Mengapa saya menulis ini? Apakah ingin menyerang Ahok? Bisa iya bisa tidak. Tergantung yang melihat tulisan saya dari sisi mana. Hanya saja perlu untuk diketahui, jauh sebelum adanya berita Sumber Waras, reklamasi dan segudang masalah yang menimpa Ahok semenjak jadi Gubernur, saya sudah berkali-kali menulis tentang dia. Tiga tahun lalu saya mewanti-wanti dia, lihat link ini : http://www.kompasiana.com/…/bapak-ahok-kalau-benar-teruslah…
Dalam tulisan itu saya menjabarkan “Ahok, teruslah jika menurut aturan dan rasa kemanusiaan itu benar dan dibenarkan. Karena akan mengibarkan Anda dan akan menyeret perubahan paradigma lainnya setelahnya, yang baik pula. TETAPI, jika Anda salah, entahlah. Apa jadinya Anda dan efek di belakangnya. Kalau untuk Anda, saya yakin kuat dan pasrah. Tapi ingat, berita-berita selama ini (tanpa disadari) telah menitipkan warna optimisme pada diri Anda. Dan itu sekarang menjadi tanggungan Anda untuk Anda jaga citranya. Saya bukan dalam kapasitas mengasihani atau justru mensyukurkan hal ini. inilah konsekwensi yang lebih riil adanya. Dua Fakta yang pasti akan Tuhan berikan ke Anda. Benar atau Salah. Ironisnya, keduanya sangat berat untuk Anda emban saat ini”.
Itu saya tulis tiga tahun, tepatnya 29 Agustus 2013. Jauh sebelum Ahok menjadi gubernur menggantikan Jokowi. Ingat, "menggantikan" bukan dipilih asli menjadi gubernur. Artinya, saya sudah lama mengamati figur ini. Sangat salah jika seseorang mengamati seorang figur, menganalisis kemudian memberi penilaian sesuai dengan sudut pandang yang bisa dibenarkan oleh keilmuwan, kemudian dianggap yang macam-macam.
Artinya, Jaya Suprana, Karni Ilyas, dan siapapun yang angkat bicara tentang Ahok bukan berarti anti ini anti itu. Yang RASIS lah, yang SARA lah, dan seterusnya.
Untuk konteks kekinian serangan itu membabi buta, mengapa? Banyak alasan yang bisa dijabarkan.
1) figur Ahok itu sendiri figur kontroversi dalam persepsi masyarakat transisi. Maka bisa diprediksi peluang untuk mencipta kontroversi juga itu besar.
2) Publik mulai bosan dengan gaya emosinya. Alasan apapun bagi pendukung Ahok (atau Ahok sendiri) tetap akan sulit untuk dibenarkan menyangkut dengan ketidakstabilan emosi yang dimiliki ini.
3) Jeritan jelata, kaum papa, rakyat miskin, tidak bisa lenyap begitu saja. Ekses jeritan itu bak bola salju, dan kini dalam posisi puncak bola salju yang besar.
4)mungkin bisa dinalar jika bau 2017 ikut memperiuh suasana.
Lantas?
Dalam tulisan ini saya ingin mempertegas suara dua tokoh nasional di atas, jika Ahok selayaknya untuk ekstra hati-hati. Jaya Suprana ini bukanlah orang kemarin sore, kejeliaannya membaca fenomena sosial sudah teruji waktu. Begitupun dengan Karni Ilyas. Dia bukanlah penulis atau wartawan yang kelas kacangan. Kejeliaan serta kekuatan idelismenya menatap suatu fenomena sangat pantas untuk diakui kehebatannya.
Maka, layak untuk Ahok (apalagi pendukungnya) agar merenung dan menyimak, menganalisis dan instropeksi akan suara kedua tokoh itu. Dua tokoh itu lebih pantas dianggap sedang mengingatkan dari pada dianggap sedang membully Ahok.
Begitulah esensi dari sebuah fenomena itu. Tidak harus dianggap menghujat, SARA, RASIS, musuh, teman, dan sebagainya.
Salam Indonesia jernih, teduh, dan religius
Semoga bermanfaat.