Sunatan massal
Aha aha
...
(Lirik lagu sunatan massal - Iwan Fals)
Yah, panen deh si bapak Mantri. Fulus, fulus, fulus...! Pucuk-pucuk daging dipenggal dengan ramah. Bukan lantaran sadis tapi bagian iktikad dan ikhtiar untuk lebih mensyar'ikan manusia agar dewasa dalam beragama.
Kalau di desaku namanya si tukang calak. Ditakuti Anak-anak seusia belasan tahun. Jika pada musimnya, seharian profesi ini tidak bisa pulang ke rumah. Dengan berbekal alat medis sederhana, rumah per rumah didatangi setelah sebelumnya membuat janji.
Jerit tangis yang kadang kala keluar dari mulut-mulut mungil lelaki kecil menjadi penyempurna kepuasaan seorang bapak. Sore diadakan syukuran, bukti dari segala hal niatan, termasuk pengharapan, dan rasa syukur atas suksesnya sunatan. Atas keberhasilan kerja si tukang calak, pak Mantri.
Sayangnya, kini profesi ini hilang dengan sendirinya. Pergeseran perkembangan medis menuntut pak Mantri, si tukang calak, harus menggantung tas kusamnya, alih profesi.
Tetapi lamat-lamat terdengar lagi akan ada sunatan massal. Sunat bisa berarti memotong, mencabut, memutilasi. Masih saudara dekat dengan istilah membekukan, menilep, mengkuliti. Masih pula korelatif maknanya dengan membantai, membully, juga menghujat, sadis dan bengis.
Begitulah yang saya dengar dengan niatan sunatan massal itu. Benar kata Iwan Fals, "Si bapak mantri bukannya bengis meskipun tampak sedikit sadis.Kerinyut hidung bocah meringis, edikit tangis anunya diiris...".
Tukang calak, dulu, adalah profesi terhormat. Mungkin itu pula yang ingin dihidupkan lagi. Memotong, mencabut, membekukan, membully, menghujat, dan seterusnya telah mulai menjadi "ritual sunatan massal".