Mohon tunggu...
AKHMAD FAUZI
AKHMAD FAUZI Mohon Tunggu... Guru - Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

-----Ingin tahu, agar tahu kalau masih belum tahu----- KLIK : 1. bermututigaputri.guru-indonesia.net 2. www.titik0km.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Makna Lautan Cinta

23 Maret 2015   11:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:13 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(filsafat menguak - akhmad fauzi)

Sudah lima hari ini mau mengawali kalimat untuk mengulas “cinta” seakan terbatuk-batuk. Ingin membidik dari sisi kenakalan, cinta bukanlah sesuatu yang nakal. Pemilik cinta saja yang meletup-letup untuk mengajak nakal dari cinta yang dimiliki. Menggiring ke melankoli dulu, jelas terlalu usang. Sudah tenggelam “makna” cinta ini oleh gerakan rasa yang berbau melankolis. Apalagi memulai dari sisi satire, bisa-bisa malah terjerembak pada analisis gundah dan marah nanti! Jadilah selama lima hari konsep yang ada berkelindan di awing-uwung. Menanti picu untuk menghadirkan rentetan kata selanjutnya.

Ternyata picu itu harus diturunkan Tuhan lewat siswa saya. Kembali inspirasi datang dari siswa! Sebuah simboisis mutalis yang patut tersyukuri. Yak, pagi ini ada yang memaksa saya untuk mengenang. Sebuah tautan yang mengajak saya untuk belajar tentang ketinggian pertalian batin. Sebab yang menjadi indahnya hidup dan luasnya cakrawala rasa.

14270864171933068202
14270864171933068202
(capture FB siswa saya - arsip pribadi)

Diakui atau tidak, kini bumi lamat-lamat telah ditinggal aurora cinta. Retaknya sendi-sendi pilu telah liar kala menatap kesedihan, riuhnya suara (yang sebenarnya kotor) riang berputar, tidak lagi bisa menyapa senyum, gersang empati, sampai terlahir gerakan-gerakan hingar (dan senyap) dari penghuni buana untuk jual beli “harga diri” dan ketinggian jiwa, memutar jarum sejarah untuk mengusir cinta!

Mudahnya sekarang sesorang menjadi jelaga atau permata. Mudahnya perias-perias kehancuran rasa (dan norma) membakar karakter-karakter. Ringan menginjak untuk menumpuk beban, riang menatap darah rundung sesama. Yang radikal, tutup mata telinga dengan keradikalannya! Yang bersuara kesetaraan, membisu rapat ketika di bumi sebelah hangus oleh keberpihakan! Yang ambigu, terombang-ambing tendensi yang berlipat-lipat tertutup hasrat.

Ketika ada yang menyuarakan kebaikan, ketika yang baik diam, ketika yang ingin mendobrak beranjak tegak, ketika ketulusan berbicara, ketika norma-norma ingin di tata, ketika syak wasangka ingin dibelah. Semua dalam kenisbian rasa. Sulit untuk memanggil bisik keyakinan, jika semua itu adalah “cinta”.

Cinta telah di tarik untuk diri dan kelompoknya. Cinta direnda dengan membobol kebencian yang seharusnya menjadi bahan dasar menyuburkan cinta. Cinta dipuja untuk mengumbar dosa. Cinta dihidangkan untuk disantap dan dibuang! Cinta hanya sebuah kata, maka lari satu persatu maknanya. Hanya untuk dipajang di gerai-gerai amarah!

Adalah siswa saya, figur jiwa yang masih putih dalam memaknai rasa. Tetapi, dalam ghirohnya ada gemuruh “cinta” atas nama ketulusan. “Selamat pagi Ayah:-* semangat seninku semua karna motivasi ayah dari surga sana”. Celoteh keluguan hati dalam update status FB-nya. Tidak akan bermakna apa-apa ketika postingan ini dibaca tanpa menghadirkan rasa. Hanya akan dianggap umbaran keluh, jika memori hati sudah terkontaminasi. Tetapi menjadi “lautan cinta”, tatkala hati diajak untuk memaknai.

Lautan cinta yang hanya Tuhan yang bisa menghadirkannya. Sebuah pertalian batin yang telah mampu menanggalkan artivisial dan tendensi-tendensi. Sublimitas rujuk jiwa disaat bola mata tidak mampu lagi menatap dan meraba. Rasa pertalian itu tumbuh abadi lewat sebuah kata “Cinta”.

Lautan cinta semakin membiru, ketika puja-puji cukup hanya sekali. Setelah itu silahkan ditelan dan nikmati. Sekaligus dipersiapkan lahirnya dampak atas “bisa” cinta yang telah dipilihnya. Mencinta bukanlah lautan resah apalagi pesta pora. Cinta bukan syahwat dan hentakan pikir bejat. Cinta adalah ketuntasan dialog hati untuk lebih menyayangi. Cinta tidak mengenal koridor dan hitungan. Bukan sosok yang dipegang, bukan kekuasaan yang menyebabkan datang, apalagi karena berangkat dari benci dan iri. Cinta terlahir, setelah jiwa dan hati puas mengunyah diri sendiri.

Ketika Malik bin Dinar terperangah mendengar adanya sepasang sufi yang harum nama dan tinggi wibawa, Ia beranjak mencari walau sampai di ujung bumi. Semakin terperangah “sufi gila” ini, ketika menemukan sepasan sufi itu hanya duduk berhadapan beradu sudut sembari mata meleleh kabut asmara. Bibir bergerak mengikuti tasbih yang berputar di sela jemari sucinya.

Apa yang terjadi? Sepasang sufi itu adalah “merpati” yang telah ditinggal pergi pasangan masing-masing. Ipar dari sebuah kekerabatan, mencintai pasangan yang telah pergi dengan menghabiskan sisa waktu berdzikir diharibaan Illahi. Sungguh, jiwa yang telah basah dengan kedinginan arti cinta yang kini dipersembahkan seluruhnya untuk Sang Pemilik Cinta, Allah swt.

Lautan cinta kini mendidih, karena semakin ditinggal maknanya. Makna yang melaut luasnya, makna yang telah habis ditebas batang lehernya oleh kelicikan dan kepicikan hati! Hati manusia dan sejarah, dunia!

Ini Bukan Mimpi

Bangun kepercayaan
Seperti pusara menyambut jasad tak bernyawa
menimbun dengan tenang menemani tanpa beban
meski lonceng kematian berdentang sepanjang jaman

Pahit getir, manis dan hambar
berada dalam siklus kesetaraan rasa
saling menimpal mengisi dan berjejal
menunggu panggilan hati, maka, jauhkan membual

corak hentakan ini adalah liukan jiwa diri yang kemarin berlari
Jangan tanya apa yang sedang terasa belum ada detak yang mengisyaratkan
hilangnya gelisah nilai keagungan yang sedang dirambah di rongga kenyamanan

Hai
Tajam mata itu sayu
menggenggam erat gumpalan misteri untuk ditafsiri
gejolak ini semakin menjerat dibalik makna diskusi

Gerimis mengaburkan bayang, sosok
yang masih berdiri menyusun ritme alasan
mengabaikan terang di belakang baying

Tidurlah, sayang, ini bukan mimpi,
esokpun akan engkau temui tanpa batas waktu
Takdir bukanlah skenario diri yang bisa engkau tulis
dilembar dedaunan di sembarang dahan

Tintapun bukanlah yang seharusnya
untuk mengarahkan arah tulisan yang ada
Semua hanyalah simbol dan guratan,
bukan ruh atau nilai-nilai

catatlah dalam diskusimu,
hentakkan tatkala gelisah,
sapa kepastian yang telah banyak
terungkap dalam isyarat-isyarat kata

Ini bukan mimpi, karena dibangun atas dasar rasa!
Ada yang bersembunyi, yang tidak mungkin akan berbunyi
Walau pun nyata, seakan dalam mimpi

(dari puisi "Ini Bukan Mimpi" - akhmad fauzi)

Kertonegoro, 23 Maret 2015
Salam,

Berangkat Dari Hati Untuk Menumbuhkan Energi Positif

Ilustrasi : www.lintas.me

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun