Mohon tunggu...
Tiffany Syabillah
Tiffany Syabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Seorang mahasiswa Jurnalistik, antusias dalam membahas topik terkait psikologi dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Selayang Pandang Tunjangan Hari Raya, Akar, dan Kebermanfaatannya

16 April 2024   21:30 Diperbarui: 16 April 2024   21:32 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Raya Idul Fitri kembali datang. Perayaan hari lebaran menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu umat Islam seluruh dunia. Berbagai tradisi pun dihadirkan sebagai rasa syukur serta bahagia, menantikan tibanya hari ini. Salah satu tradisi yang hingga kini masih populer ialah pemberian amplop Tunjangan Hari Raya atau THR.

Tradisi amplop Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan salah satu momen yang paling dinanti-nantikan, terutama di Indonesia. Momen ini tak hanya menjadi sarana untuk memberi, tetapi juga simbol kepedulian, kerja keras, dan penghargaan. Dalam amplop kecil ini terdapat lebih dari sekadar uang; ia menyimpan makna yang mendalam bagi penerima dan memberi.

Sebagai budaya yang telah berlangsung puluhan tahun di Indonesia, amplop THR telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan lebaran. Tradisi ini berasal dari nilai-nilai sosial, keagamaan, dan kesetaraan.

Asal muasal tradisi pemberian THR ini diawali di tahun 1950-an, terutama pada era Kabinet Soekiman Wirjosandjojo. Keuangan Indonesia dinilai cukup mumpuni masa itu. Oleh karena itu, Soekiman yang merupakan Perdana Menteri dari Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), menjanjikan terdorongnya kesejahteraan seluruh Pamong Pradja atau yang kita kenal dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekarang. Setiap hari keagamaan, Soekiman mengatur kebijakan agar setiap Pamong Pradja diberikan uang pinjaman awal atau persekot. Uang pinjaman tersebut dikembalikan dengan sistem pemotongan gaji di bulan berikutnya.

Namun, peraturan ini menuai kontra dari para buruh dan karyawan swasta. Aksi mogok kerja pun terjadi di tanggal 13 Februari 1952. Isi dari aksi ini menuntut buruh juga diberlakukan pemberian THR. Permintaan ini hanya menjadi angin lalu oleh pemerintah. Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang masih terkait dengan PKI terus menggertak pemerintah agar mendengar suara buruh.

Tahun 1954, Menteri Perburuhan masa kepemimpinan Soekarno, akhirnya menetapkan kewajiban pemberian THR. Peraturan ini pun terus berkembang hingga detik ini. Kewajiban memberikan THR tercatat dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016. Dituliskan, pengusaha diwajibkan memberikan THR Keagamaan kepada pekerjanya.

Amplop THR tidak hanya sekadar memberi uang, tetapi juga menyiratkan kepedulian yang mendalam. Momen ini adalah kesempatan bagi pengusaha, perusahaan, atau individu untuk menunjukkan bahwa mereka memahami perjuangan orang lain, terutama di saat-saat spesial seperti lebaran.

Pentingnya tradisi amplop THR juga terletak pada kesetaraan yang diusungnya. Baik pekerja tetap, kontrak, maupun pekerja harian, semuanya memiliki hak yang sama untuk menerima tunjangan yang memadai. Inilah yang membuat amplop THR menjadi salah satu upaya memperkuat kesatuan dalam keragaman.

Di sisi ekonomi, amplop THR juga memiliki dampak yang signifikan. Sebagian besar penerima THR menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, dan merencanakan masa depan yang lebih baik.

Penting untuk dicatat bahwa pemberian amplop THR juga dapat berdampak pada produktivitas kerja. Ketika karyawan merasa dihargai dan diperhatikan, motivasi untuk bekerja keras dan loyalitas terhadap perusahaan bisa meningkat.

Sri (50), seorang karyawan sebuah perusahaan swasta mengaku, adanya pemberian THR menambah semangatnya dalam bekerja.

“Saya biasa dikasih sekitar seminggu sebelum lebaran. Kalau udah dikasih THR tuh, rasanya semua kerjaan pengen diselesaikan hari itu juga,” jawabnya.

Sri bersyukur atas adanya kebijakan pemberian THR ini. Apalagi, Ia memiliki pekerja di rumahnya dan sanak saudara yang selalu diberikan amplop setiap hari lebaran tiba.

“Saya nggak bisa kasih tahu berapa THR yang saya dapat dari kantor, tetapi saya sendiri bisa habis 2-2,5 juta buat bagi-bagi THR ke pekerja-pekerja dan keponakan-keponakan saya. Itu pun masih sisa cukup untuk saya tabung.” katanya saat ditanyakan mengenai jumlah THR yang didapatnya.

Di sisi lain, Najwa (14) seorang siswa SMP yang tiap tahunnya selalu mendapatkan amplop THR juga senang setiap hari lebaran tiba.

“Biasanya, tiap lebaran, saya suka dapat 500 ribu atau bahkan lebih. Jumlah uang yang dikasih dari tiap orangnya juga suka beda-beda, ada yang kasih 5 ribu sampai 150 ribu.” pungkasnya.

Uang yang Najwa dapatkan dari amplop THR digunakan untuk membeli baju atau pun barang keinginannya. “Kalau ditabung jarang sih, karena uangnya habis duluan dibelanjain. Tahun ini dibeliin peralatan makeup sama baju.”

Bagi penerima, menerima amplop THR bukan hanya soal uang, tetapi juga mengandung nilai apresiasi dan ucapan terima kasih. Menerima amplop THR dengan hati yang tulus adalah bagian dari menghargai upaya yang telah dilakukan oleh pemberi.

“Udah budaya aja sih tahun ke tahun (amplop THR) di keluarga besar, hal yang paling ditunggu-tunggu banget waktu kumpul-kumpul.”

Namun, tak jarang juga ada keluarga yang tidak membudayakan pemberian amplop THR. Berbagai alasan didapati, ada yang tidak begitu berkecukupan, ada yang memang tidak membiasakan tradisi tiap tahun ini di keluarganya, serta alasan-alasan lain.

Salah satunya ada Alvin (23), seorang mahasiswa. Alvin menyebutkan, keluarganya memang tidak biasa memberikan amplop THR setiap lebaran.

“Memang nggak biasa aja bagi-bagi THR gitu. Dari saya kecil juga nggak pernah. Paling dapat (THR) kalau ada tetangga yang ngasih,” sebutnya.

Alvin juga menuturkan alasan mengapa keluarganya tidak memberikan amplop THR. “Katanya, nggak boleh dibiasakan, puasa Ramadan itu ‘kan soal kewajiban, rasanya nggak perlu diberi reward seperti dikasih amplop. Nanti kedepannya, kalau melakukan sesuatu, merasa harus ada reward di akhirnya. Jadi lebih baik nggak usah dibiasain sama sekali dari awal.”

Perbedaan-perbedaan ini yang menjadikan Indonesia kaya, berbagai prinsip dan budaya lahir bahkan dalam satuan kelompok terkecil sekali pun, keluarga. Hari Raya Idul Fitri memang bukan sekadar soal amplop THR, tetapi lebih pada proses penyucian dan refleksi diri setelah melaksanakan puasa Ramadan. Terpenting lagi, hari lebaran adalah hari kita bisa kembali bertemu dan bersilaturahmi dengan keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun