Kau jumpai aku ketika kita masih memakai seragam putih abu-abu. Kita sepakat mengadu rasa tanpa harus mengikat. Aku sebut lingkaran ini pertemanan.Â
Sesuka hati aku memintamu mendengar keluhku, tentang keruwetan bersikap manis di depan manusia-manusia atau tentang hiruk-pikuk perjalanan yang mengundang haus dan aku kehabisan minum, tentang pacarku yang lebih tampan daripada kau.Â
Pula kau tidak asing lagi dengan omong kosong yang sengaja aku susun sekedar menghiburmu, tapi kau mungkin tidak terhibur karena pengaruhku bukan sebagai penyejuk hati atau dambaan hati yang kau pinta dalam doa dan harapmu.Â
Sampai kepada suatu malam, katamu kau ingin mendengar puisiku. Untukmu katamu, aku harus menuliskannya.Â
Aku membidik tajam tepat pada dinding-dinding kamar yang tetap hangat karena temperatur udara di kotaku memang berkisar dua puluh empat derajat celcius. Di akhir hari bulan Agustus, aku mengirimu puisiku dan aku jujur asal kau tahu.
Aku,
Merayu waktu melambat menyudahi malam
Pikirku akan selesai sajak untukmu
Pada garis-garis yang menyulut afeksi
Bergejolak, seperti memaksa bungkam
Namun tidak dikehendaki
Pun kau adalah pikiran-pikiran yang mencumbui getar
Berjelaga riuh dalam dimensi khayal
Bisakah kau menyisakan sekeping pandang?
atau apakah aku mampu berhenti bermain?
Kita masih saja enggan meletakkan hati pada banding yang sepadan
Mungkin ketika kisah berotasi
Menaruh ciuman disetiap kenang
Berselimut mesra dipenantian dekap
Perlahan aku paham, cinta bisa tumbuh
Lalu kau kujadikan kekasih
Medan
31 August 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H