Aku tetap suka menulis walau aku bukan mahasiswi jurusan sastra. Aku masih ingat, tulisan pertamaku saat masih kelas III SD menjadi kategori favorit yang dibacakan oleh wali kelas yang berjudul "Hari Menerima Rapor" lalu aku tulis ulang dengan sedikit memperbaikinya di kelas IV SD.Â
Lalu Aku mulai belajar membaca beberapa puisi karangan Ismail Marzuki, Sanusi Pane, Chairil Anwar dan karangan lainnya yang sering ditulis dalam buku ajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Aku juga mulai belajar membaca beberapa cerpen ringan yang ditulis dalam buku ajar mata pelajaran Bahasa Indonesia tersebut.
Masuk bangku SMP Aku mulai menyukai seorang penulis, Sapardi Djoko Damono. Aku tertarik dengan puisinya yang berjudul "Hujan Bulan Juni" lalu membaca beberapa puisi lainnya seperti Yang Fana Adalah Waktu, Aku Ingin dan lainnya. Waktu itu, diusiaku yang masih berkisar 11 tahun terlalu muda untuk menyukai karya Djoko Damono.Â
Mungkin beberapa teman menanggap seleraku payah, kuno dan terlalu tua. Sampai pada tahun 2017, novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono tersebut diangkat menjadi film yang dibintangi oleh Adipati Dolken dan seorang teman bercerita padaku tentang film tersebut lalu dalam hati aku tertawa kecil teringat akan komentar teman SMP ku tentang aku yang dianggap selera payah karena menyukai Sapardi Djoko Damono diusia semuda itu.
Awal aku menyukai puisi Djoko Damono, sederhana. Aku selalu gagal paham memaknai arti puisinya yang berjudul Aku Ingin, yang sering ditulis diundangan pernikahan. Sekali ku baca, aku pikir itu puisi romantis yang indah. Ku baca kedua kali, aku pikir itu puisi sedih yang mendalam, ku baca berulang kali, aku masih tidak menemukan sebenarnya arti puisi tersebut.Â
Lalu aku mendengar talk show Djoko Damono, dia mengatakan bahwa menulis puisi disengaja agar pembaca berpikir sesuka hati tentang makna puisi tersebut sampai akhirnya tidak akan menemui makna yang sebenarnya. Bukan berarti puisi tersebut tidak punya tujuan, tidak punya arti atau buram.Â
Tapi dengan begitu, puisi tersebut akan tetap hidup sampai kapanpun. Coba bayangkan jika puisi ditulis dengan bahasa baku yang konkrit, setiap pembaca akan memiliki penafsiran yang sama dan puisi tersebut akan berhenti hanya sebatas selesainya pembaca membaca puisi. Karena sulitnya aku memahami maksud puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, aku menyukainya.
Masuk bangku SMA, aku mulai mengikuti beberapa lomba menulis lokal. Waktu iu, kelas X, aku mendapat Juara I menulis puisi yang diadakan oleh Ikatan Alumni SMA Nurul Ilmi Padangsidimpuan Komisariat Riau dan Juara III nya diraih oleh abang kelas XI. Berangkat dari pengalaman itu aku semakin percaya diri untuk mengikuti lomba menulis lainnya.
 Yang ada dalam pikiranku "yang menang menulis gak pernah mandang umur karena lebih tua pasti lebih pandai, salah." sehingga aku memenangkan beberapa event menulis kecil-kecilan. Lalu berpacu untuk menulis dalam taraf nasional.
Dikelas XII, aku bertemu dengan seorang penulis yang kritis yang terkenal sebagai penulis koran waspada yang berkelas dan juga merupakan guru mata pelajaran Bahasa Arab di SMA ku. Kami diberi tugas untuk menulis tentang teman sebangku. Guru tersebut tertarik dangan tulisanku dan memintaku untuk menulis tentang hal lain. Lalu kutuliskan tentang orangtua dan guru tersebut menyarankan untuk mengirim tulisan itu ke koran waspada.Â
Tapi aku masih belum berani. Suatu hari, saya menulis tentang ketidaksukaanku kepada beberapa guru yang menjanjikan "saya akan memberi nilai bagus kepada siswa yang baik dan rajin walau dia tidak pintar" diawal masuk kelas untuk kemudian diingkari oleh beberapa guru tersebut dan tentang ketidaksukaanku kepada beberapa guru yang dengan percaya diri mengajar dan memberi nilai kepada siswa yang bahkan guru tersebut tidak mengenal siswa yang dia ajarkan.Â
Dalam tulisan tersebut aku mempertanyakan "Bagaimana bisa seorang guru dapat memberikan nilai sedangkan ia tidak mengenal siswa yang dia akan berikan nilai tersebut?" membaca tulisan tersebut guru pembimbing Ekstrakulikuler Karya Tulis Ilmiah menyarankan untuk mengirimnya ke koran. Lalu saya memberanikan diri mengirim ke koran Waspada dan dimuat pada kolom surat pembaca bulan September tahun 2013.
