Dalam tulisan tersebut aku mempertanyakan "Bagaimana bisa seorang guru dapat memberikan nilai sedangkan ia tidak mengenal siswa yang dia akan berikan nilai tersebut?" membaca tulisan tersebut guru pembimbing Ekstrakulikuler Karya Tulis Ilmiah menyarankan untuk mengirimnya ke koran. Lalu saya memberanikan diri mengirim ke koran Waspada dan dimuat pada kolom surat pembaca bulan September tahun 2013.
Sejak hari itu, namaku cukup terdengar sering dimana-mana. Bahkan dikelas Putra, namaku menjadi berita panas untuk dibicarakan. Kelas Putra? Ya. Sekolah ku adalah SMA berbasis pesantren yang memisahkan kelas Putra dan Putri. Ada guru yang kontra dan ada yang pro. Itu hal yang wajar. Aku malah senang dengan adanya guru yang kontra. Karena kekontraan yang terjadi kami semakin dekat dan dia lebih memperhatikanku.Â
Mungkin dia takut dikategorikan sebagai guru yang bisa menilai siswa walau tidak mengenali siswa tersebut. Aku masih mengingatnya, setiap hal yang dia sampaikan kepadaku, perlakuan yang dia berikan, terkadang aku merindukannya dan dia pada akhirnya menjadi salah satu guru favoritku di sekolah itu. Disuatu ntah apa alasannya, dia memberiku Jilbab warna kuning telur, kami beberapa kali bertukar pikiran tentang ide untuk menulis, dan sampai hari ini aku menyimpan nomor handphone nya di kontak handphone ku, Mr. Fandy yang sudah tidak aktif lagi.
Cerita berlanjut dengan semangat untuk menulis dan memenangkan lomba bergengsi, namun malangnya seiring berjalannya hari, tulisanku mulai gagal dimuat di koran waspada dan aku tidak pernah lagi memenangkan lomba menulis apapun ditambah aku harus fokus Ujian Nasional dan Ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri, aku memilih vakum dalam menulis.Â
Pernah beberapa waktu aku mengurungkan ambisi untuk tetap menulis karena teman-teman ku yang memiliki ketertarikan membaca yang minim, tapi memiliki ketertarikan mencari kesalahan orang lain yang maksimal. Karena teman-temanku yang memiliki ketertarikan merasa hebat dan menganggap enteng banyak hal lebih besar daripada ketertarikan untuk belajar.
Karena teman-temanku yang memiliki ketertarikan untuk menghakimi dari pada mengerti dulu, karena aku diterkam oleh suatu prinsip "setiap orang memiliki prinsip yang berbeda, pandang yang berbeda", karena aku diciutkan oleh slogan "ini bukan urusanmu, urus saja urusanmu."Â
Yang ironisnya prinsip dan slogan tersebut sering tidak duduk pada tempatnya, yang parahnya slogan dan prinsip tersebut dijadikan sebagai alasan pembenar orang-orang egois yang merasa paling benar atau orang-orang yang tidak mampu menerima kebenaran karena kebodohan yang dia agung-agungkan.
Mereka hanya sekumpulan orang yang tidak mengerti dengan apa yang mereka tidak mengertikan, berpayung sempit yang tidak mengerti mana yang menjadi urusan diri sendiri dan mana yang menjadi urusan bersama. Mana yang termasuk prinsip dan mana yang termasuk kesia-siaan.Â
Selain itu, karena orang-orang disekitarku menganggap remeh seorang penulis. Beberapa orang berpikir bahwa penulis hanyalah orang-orang yang terlahir karena kegalauan yang tidak mampu mengatasi dengan tindakan, hanya orang cengeng yang berperasaan berlebihan. Karena banyak omong yang mengiang-ngiang ditelingaku, aku memilih vakum menulis.
Lalu suatu hari, seseorang kembali menginspirasiku. Dengan sengaja aku membaca beberapa tulisan-tulisan lama beliau. Seseorang yang berkontribusi dalam perjalanan menulisku, Pak Abdul Hakim Siregar, guru mata pelajaran Bahasa Arab di SMA ku. Lalu kuputuskan untuk menulis lagi.Â
Masuk dalam ranah kuliah, berdiri sebagai mahasiswa. Aku menulis tidak lagi dengan tujuan memenangkan lomba atau ajang mencari duit, tapi hanya sebatas tulisan ocehan yang ku simpan di laptop dan beberapa dari tulisan itu aku post di akun blog kompasiana ku.Â