Menjelang pesta demokrasi, tentu banyak upaya yang tengah dibuat para calon pemimpin wahid negeri untuk menangkap hati rakyat. Khususnya ketika ajang debat pertama digelar pada Desember 2023 yang lalu, untuk memaparkan visi para calon presiden. Beberapa topik menarik yang perlu diperhatikan lebih lanjut ialah HAM dan Korupsi
Dalam acara tersebut, ketiga calon sempat berjanji akan adanya tindak lanjut yang konkret terkait kasus-kasus perlanggaran HAM berat di Indonesia yang masih mangkrak. Ironisnya, janji palsu memang sering terlontar dalam kampanye dan debat semacam ini dalam sejarah politik Indonesia, namun perlu dikritisi lagi apakah layak kemanusiaan dijadikan batu loncatan untuk mencapai tujuan?
Belajar dari masa lalu, kasus-kasus pelanggaran HAM kerap disinggung dan diungkit kembali menjelang pemilu. Dari SBY yang berjanji unruk menuntaskan kasus pembunuhan Munir, sampai Suciwati menunggu lama, bahkan dari koran Kompas edisi tahun 2009, sampai detik ini. Sudah sering pula janji ini ditagih, namun nihil.
 Tak mengecualikan juga janji Jokowi yang akan menyelesaikan 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah melalui jalur hukum atau yudisial. Sampai kini, hanya penyesalanlah yang telah dilaporkan, dan memang itu memberi dorongan moral serta menjadi  - meski sedkit -- batu loncatan bagi perjalanan penegakan HAM di Indonesia. Namun yang paling kini, di mana aksi nyatanya?
Tentu sudah ada perkembangan dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan, salah satunya adalah publikasi unggahan pernyataan penyesalan yang dilakukan Presiden Joko Widodo atas kasus pelanggaran HAM selama ini. Akan tetapi, tengah terjadi krisis integritas yang repetitif di sini sampai itu menjadi pola hina dari negeri ini, yang juga membuat rakyat sangsi apakah masalah kemanusiaan ini akan ditangani secara serius.
Selain itu perlu juga dipertanyakan tentang problem solving yang konkret dari menjamurnya korupsi di Indonesia. Kebanyakan calon presiden membicarakan konsep tentang Indonesia yang bersih korupsi, namun bisa dilihat dengan tidak adanya tindak nyata yang mereka beri selama pemerintahan berlangsung.
Hal yang menjadi katalis dari masalah ini adalah politik uang atau yang kerap kali disebut 'serangan fajar' yang para calon beri bagi rakyat sebagai harga sebuah suara. Tentu dengan hal ini ditambah dengan balutan simpati itu masyarakat bisa lebih terbujuk, namun apakah balutan simpati itu ditindaklanjuti dengan empati? Karenanya refleksi dari pengalaman masa lalu menjadi poin penting untuk menilik masalah ini seperti telah dijabarkan di atas, bagaimana janji-janji tak kunjung ditepati, bahkan setelah berpuluh tahun telah terlewati.
Dapat kita bayangkan betapa bangganya ekspresi para korban kejahatan kemanusiaan setelah mendengar isu HAM yang kembali diungkit dan janji akan diselesaikan. Pastinya tak ada orang yang mau dibubung tinggi ke langit lalu kembali jatuh karena harapannya sendiri. Begitupun halnya bagi para pihak yang secara langsung dirugikan oleh tindak korupsi, yaitu rakyat sendiri. Patut dipertanyakan kembali apakah para calon berani untuk merombak ulang - seperti yang telah menjadi rahasia umum - sistem pemerintahan pusat yang mendapat angka 45 dalam indeks kejujuran, serta peringkat 7 dari 11 di Asia Tenggara menurut CPI. Lebih lagi, Indonesia 11 memberikan data terkait bagaimana Indonesia menempati posisi 3 besar dalam tingkat korupsi di Asia Tenggara.
