Mohon tunggu...
tiar rahman
tiar rahman Mohon Tunggu... -

enjineer yang iseng nulis. Nanti ditambahin kalo inget ya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Yang Tersisa dari Hujan

1 Desember 2010   03:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:09 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku beranjak menutupi pintu. Sebelah tanganku memegang kenopnya.

"Sabarlah dulu. Nikmati sehirup dua hirup capuccino buatanku!" pintaku

Dia tak menjawab. Tapi masih saja berdiri terpaku.

"Lihatlah hujan itu masih merinai. Kamu kan gak bawa mantel, naik motor di hujan deras seperti ini bisa membuatmu sakit!" kataku sambil menyibak gorden jingga bermotif winnie the pooh.

Kali ini dia mengalah. Tapi duduknya tak jua tenang. Sesekali masih diliriknya swatch di tangan kirinya. Setengah usahaku berhasil. Aku menahan bahagia, walau senyum tipis merupa di bibirku.

Aku beranjak dan duduk di hadapannya.

"Mau kubuatkan yang lain. Mie rebus mungkin? Untuk sekedar menahan lapar," kataku.

Sambil berkata itu sesungguhnya aku menyesal. Aku hanya bisa membuat masakan yang instan saja. Padahal masakan buatan ibuku terkenal maknyus. Dan saat ibuku pergi ke bandung, dua hari ini praktis aku hanya makan mie dan telur ceplok saja.

"Eng.. Kalau tidak merepotkan, bisa buatkan aku bandrek. Aku gak tahan kalau minum kopi. Magku kadang kumat," kata Dimas.

Suara yang aku tunggu. Tapi sumpah, aku gak bisa bikin bandrek. Maka aku tak menjawab.

"Winda gak bisa buat ya. Tidak apa-apa. Aku boleh buat sendiri kan? Tadi aku lihat ada banyak jahe di dapur," lanjutnya.

Tanpa menunggu persetujuanku Dimas langsung menuju dapur. Tangannya lincah mengupas jahe. Setelah jahe dan air dijerang, dia membuka kulkas. Diambilnya gula merah, dan diiris tipis.

Aku membuka tutup piano, duduk dan mulai menekan tuts-nya. Hmm.. ada sebuah lagu yang cocok untuk sekarang ini. Saat air jahe mendidih, musikku mengiringi harumnya. Kulihat Dimas menatapku terpana saat dia menambahkan gula merah dan sedikit lada.

“Judul lagunya apa sih, Winda? Beatnya enak juga!” katanya.

“Ini lagunya Utopia!” kataku.

Walau mulutku bersenandung aku enggan menyebut judul lagunya. Bandrek yang masih mengepul memanggilku untuk kembali ke meja. Hmm.. enak dan bikin hangat. Seperti kehadiran Dimas di tengah hujan ini. Akankah kata itu terucap sekarang? Aku tak terlalu berharap.

BB Dimas berbunyi, sekilas aku melihat nama Lin adi sana. Hatiku menahan gemuruh. Dimas berdiri.

“Ya sayang. Aku masih di rumah Winda”

“Iya. Aku habis minjem buku catatan kuliah waktu aku sakit dan gak ke kampus tiga hari lalu.”

“Jadi dong. Oh hujan sudah berhenti,” katanya sambil menyibak jendela.

Aku seperti tak ada. Ingin rasanya aku mempunyai mantera pemanggil badai.

“Ok. Aku pulang ke rumah dulu, habis itu langsung ku jemput kamu ya?”

“Bye, sayang,” Tutupnya.

Aku terdiam.

“Win, aku pulang dulu ya. Makasih catatannya. Nanti hari senin aku kembalikan ya,” Dimas pamit.

“Iya. Terima kasih juga bandreknya. Hati-hati ya!”

Ingin kugenggam tangannya. Dan menahannya barang sejenak lagi. Tapi itu tak mungkin. Dia milik orang lain sekarang. Sang hujan membuatku merasa memilikinya walau sebentar saja. Motornya menggeram, tangannya melambai. Aku membalas lambaian sambil menahan perih hati. Kapan lagi aku memiliki saat seperti tadi?

Aku selalu bahagia/ Saat hujan turun/
Karena aku dapat mengenangmu/
Untukku sendiri/

Aku bisa tersenyum/ Sepanjang hari/
Karena hujan pernah/
Menahanmu di sini/
Untukku

Dimuat juga di http://supertiel.multiply.com/journal/item/31

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun