"Inong, ayo kita minum kopi" ajakku.Â
Biasanya, segelas kopi pagilah  yang membuatnya keluar dari kamar. Sampai panggilan dengan kopi, ia akan menunggu sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Nyanyian rohani yang masih dapat diingat. Suaranya terdengar gemetar saat bernyanyi.
"Ayo kita bernyanyi. Inong suara satu, aku suara dua" ajakan ini menelurkan tawa khas.
"Hampir tidak ada lagu yang dapat kuingat" katanya jujur.
Kunyanyikan sebuah lagu dari buku lagu rohani yang biasa kudengar disenandungkannya. Bernyanyilah kami dengan suara satu dan suara dua, menyelesaikan dua ayat. Kuhabiskan kopiku, supaya  bisa segera berangkat. Pagi ini sudah dapat kutinggalkan orangtua yang kupanggil Inong dengan nyaman. Hatinya terhibur, akupun berangkat dengan rasa lega. Aku tak ingin lagi dapat cercaan dari orang tua itu, aku rindu kata-kata positif saja. Akupun tak ingin selalu merasa khawatir dan susah jika berada di rumah. Aku tidak ingin merasa susah dengan cercaannya yang pedas. Akupun tak ingin rasa marahnya menjadi kesehariannya. Tentu melelahkan untukku sebagai menantu dan baginya sebagai mertua. Kesusahan sehari, cukuplah untuk sehari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H