Dengan maraknya ketidakjujuran dan pretensi ini, bagaimana rakyat tidak mengalami krisis integritas? Justru berarti dengan krisis integritas yang tengah terjadi itu, rakyat masih memiliki kepedulian untuk Indonesia, dan tentu menjadi kewajiban bagi pemimpin Indonesia selanjutnya untuk membuat hati rakyat tentram dari belenggu ketidakpastian ini. Rakyat sadar akan fenomena ini, rakyat sadar bahwa krisis integritas tengah terjadi, dan tentu hal itulah yang ideal terjadi karena dalam kesadaran tersebut tersirat kepedulian.
Ketiadaan follow-up konkret dari masalah ini juga membuat masyarakat lama-lama jenuh. Kejenuhan ini memunculkan masalah yang lebih besar, yakni sikap apatis masyarakat terhadap korupsi dan kejahatan HAM. Selain itu, timbul normalisasi bahwa korupsi memang wajar terjadi di Indonesia. Ironis bahwa topik ini kerap dibawa ke ranah komedi dan tetap tidak ada tindak lanjut serius terhadapnya.
Normalisasi ini menjadi fenomena sosial yang unik di mana masyarakat semakin lama mengalami pembengkokan pola pikir (mindset bending). Permasalahannya ialah pembengkokan ini menurunkan kualitas pola pikir masyarakat, yang pada akhirnya membuat rakyat jenuh, untuk menghadapi tembok dalam realitas di mana aspirasi dan usaha-usaha mereka tidak didengar.
Sudah sewajarnya korban bersama masyarakat sipil lainnya berupaya mengingatkan dan meningkatkan kesadaran akan hal ini terus menerus dengan berbagai cara seperti aksi kamisan di depan istana dan kampanye-kampanye anti korupsi. Bahkan dengan segala usaha itu, korupsi dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat belum terselesaikan. Apa jadinya kalau usaha-usaha itu mengendur? Segalanya dilakukan demi memperbaiki moral dan integritas negara kita, bukan hanya pemerintah, namun juga rakyatnya.
Janji yang telah terucap di forum debat sudah sepatutnya untuk terus diusung dan diwujudkan, bukan dilupakan. Memang akan sangat melelahkan bagi rakyat, mengingatkan bagaimana presiden dulunya berjanji karena tinggi kemungkinan peringatan tersebut akan diacuhkan. Memang akan sangat melelahkan untuk terus berbicara pada telinga yang disumbat kekuasaan dan kenyamanan. Memang akan sangat melelahkan untuk menarik perhatian seseorang yang telah berdiri di takhta jabatan presiden, terlebih jika ia sudah terbiasa dengan jabatan itu. Akan tetapi, satu hal yang penting untuk diingat, adalah kebenaran yang kita suarakan, bukan sekedar tagihan janji. Terdengar utopis tentu karena kebenaran adalah memerangi korupsi dan pelanggaran HAM berat dengan aksi, bukan hanya janji.
Akankah pola janji-janji manis ini terus berulang, membuat sistem yang gelap lebih gelap, meningkatkan dekadensi dan krisis integritas? Atau akankah ada pemimpin yang betul menepati janjinya? Mungkin banyak alasan rasional nan logis tentang mengapa janji itu tak bisa ditepati, namun bisa dinilai integritas seorang pemimpin untuk memimpin suatu negara, bila memimpin badan untuk selaras dengan mulut saja masih banyak ketidaksesuaian.
Pemerintahan yang berintegritas akan menciptakan iklim yang kondusif untuk penyemaian benih kejujuran bagi generasi mendatang, generasi yang diharapkan mampu memperbaiki negeri. Generasi yang mampu menepati janji. Mari kita wujudkan bersama mimpi itu.
Banyak kasus HAM dan korupsi yang belum terselesaikan, dan lupa serta acuh bukanlah alasan untuk berhenti menyuarakan aspirasi. Ini bukan upaya untuk  mengungkit masa lalu semata, ini upaya bagi kita bersama untuk menolak lupa. Menolak lupa bahwa di Indonesia telah banyak korupsi dilakukan dan janji manis terucap, dan kini pun bahkan tengah berjalan. Jika bukan kita yang mengingat segala hal yang kerap tenggelam isu-isu lain, maka siapa yang akan mengingatnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H