"Mengaku salah.... salah. Kamu itu orang yang kejam" rasa marah itu terus dilampiaskan.
"Aku sudah terlambat, aku harus pergi. Minumlah kopinya dan kuenya ", aku mengakhiri perbantahan itu dengan cepat-cepat kupakai kan helm dan berangkat.
Beliau mungkin perlu waktu untuk berdamai, pikirku.Kucoba untuk tetap berpikir positif, semua akan baik-baik saja. Tetapi justru rasa khawatir yang muncul di pikiran.
Sepulang dari sekolah, tempatku bekerja sebagai tenaga pendidik, kulihat Inong sedang tiduran di kursi panjang. Kulirik gelas kosong dan piring kosong. Leganya hatiku, berarti kesukaannya  akan segelas kopi dapat meredakan emosi yang masih membuncah. Aku melewati dan tak ingin mengganggu tidurnya.
Semua telah pulang ke rumah, anak-anak dan suami.
Secara khusus kubisikkan "Pa, ajak Inong makan"Â
Kernyitan dahi dan mimikku yang aneh membuat suamiku paham. Inong masih marah. Permintaanku dilakoninya dengan baik. Meskipun aku tahu, mereka semua sudah lapar, ia bersedia membuat percakapan yang segar dan lucu. Menceritakan hal-hal lucu kejadian masa lalu. Dalam hal ini, suamiku ahlinya.
Taraaaa, ia berhasil mengajak Inong untuk semangat melangkah ke meja makan. Aku memilih untuk menepi. Masuk kekamar. Untungnya, tadi sudah kusempatkan makan siang lebih dulu. Aku mendengarkan  percakapan di meja makan yang asyik. Inong memiliki kebiasaan makan yang lambat. Harus mengunyah makanan sampai benar-benar lembut. Mungkin kebiasaan makan seperti inilah yang membuatnya panjang umur dan hampir tak pernah sakit yang berarti.
Ada sesuatu yang baru dalam hubungan kami, parumaen dan mmertua. Ketika kami hanya berdua tinggal di rumah, Inong mulai mengucapkan kata-kata yang pedas dan banyak melukai perasaanku. Sejauh aku mampu berpikir rasional tak kubiarkan kata-kata itu melukaiku. Tapi ada kala saat emosi berada pada titik yang rendah, aku menjadi sangat sedih. Suatu ketika aku sampai menangis. Ternyata tak ada gunanya. Maka, kuputuskan, apapun perkataan buruknya, tak akan kuizinkan membuatku terluka, sedih, apalagi sampai menangis. Dan, itu berhasil.
Uring-uringan Inong hampir terus berlanjut. Aku merasa kasihan juga. Bagaimana kalau kelak aku setua ini? Jika itu terjadi, tentu aku ingin selalu ditemani. Ingin selalu ada kawan bicara.
Ada kalanya aku bisa berangkat sedikit terlambat. Aku memulai menyeduh kopi 10-20 menit sebelum berangkat kerja. Aku  sudah rapi, pekerjaan pagi sudah selesai.