Sejak hari itu, namaku cukup terdengar sering dimana-mana. Bahkan dikelas Putra, namaku menjadi berita panas untuk dibicarakan. Kelas Putra? Ya. Sekolah ku adalah SMA berbasis pesantren yang memisahkan kelas Putra dan Putri. Ada guru yang kontra dan ada yang pro. Itu hal yang wajar. Aku malah senang dengan adanya guru yang kontra. Karena kekontraan yang terjadi kami semakin dekat dan dia lebih memperhatikanku.Â
Mungkin dia takut dikategorikan sebagai guru yang bisa menilai siswa walau tidak mengenali siswa tersebut. Aku masih mengingatnya, setiap hal yang dia sampaikan kepadaku, perlakuan yang dia berikan, terkadang aku merindukannya dan dia pada akhirnya menjadi salah satu guru favoritku di sekolah itu. Disuatu ntah apa alasannya, dia memberiku Jilbab warna kuning telur, kami beberapa kali bertukar pikiran tentang ide untuk menulis, dan sampai hari ini aku menyimpan nomor handphone nya di kontak handphone ku, Mr. Fandy yang sudah tidak aktif lagi.
Cerita berlanjut dengan semangat untuk menulis dan memenangkan lomba bergengsi, namun malangnya seiring berjalannya hari, tulisanku mulai gagal dimuat di koran waspada dan aku tidak pernah lagi memenangkan lomba menulis apapun ditambah aku harus fokus Ujian Nasional dan Ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri, aku memilih vakum dalam menulis.Â
Pernah beberapa waktu aku mengurungkan ambisi untuk tetap menulis karena teman-teman ku yang memiliki ketertarikan membaca yang minim, tapi memiliki ketertarikan mencari kesalahan orang lain yang maksimal. Karena teman-temanku yang memiliki ketertarikan merasa hebat dan menganggap enteng banyak hal lebih besar daripada ketertarikan untuk belajar.
Karena teman-temanku yang memiliki ketertarikan untuk menghakimi dari pada mengerti dulu, karena aku diterkam oleh suatu prinsip "setiap orang memiliki prinsip yang berbeda, pandang yang berbeda", karena aku diciutkan oleh slogan "ini bukan urusanmu, urus saja urusanmu."Â
Yang ironisnya prinsip dan slogan tersebut sering tidak duduk pada tempatnya, yang parahnya slogan dan prinsip tersebut dijadikan sebagai alasan pembenar orang-orang egois yang merasa paling benar atau orang-orang yang tidak mampu menerima kebenaran karena kebodohan yang dia agung-agungkan.
Mereka hanya sekumpulan orang yang tidak mengerti dengan apa yang mereka tidak mengertikan, berpayung sempit yang tidak mengerti mana yang menjadi urusan diri sendiri dan mana yang menjadi urusan bersama. Mana yang termasuk prinsip dan mana yang termasuk kesia-siaan.Â
Selain itu, karena orang-orang disekitarku menganggap remeh seorang penulis. Beberapa orang berpikir bahwa penulis hanyalah orang-orang yang terlahir karena kegalauan yang tidak mampu mengatasi dengan tindakan, hanya orang cengeng yang berperasaan berlebihan. Karena banyak omong yang mengiang-ngiang ditelingaku, aku memilih vakum menulis.
Lalu suatu hari, seseorang kembali menginspirasiku. Dengan sengaja aku membaca beberapa tulisan-tulisan lama beliau. Seseorang yang berkontribusi dalam perjalanan menulisku, Pak Abdul Hakim Siregar, guru mata pelajaran Bahasa Arab di SMA ku. Lalu kuputuskan untuk menulis lagi.Â
Masuk dalam ranah kuliah, berdiri sebagai mahasiswa. Aku menulis tidak lagi dengan tujuan memenangkan lomba atau ajang mencari duit, tapi hanya sebatas tulisan ocehan yang ku simpan di laptop dan beberapa dari tulisan itu aku post di akun blog kompasiana ku.Â
Aku menulis dengan tulisan ringan yang terkadang tidak beraturan tapi tetap memiliki tujuan dan bahasa kritis serta berupaya untuk tampak berbobot agar terlihat tegas yang tercermin bukan sebagai cerita cinta cengeng anak ingusan. Hitung-hitung untuk bahan penilaian para haters ku yang bertahun-tahun belum mampu menyaingiku yang sampai pada detik ini masih stalking aku, yang selalu penasaran tentang kisah hidupku.Â
Biar mereka sadar tidak ada gunanya menghabiskan hari untuk membenciku karena aku jauh lebih keren dari mereka yang membenciku, maaf ini hanya asumsi saja. Aku ingatkan, lebih baik berteman saja denganku daripada sakit karena tidak bisa sepertiku.
Tentang mereka yang berpikir bahwa menulis perkara yang gampang. Itu pemikiran yang keliru. Menulis bukan hanya sekedar mencurahkan isi hati. Tapi banyak hal yang perlu diperhatikan seperti arah penulisan yang konsisten, bahasa yang dipakai agar tidak mengandung unsur sara atau menyinggung oknum yang sensitif, tema yang dipilih agar tidak membosankan, pesan yang terkandung, bobot penulisan dan lainnya. Seorang berkata "kau akan dikenang karena tulisan yang kau tinggalkan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H