“Anak yang telah ditelantarkan, meninggal satu per satu, ketika ia sibuk menimbun amal dan wibawa tanpa mau lagi memperhatikan bagaimana nasib keluraga…”.
“Amal dan wibawa apa yang ia timbun?”.
Menghilang ia, tiba-tiba.
Berdatangan selanjutnya, hantaran hidangan makan malam nan lezat tiada kira, gratis! Hanya butuh ditukar dengan idealisme papa. Aku bentak, Nak! Seketika langir memerah mengaum dan lenyap!
Datang lagi berombongan manusia-manusia gairah, dengan berbagai macam proposal dan makalah. Berkhutbah lengkap dengan alibi dan fakta teori. Aku bengong, Nak. Pamitlah ia sembari bergumam, “Payah, ini bukan orang yang kita cari. Hidupnya hanya tertimbun khayalan Tuhan…”. Ingin rasanya papa mengambil barang apa saja untuk dihantamkan dipantat mereka. Nyatanya, papa lebih menghendaki melepas mereka dengan do’a-do’a.
Terus berdatangan, tanpa henti meramaikan malam yang sunyi. Dan terus itu pula hentakan hati papa saling jual beli makna.
Menjelang puncak malam, aku mendenger alunan gending geguritan dengan syair-syair kehidupan. Mengiringi sosok anggun teduh dipandang mata jiwa.
Bersimpuh iya sekira lima langkah di depan papa. Semerbak mewangi segera menyentuh penciuman papa. Sejuk, temaram, tetapi cerah, dan lapang rasa. Ruangan yang hanya cukup untuk satu dua manusia ini, kini banjir mata-mata manusia. Wajah-wajah yang tidak terlihat nuansa gelisah. Terus melantunkan dzikir tanda proklamasi kedhoifan diri.
Sosok itu tenang dengan terus memandang papa. “Ah, mungkin ia mengingankan aku yang mendekat...”. Belum usai bisik papa, sosok perempuan itu meletakkan telunjuk di bibirnya. Aku di suruh diam, Nak, tetap di tempat.
“Nikmat melihat gayamu berdiskusi, Nak. Lebat dengan falsafah-falsafah. Terima kasih, Aku tidak salah…”.
Belum sempat papa menafsir kata-kata itu, iapun menghilang…