Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayo, Siapa yang Masih Suka Pancasila

21 April 2016   17:19 Diperbarui: 21 April 2016   17:27 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pancasila"][/caption]

KLU Hari Ini

Rhoma Irama pernah menolak Pancasila sebagai Dasar Negara. Panjang kalau saya ceritakan kronologinya. Yang pasti saat itu beliau dihujat dan dipinggirkan, baik oleh media, oleh negara, oleh yang berkuasa saat itu, oleh lawan-lawan politiknya. Syukurlah, saat ini beliau (dalam pandangan saya) suah bisa menerima Pancasila ini.

NU, secara individu pernah ada yang menolak Pancasila ini. Sama dengan bang Rhoma, banyak yang mengkritik, meminggirkan, dan seterusnya. Baik dari media, masyarakat, maupun negara. Syukur pula, polemik akan penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dalam yang terjadi di internal NU ini selesai dengan happy ending.

Muhammadiyah, dalam muktamar tahun lalu mengusung tema besar tentang pencerahan dan pentingnya bangsa ini untuk kembali kepada Pancasila sebagai rujukan hidup berbangsa. Salah satu alasan kuatnya adalah adanya upaya-upaya (baik terselubung maupun terang-terangan) untuk menggerus makna Pancasila ini dalam kehidupan berbangsa.

Dua hari yang lalu, ada simposium tentang tragedi '65 di lihat dari perspektif sejarah. Meskipun ada yang menolak, simposium itu bisa berjalan sampai tuntas. Hanya ada sedikit insiden, penyair, budayawan, Taufiq Ismail, harus diusir dari ruang simposium karena membacakan puisi tentang fakta kekejaman tragedi itu.

Apa hasil dari simposium itu? Silahkan pembaca browsing hasil simposium itu. Banyak link media online yang mewartakannya..

Satu yang sempat saya ingat, upaya dari sekelompok orang yang menginginkan agar negara meminta maaf atas tragedi tahun 1965 itu.

Artinya, pasca reformasi, pola kehidupan bangsa ini sebegitu euphorianya. Kungkungan orde baru seakan telah mencipta bisul-bisul anak negeri yang meledak dan diledakkan di masa reformasi ini.

Artinya, kini, Pancasila tak luput dari penggugatan-penggutan.Kalau di era orba penggugatan itu bersifat nyata dala bentuk penolakan, sekarang penggugatan itu lebih bersifat terselubung. Atau dalam bahasa kerennya telah terjadi PROXY WAR. Saling melempar batu sembunyi tangan sambil mengintip pentalannya nanti kemana.

Jelas, Upaya evaluasi atas kejadian tahun 1966, meski dibungkus dengan "pendekatan sejarah", bisa melahirkan tafsir yang macam-macam. Mulai dari PERTIWI HAMIL TUA, sampai pada upaya yang masiv untuk pengaburan sejarah tragedi itu.

Dimana akan kebenaran semua itu?

Saya hanya bertanya saja, "Siapa diantara pembaca, dan seluruh bangsa ini yang masih mencintai Pancasila...?".

Sungguh, ini hal yang semakin krusial untuk dipertanyakan. Karena, simposium itu bisa jadi ditafsirkan bisa mendegradasi akan KESAKTIAN PANCASIL. Tetapi, gejolak yang lebih masih lagi adalah, adanya upaya pemaksaan isme-isme dari luar agar hidup di bumi Pancasila ini.

Isme-isme itu tidak melulu dalam konteks agama, tetapi juga menyangkut budaya, sosial, ekonomi, hubungan kekerabatan (paternalisitk),, mindset memandang nilai-nilai pembangunan dan seterusnya.

Yah PROXY WAR telah berlangsung, kekuatan luar sudah memulai pertarungan, liberalisme, kapitalisme, fundmentalisme, komunisme, sekulerisme, sosialisme, dan sebagainya.

Maka, menjadi keheranan saya, ketika ada pernyataan mantan ketum organisasi kepemudaan (yang berafiliasi pada salah satu organisasi keagamaan) di negeri ini hanya lebih menyoroti dari sisi "KEWASPADAAN PADA WAHABI". Sementara LGBT, embrio-embrio atheis, antek-antek liberal, sekuler, kapital, tidak pernah ia kritisi.

Artinya, Mari jernihkan pikir. Ajak bangsa ini untuk kembali kepada falsafah negara, Panasila. Entah itu wahabi, ISIS, atheis, komunis, sosialis, liberal, sekuler, kapitalis, harus kita waspadai pergerakannya.

Kewaspadaan ini adalah upaya nyata akan semangat cinta Pancasila.

Hayo, siapa yang masih cinta Pancasila?

Salam Indonesia jernih, teduh, dan religius.
 Semoga bermanfaat

 

Kertonegoro, 21 April 2016
 Salam,

Akhmad Fauzi

 

Ilustrasi gambar crcs.ugm.ac.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun