Mohon tunggu...
Tiarna Samosir
Tiarna Samosir Mohon Tunggu... Guru - Guru

Sosial, Lingkungan dan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ulat Api

1 Juni 2024   23:11 Diperbarui: 1 Juni 2024   23:17 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rina sudah menggerutu sejak tadi. Baru saja ia pulang dri sekolah. Sebelum makan siangnya selesai, ibu sudah memintanya segera selesaikan makannya.

"Cepatkanlah makanmu,Rin" kata ibu dengan wajah memelasnya.

"Bantu ibu. Kita akan segera ke kebun." tegas ibu sambil berjalan ke dapur. 

Segera saja ibu  membawa dua buah ember dan sarung yang warnanya sudah pudar. Tanpa memperhatikan Rina yang menunjukkan wajah merengut, ibu melintas di seberang meja makan menuju teras.

Mau tidak mau, Rina segera menyelesaikan makan siangnya. Menyimpan piringnya ke ember di sudut dapur tanpa sempat mencucikannya. Sesekali dihentakkannnya kakinya sebagai tanda protes. Rina merasa lelah hari ini setelah praktik olahraga pagi tadi di sekolah dan ingin istirahat.

Segera Rina mengganti pakaiannya dengan pakaian ke kebun. Celana jins panjang dan kaus merah lengan panjang. Ia harus melindungi kulitnya dari gigitan nyamuk dan serangga lain. Ia juga mengambil sepatu boot yang ada di dapur. Sepatu boot itu dulunya milik kakak. Sudah mulai robek di bagian tumitnya. Tapi masih cukup berfungsi melindungi kakinya dari ulat bulu yang biasa ada di rumput kebun. Tak lupa juga ia mengambil sebuah kain sarung untuk menutupi kepala dan wajahnya dari sengatan matahari. 

Rina tidak pernah berani membantah ibunya. Apalagi setelah ayah tiada 8 tahun lalu. Mereka sangat tergantung pada hasil kopi peninggalan ayah. 

Ibu mengatakan, uang penjualan kopi itu tidak begitu banyak. Kopinya sudah tua. Uang penjualan kopi itu harus cukup untuk memenuhi kebutuhan. 

"Kebutuhan sekolahmu dan kakakmu cukup besar" itulah alasan ibu setiap kali Rina mengusulkan supaya mengambil pekerja untuk membantu ibu.

"Ayo, lebih cepat, Rina", ibu sedikit berteriak memanggil Rina yang masih berlambat-lambat.

"Iya,Bu" Rina tetap menyahut walaupun sesungguhnya ia sangat  ingin beristirahat hari ini.

Rina naik membonceng di motor yang dikendarai Ibu. Kendaraan ini dulunya dipakai ayah untuk bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMA Swasta di kota kecamatan. 

Ibu masih sangat lincah mengendarai motor itu. Sesekali klaskonnya berbunyi untuk menghindari anak-anak yang bermain layangan di jalan. Ibu juga akan membunyikan klakson sambil mengnaggukkan kepala ketika bertemu kenalan atau teman-temannya. 

Akhirnya, motor berbelok ke jalan yang sudah sangat dikenal Rina. Jalan menuju kebun kopi milik keluarga, Kebun itu tidak luas, tetapi selama delapan tahun ini, mereka sudah bergantung pada hasil kopi itu. Ibu juga menanam beberapa kebutuhan dapur seperti cabai rawit, sayur atau berbagai rimpang di pinggir kebun. Beberapa pohon buah seperti nangka, apokad, sirsak dan pisang sudah ada di sana sejak Rina kecil. 

"Ibu yang hebat" pikir Rina.

"Ayo kita mulai dari ujung sana. Jangan sampai ada biji kopi yang tinggal,Rina" Ibu mengingatkan Rina berkali-kali. 

Rina semakin trampil memetik kopi, karena sudah terbiasa. Ayah berpulang ketika Rina mulai duduk di kelas 3 SD. Sejak saat itu, Ibu, Rina dan kakak hampir setiap hari diajak ibu ke kebun. Panen, membersihkan atau menabur pupuk sudah dilakukan Rina. Bahkan menggiling biji kopi dengan alat penggiling manual. Ibu selalu diam saat bekerja. Rina berusaha agar tidak terlalu jauh dari ibu.

"Awww, sakit" tiba-tiba Rina menjerit. Ia kesakitan. Rasa sakitnya segera menjalar sampai ke dekat ketiaknya.

"Ada apa?" tanya ibu dengan nada sedikit khawatir. Ibu takut jika ular yang mencatuk tangan Rina.

"Sakit,Bu" kata Rina sambil menunjukkan tangannya yang mulai memerah. 

Ibu segera memeriksa daun-daun kopi yang baru disentuh Rina. Benar saja, ibu menemukan seekor ulat bertanduk berwarna kekuningan. Ibu memetik daun di mana ulat itu bersembunyi di balik daun. Rupanya tangan Rina tersentuh pada ulat bulu itu. Ulat itu cukup besar dan sepertinya merupakan induk ulat. Ulat itu di kenal sebagai ulat api. Tersentuh sedikit saja, rasa sakitnya menjalar. Kelenjar dibawah ketik segera bereaksi untuk melawan pengaruh bisa dari ulat api tersebut.  

"Rupanya kamu tersentuh ulat api ini" kata ibu, bukannya segera menolong Rina.

Dengan hati-hati ibu meletakkan daun dan ulatnya di tanah. 

"Ulatnya sudah berubah menjadi warna kekuningan. Makanya  terasa jauh lebih sakit pengaruhnya" kata ibu

Dengan cekatan ibu membalikkan ulat dengan kayu kecil. Membelah perut ulat dan mengambil cairan dan usus ulat. Cairan itu disapukan ibu merata ke tangan Rina yang mulai agak membengkak. 

"Meskipun sesakit itu, obatnya ada dalam cairan ulat ini" kata ibu sambil mengoleskanya ke tangan Rina.

Rina hampir tidak percaya, bahwa cairan ulat itu menjadi obatnya. Rina belum pernah mengalami rasa sakit seperti ini. Kalau tersentuh ulat, biasanya rasa gatal yang muncul. Rina mengamati tangannya yang sudah diolesi cairan tubuh ulat. . Sementara, ibu sudah melanjutkan memetik kopi lagi. Rina mengamati tangannya yang bengkak. Rasa sakit itu telah hilang. Betapa takjubnya Rina. Rasa sakitnya benar-benar hilang tak sampai lima menit. 

Rina tersenyum-senyum selama memetik kopi di sore itu. Betapa ajaibnya, rasa sakit yang disebabkan ulat api penawarnya ada dalam tubuh ulat itu. Berarti, sepanjang ulat yang tersentuh itu ketemu, ia akan membayar dengan nyawanya. Penemuan ini sungguh hebat. Ulat api yang tersentuh membayar sangat mahal untuk dapat mengobati dampak yang diakibatkannya pada kulit yang tersentuh.

"Ayo kita pulang" suara ibu membuyarkan Rina. 

Hari sudah senja. Matahari menuju ke peraduannya. Ibu dan Rina segera bergegas membereskan kopi yang dipanen sepanjang sore ini. Hasilnya lumayan. Buah kopi di kebun ini sedang banyak-banyaknya. Harganya juga cukup  baik. Semoga cukup untuk digunakan menutupi kebutuhan keluarga. 

Dengan adanya peristiwa ulat api tadi, Rina merasa sedikit menyesal bersikap kekanak-kanakan siang tadi ketika ibu memintanya untuk membantu ke kebun. Tak seharusnya ia bersikap seperti itu terhadap ibunya. Ibu yang sudah memperjuangkan hidup dan pendidikan kakak dan Rina. Rina menatap wajah ibunya dengan rasa syukur. Ia menyelipkan doa di hatinya, semoga ibunya selalu sehat dan panjang umur. Input sumber gambarUlat Api-Gokomodo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun