Sebelum aku pergi ibadah Minggu lalu, sekitar 09.15, kucokkan magic com yang biasa kugunakan menanak nasi. Sekitar jam 10.00 nanti Inong akan makan. Beliau sudah terbiasa makan pada waktu dan tempat yang sama selama bertahun-tahun tinggal bersama.Â
Dan.... ternyata aku lupa menekan tombol memasak sehingga magic com tetap dalam mode menghangatkan. Tentu saja nasi tidak masak.Â
Kami semua sudah berangkat ibadah dan pulang lebih lambat karena ada kegiatan kaum pria di gereja. Jam demi jam berlalu, sekarang sudah pukul 14.00. Sampai seseorang yang lewat dari depan gereja menyampaikan kabar.
"Kak, opung menangis di depan rumah" katanya.
Dug dug, jantungku serasa copot. Aku segera bergegas pulang dan mendapati inong dalam keadaan menangis.Â
"Apa maksudmu?" lebih kepada mengeluh dari pada bertanya.Â
Aku segera masuk dan memeriksa nasi yang tidak tanak di magic com. Aku panik dan begitu marah pada keteledoranku.Segera kupindahkan panci magic kom ke atas kompor agar nasi lebih cepat tanak. Bagaimana aku bisa seteledor itu hingga perempuan 96 tahun , mertua yang kupanggil Inong, itu kelaparan?
Pagi ini, seperti biasa,  kuseduh 2 gelas kopi setengah pahit dan manis. Kejadian hari  Minggu kemarin masih membayangiku. Perasaan saat menyeduh kopi pagi ini sangat berbeda setelah peristiwa nasi yang sangat kusesali.Â
Memaafkan diri sendiripun begitu sulit. Sejumlah pertanyaan membuncah hati. Berkenankah ia akan segelas kopi seduhanku?Â
Kupejamkan mata seraya berdoa agar malam telah berhasil menekan amarah itu. Bangun pagi mengukir hati yang baru, hati damai seperti semula. Sengaja kubuatkan bolu lembut dengan gula palem yang spesial. Biasanya Inong akan menyatakan keheranannya bagaimana bolu itu dibuat.Â
"Bagaimana caramu membuatnya? Pas manisnya." pujiannya tulus.
Padahal aku merasa bolu itu terlalu manis dilidah. Tapi syukurlah ada yang menggemarinya.
"Inong, ini kopimu" dengan was-was menanti jawaban apa yang akan kuterima.Â
Perasaan seperti ini begitu menyiksa. Kurasakan kerongkonganku tersekat menanti jawaban.
"Iya" sahutnya.Â
Sepertinya ia sudah lupa peristiwa kemarin. Peristiwa yang membuatnya begitu sedih hingga meratap.
Huffff. Leganya perasaanku. Ringan langkahku melanjutkan pekerjaanku. Kalaupun tak sempat membersihkan lantai, setidaknya piring di wastafel dan meja sudah bersih saat kutinggal bekerja.
Tampaknya semua berjalan baik. Berjalan baik? Tidak. Tak ada pujian yang kuperoleh dari dua potong bolu yang kusajikan. Isi gelas hanya berkurang sedikit. Sepotong bolu hanya berkurang segigitan.
Dengan langkah pelan aku berjalan menuju sepeda motor kesayanganku.
"Aku berangkat, Inong. Makanan sudah ada di tempat biasa" kataku lambat.
"Kamu, ya. Pura-pura baik. Kamu itu orang yang kejam" suara bentakan itu hanya sedikit memprovokasi perasaanku. Omelan berkepanjangan kuterima pagi itu.
"Aku, kan sudah minta maaf, Inong" sahutku berusaha tetap tenang.
"Mengaku salah.... salah. Kamu itu orang yang kejam" rasa marah itu terus dilampiaskan.
"Aku sudah terlambat, aku harus pergi. Minumlah kopinya dan kuenya ", aku mengakhiri perbantahan itu dengan cepat-cepat kupakai kan helm dan berangkat.
Beliau mungkin perlu waktu untuk berdamai, pikirku.Kucoba untuk tetap berpikir positif, semua akan baik-baik saja. Tetapi justru rasa khawatir yang muncul di pikiran.
Sepulang dari sekolah, tempatku bekerja sebagai tenaga pendidik, kulihat Inong sedang tiduran di kursi panjang. Kulirik gelas kosong dan piring kosong. Leganya hatiku, berarti kesukaannya  akan segelas kopi dapat meredakan emosi yang masih membuncah. Aku melewati dan tak ingin mengganggu tidurnya.
Semua telah pulang ke rumah, anak-anak dan suami.
Secara khusus kubisikkan "Pa, ajak Inong makan"Â
Kernyitan dahi dan mimikku yang aneh membuat suamiku paham. Inong masih marah. Permintaanku dilakoninya dengan baik. Meskipun aku tahu, mereka semua sudah lapar, ia bersedia membuat percakapan yang segar dan lucu. Menceritakan hal-hal lucu kejadian masa lalu. Dalam hal ini, suamiku ahlinya.
Taraaaa, ia berhasil mengajak Inong untuk semangat melangkah ke meja makan. Aku memilih untuk menepi. Masuk kekamar. Untungnya, tadi sudah kusempatkan makan siang lebih dulu. Aku mendengarkan  percakapan di meja makan yang asyik. Inong memiliki kebiasaan makan yang lambat. Harus mengunyah makanan sampai benar-benar lembut. Mungkin kebiasaan makan seperti inilah yang membuatnya panjang umur dan hampir tak pernah sakit yang berarti.
Ada sesuatu yang baru dalam hubungan kami, parumaen dan mmertua. Ketika kami hanya berdua tinggal di rumah, Inong mulai mengucapkan kata-kata yang pedas dan banyak melukai perasaanku. Sejauh aku mampu berpikir rasional tak kubiarkan kata-kata itu melukaiku. Tapi ada kala saat emosi berada pada titik yang rendah, aku menjadi sangat sedih. Suatu ketika aku sampai menangis. Ternyata tak ada gunanya. Maka, kuputuskan, apapun perkataan buruknya, tak akan kuizinkan membuatku terluka, sedih, apalagi sampai menangis. Dan, itu berhasil.
Uring-uringan Inong hampir terus berlanjut. Aku merasa kasihan juga. Bagaimana kalau kelak aku setua ini? Jika itu terjadi, tentu aku ingin selalu ditemani. Ingin selalu ada kawan bicara.
Ada kalanya aku bisa berangkat sedikit terlambat. Aku memulai menyeduh kopi 10-20 menit sebelum berangkat kerja. Aku  sudah rapi, pekerjaan pagi sudah selesai.
"Inong, ayo kita minum kopi" ajakku.Â
Biasanya, segelas kopi pagilah  yang membuatnya keluar dari kamar. Sampai panggilan dengan kopi, ia akan menunggu sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Nyanyian rohani yang masih dapat diingat. Suaranya terdengar gemetar saat bernyanyi.
"Ayo kita bernyanyi. Inong suara satu, aku suara dua" ajakan ini menelurkan tawa khas.
"Hampir tidak ada lagu yang dapat kuingat" katanya jujur.
Kunyanyikan sebuah lagu dari buku lagu rohani yang biasa kudengar disenandungkannya. Bernyanyilah kami dengan suara satu dan suara dua, menyelesaikan dua ayat. Kuhabiskan kopiku, supaya  bisa segera berangkat. Pagi ini sudah dapat kutinggalkan orangtua yang kupanggil Inong dengan nyaman. Hatinya terhibur, akupun berangkat dengan rasa lega. Aku tak ingin lagi dapat cercaan dari orang tua itu, aku rindu kata-kata positif saja. Akupun tak ingin selalu merasa khawatir dan susah jika berada di rumah. Aku tidak ingin merasa susah dengan cercaannya yang pedas. Akupun tak ingin rasa marahnya menjadi kesehariannya. Tentu melelahkan untukku sebagai menantu dan baginya sebagai mertua. Kesusahan sehari, cukuplah untuk sehari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H