Mohon tunggu...
Tifauzia Tyassuma
Tifauzia Tyassuma Mohon Tunggu... -

Dokter. Penulis. Tinggal di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Elegi Shinta dan Terorisme

15 Mei 2018   05:55 Diperbarui: 15 Mei 2018   07:01 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (foto: kompas.com)

Catatan manis dan hangat buat Kepolisian

Wanita jawa, apabila memiliki genetika jawa 24 karat, dididik dengan nilai kejawaan yang kental, dibesarkan dalam nilai jawa yang sangat patriarkis, dibudidayakan dalam situasi ekologis yang homogen dan jauh dari dinamis, adalah wanita yang kesetiaan dan pengabdian pada suami menjadi standar kesuciannya yang tertinggi.

Dalam lakon Ramayana versi jawa, ketika Shinta diperintahkan oleh Rama untuk masuk ke dalam api, maka dia lakukan tanpa ragu, melompat ke dalam gemeretak api yang berkobar, menjemput tingkat paling mulia dari ideologi seorang wanita: kepatuhan tanpa batas.

Shinta selamat karena Shinta cuma cerita. Lain halnya dengan wanita jawa bernama Puji Kuswati. Penghambaan kepada suaminya menghasilkan cerita kematian yang begitu tragis dan ironis.

Puji Kuswati, wanita pelaku bom bunuh diri pada minggu pagi kelabu, 13 Mei 2018, meledakkan diri bersama dua putrinya, yang mengguncangkan kedamaian hati seluruh bangsa.

Kepatuhan kepada suami bagi wanita jawa (tradisional) hampir seperti agama. Di alam modern ini, dengan pendidikan dan budaya yang semakin heterogen, banyak wanita jawa menjadi "murtad" budaya.

Namun tentu masih banyak wanita jawa yang keimanannya tetap pada taklid yang berbunyi: "swarga nunut neraka katut" (ke surga ikut, ke neraka pun aku menurut).

Barangkali mbak Puji ini termasuk dari wanita jawa yang original ini. Sehingga ketika diperintahkan oleh suaminya untuk melakukan apapun, maka dia akan melakukan apapun tanpa reserve. Surga sudah datang kepadanya, sejak ketika dia menyatakan patuh mengikuti apa kata suaminya. Sehingga ketika tindakan bunuh diri harus ditempuh, dengan melibatkan keempat buah hatinya sekalipun, baginya dia sedang melakonkan dirinya seorang Shinta yang menjadikan api sebagai pintu nirwana, dan bagi Puji bom yang melingkar di perut akan menjadi roket yang seketika mengantarnya menuju surga bersama anak-anaknya.

Beberapa metode dinyatakan untuk membuat seseorang mampu melakukan suatu tindakan radikal.

Pertama adalah metode brain-washing. Subyek akan diberikan perlakukan dan obat-obatan tertentu yang memengaruhi fungsi otaknya dan membuatnya patuh terhadap instruksi apapun. Pada serial film Bourne maka kita bisa melihat betapa efektifnya metode brain-washing ini kepada seorang manusia, menjadi mesin pembunuh yang handal.

Metode kedua adalah hypnosing. metode ini melibatkan ketrampilan untuk mensugesti dan "menguasai" pikiran orang lain sementara waktu sehingga ketika pikiran itu terkuasai maka dia akan bisa diperintahkan untuk melakukan apapun. Demonstrasi metode hypnosis bisa kita lihat pada beberapa acara reality show Uya Kuya

Metode ketiga adalah persuation, membujuk, merayu agar melakukan tindakan tertentu. Tindakan akan dilakukan apabila yang bersangkutan merasakan bahwa apa yang harus dilakukan masuk dalam logika dia. Metode keempat adalah deception atau pemutarbalikan, pemberian informasi yang salah namun terus-menerus diberikan yang menghasilkan suatu pemahaman yang baru dan dipercayai.

Apabila Puji menerima instruksi bunuh diri dengan melalui metode kedua, ketiga dan keempat maka di atas sana pastilah dia akan menyesal dan ingin sekali waktu bisa dibalik kembali, sehingga dia tak harus melakoni tindakan yang begitu menyedihkan seperti tempo hari.

Masalahnya seorang wanita jawa tidak perlu dihipnosis, dipersuasi, atau didesepsi, apalagi didoktrin untuk mengikuti perintah suaminya. Apapun, betapapun tidak masuk akalnya perintah itu, apabila dia diperintahkan suami, maka dia akan lakukan, walaupun tidak sesuai dengan kata hatinya sekalipun, tetap akan dia lakukan, dengan ikhlas. Apalagi bila suaminya ini suami yang dicintainya, maka dia lakukan dengan dua semangat menggelora, semangat patuh dan semangat cinta.

Ini apabila dia seorang wanita jawa 24 karat. Dan ada karunia yang bersifat inheren yang dimiliki seorang wanita jawa, barangkali sebagai antidotum kepada situasi kepatuhan tanpa reserve, yaitu daya tahan yang luarbiasa terhadap penderitaan.

Tiada sejarah besar wanita jawa yang hebat yang hidupnya tanpa penderitaan. Apabila dia wanita bangsawan maka sejak awal dinikahi dia harus tahu akan ada wanita kedua, ketiga, hingga keseratus yang akan berbagi suami dengannya. (Ingat Raden Ajeng Kartini yang keikhlasannya dipoligami beradu perang dengan pemberontakan batinnya yang membawa pada kematian?)

Apabila dia wanita pidak pedarakan alias wanita biasa maka dia akan tahu bahwa uang yang diterima dari suami hanyalah segenggam beras dan sekepeng yang hanya cukup untuk membeli garam, selebihnya gizi keluarga harus pula dia yang mencari, protein hewani harus dia ternakkan sendiri, pada saat hamil besar dia harus pula membantu mengani-ani padi dan memanggul karung demi karung beras untuk dijual dan sebagian kecil jatah keluarga.

Wanita jawa tidak hanya harus patuh dan setia, dia harus memenuhi syarat sempurna sebagai wanita yaitu 5M.

Manak-Masak-Macak-Marak-Makaryo.

Dia harus bisa Manak, memberikan keturunan.

Dia harus bisa Masak, membuat sambal enak dari ulekan tangannya sendiri, adalah ujian dengan nilai tertinggi seorang wanita jawa 

Dia harus bisa Macak, berdandan dengan cantik dari subuh hingga malam hari untuk suaminya.

Dia harus Marak, dia ramah tamah menyenangkan hati.

dan dia harus bisa Makaryo, artinya dia harus mampu bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Beratnya persyaratan hidup seorang wanita jawa membuat ketabahan menjadi nama tengahnya. 

Ketabahan itu diejawantahkan dengan sikap Narima atau nrimo.

Sampai dengan hari ini tiada seorangpun, secerdas apapun pikiran seseorang, kalau dia tak memasukkan faktor "kewanitajawaan" seorang Puji untuk mendapatkan penjelasan logis atas tindakan bunuh diri yang dia lakukan, dia tak akan mampu mencernanya.

Mengapa pula "pati obong" yang dia lakukan harus dengan mengajak serta dua dari empat buah hatinya? akan saya buat tulisan tersendiri untuk peristiwa ini.

Saya memandangi foto wanita jawa, yang cantik, yang jasadnya dalam hitungan detik terburai oleh ledakan bom yang barangkali diracik suaminya sendiri, bersamaan dengan terburainya tubuh kedua putrinya.

Duhai Puji, Apakah karena engkau bergenetika wanita jawa sehingga engkau mampu melakukan ini?

Apabila iya, maka, ada banyak tentu engkau dan engkau yang lain, yang saat ini sudah siap meledakkan diri, demi mencapai kemuliaan hakiki seorang wanita, yang dalam bahasa jawa hanya bernama "wadon" alias "wadu" atau hamba sahaya lelaki, dan meraih firdaus yang kau ciptakan dalam benakmu sendiri?

Apabila benar demikian, maka wahai Kapolri dan Panglima TNI, bapak Presiden dan Menhankam, PR besar menanti anda dalam entah berapa lama ke depan ini.

Oleh Tifauzia Tyassuma

Dokter.  Penulis. Tinggal di Jakarta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun