilai pembangunan dan seterusnya.
Yah PROXY WAR telah berlangsung, kekuatan luar sudah memulai pertarungan, liberalisme, kapitalisme, fundmentalisme, komunisme, sekulerisme, sosialisme, dan sebagainya.
Maka, menjadi keheranan saya, ketika ada pernyataan mantan ketum organisasi kepemudaan (yang berafiliasi pada salah satu organisasi keagamaan) di negeri ini hanya lebih menyoroti dari sisi "KEWASPADAAN PADA WAHABI". Sementara LGBT, embrio-embrio atheis, antek-antek liberal, sekuler, kapital, tidak pernah ia kritisi.
Artinya, Mari jernihkan pikir. Ajak bangsa ini untuk kembali kepada falsafah negara, Panasila. Entah itu wahabi, ISIS, atheis, komunis, sosialis, liberal, sekuler, kapitalis, harus kita waspadai pergerakannya.
Kewaspadaan ini adalah upaya nyata akan semangat cinta Pancasila.
Hayo, siapa yang masih cinta Pancasila?
Salam Indonesia jernih, teduh, dan religius.
 Semoga bermanfaat
Â
Kertonegoro, 21 April 2016
 Salam,
Akhmad Fauzi
Â
Ilustrasi gambar crcs.ugm.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H