Saya pernah ditemui dengan teman yang mengambil PTN di jurusan yang sama dengan saya ketika jam istirahat atau ketika selesai sholat zuhur hanya untuk meminta agar saya tidak mengambil jurusan tersebut, atau bisik-bisik keluhan agar saya mundur dari pilihan jurusan di PTN tersebut, mereka percaya bahwa siswa dengan nilai tertinggi yang akan lulus seleksi.
Tindakan mereka cukup aneh atau brutal menurut saya. Bagaimana mungkin mereka meminta saya membatalkan keinginan saya masuk PTN di jurusan tersebut hanya karena saya memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding mereka dan mereka beranggapan bahwa saya-lah penyebab mereka tidak akan lulus seleksi. Bagaimana dengan saya? Apakah mereka tidak berpikir bahwa saya juga memiliki mimpi yang sama besarnya dengan mereka?Â
Bagaimana jika saya membatalkan masuk jurusan di PTN tersebut sedang mereka juga tidak lulus? Apakah mereka tidak paham bahwa setiap orang memiliki hak yang sama? sedangkan jawaban lulus atau tidak lulus mutlak adalah karena keputusan Tuhan. Apakah mereka tidak paham hal tersebut?Â
Mengapa mereka dengan seenaknya meminta seolah-olah mereka adalah korban yang harus saya tolong padahal di hari lalu mereka tidak melaksanakan kewajiban belajar untuk mendapat nilai tertinggi?
Disaat yang tepat Pak Abdul dan saya berbincang tentang SNMPTN yang membulatkan niat saya untuk menolak permohonan teman tersebut.Â
Masuk ranah kuliah, Â perkenalan saya dengan Pak Abdul (bolehkah saya menyebutnya sebagai jaksa dan pengacara dalam sebuah sidang pengadilan)? Jarak yang ber-kilo meter tidak menghanyutkan perbincangan saya dengan Pak Abdul.Â
Kami saling beradu pendapat dalam kolom komentar facebook tentang makna kata "hukum", kekuatan IPK, pergaulan di media sosial, sudut pandang menyikapi masalah dan lainnya.
Sebelumnya, saya beritahu bahwa saya tertarik dengan orang-orang yang idealis, kritis, memiliki prinsip, berwawasan dan percakapan yang dalam.Â
Tidak mengapa berbeda pandangan asal mampu menjelaskan dengan menyeluruh arah pandangan tersebut, hal ini membuat saya semakin tertarik; mendebatnya bukan berarti saya benci tapi karena saya suka, yang mungkin bisa jadi pandangannya dapat memberi gambaran dari sisi lain yang mampu saya pelajari.Â
Tidak mengapa pula kesamaan pandangan asal mengerti atas pandangan yang dimaksud tersebut artinya bukan hanya sekedar menjawab setuju/tidak setuju atau seseorang yang apabila saya tanyai, mampu menjawab dengan pengetahuannya. Saya menyukai orang-orang seperti itu.
 Saya bertemu dengan seorang teman lelaki (katakan pacar) berawal dari soal matematika sinus/cosinus/tangen lalu saling berbincang, berdiskusi tentang pelanggaran ham, predisen Amerika, ciri makhluk hidup, pemain sepakbola, media sosial, filosofi hubungan dan lainnya.