Mohon tunggu...
Tiara Salsabila Budi
Tiara Salsabila Budi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Development Economics Sophomore at Ahmad Dahlan University

in search of everything

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Esteem Economy dan Influencer, Dampak Berkelanjutan dari Sosial Media

10 Januari 2022   13:56 Diperbarui: 12 Januari 2022   11:51 2841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi influencer (Freepik)

Dewasa kini, sosial media menjadi salah satu 'alat' dalam kehidupan, baik berfungsi sebagai tujuan awal pembuatannya yaitu bersosialisasi, atau sebagai tempat untuk mengekspresikan diri.

Media sosial diciptakan untuk menghilangkan jarak, menjadi sarana berkomunikasi dan berinteraksi secara mudah, mengetahui kegiatan yang dilakukan pemilik akun, serta kemudahan lainnya. 

Media sosial bisa membawa keuntungan yang besar jika pengelolaan ditujukan dengan benar dan menarik mata

Namun tentu saja, kerugian besar pun menanti serta dapat menjadi bumerang bagi siapapun penggunanya.

Dalam ilmu ekonomi, terdapat fenomena yang dinamakan "Esteem Economy".

Jika kita kembalikan ke sejarah, esteem dahulunya disebut sebagai leisure, yaitu waktu bersantai untuk menghilangkan penat dan beban pikiran dengan berwisata ataupun melakukan kegiatan yang menyegarkan pikiran. 

Namun, esteem yang dimaksud disini adalah keinginan seseorang untuk memamerkan kehidupannya

Misalkan, ketika ada tempat wisata baru dia akan datang dan memamerkannya di sosial media. Fenomena ini merupakan dampak dari istilah 'manusia adalah spesies yang haus akan kehormatan'.

Dalam arti lain, ini merupakan dampak ekonomi dari fenomena yang terjadi ketika seseorang ingin memamerkan apa yang ia punya, apa yang ia lakukan, ingin menjadi panutan ataupun hal yang berkaitan dengan menyombongkan dirinya supaya terlihat 'wah' di sosial media. 

Singkatnya, esteem economy adalah dampak ekonomi yang ditimbulkan ketika seseorang berusaha mendapatkan pengakuan di masyarakat melalui berbagai platform sosial.

Esteem economy memiliki dampak terhadap suatu usaha. Ketika seseorang berusaha untuk mendapatkan pengakuan dengan memamerkan sesuatu, orang-orang yang terkena demonstration effect akan penasaran dan membeli ataupun mendatangi tempat usaha tersebut.

Setidaknya, fenomena ini menimbulkan dampak yang cukup signifikan. Suatu tempat usaha yang menjadi 'objek' dari fenomena tersebut akan mendapatkan keuntungan sebagai akibat dari naiknya jumlah peminat, ataupun pengunjung demi sebuah pengakuan.

Meskipun, belum tentu nantinya jumlah pembeli tetap naik atau bahkan meningkat, mengingat betapa cepatnya tren berubah di kehidupan sosial pada saat ini, sehingga semakin banyak perubahan yang akan menimbulkan tren baru.

Generasi muda zaman sekarang lebih mementingkan pendapat orang lain, lebih tepatnya pengakuan dibanding dengan kebutuhan utama.

Sebut saja A, memiliki gaji Rp4.500.000 rupiah per bulan. Dengan gaji yang diberikan di akhir bulan tersebut, A menggunakannya untuk foya-foya, membeli barang yang seharusnya tidak perlu hanya karena tidak mau kalah dari B temannya, memamerkannya di sosial media hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.

 Hasil dari foya-foya tersebut adalah A tidak lagi bisa menikmati gajinya sampai tanggal gajian selanjutnya, sehingga harus meminjam dana untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Inilah yang disebut sebagai perilaku konsumtif, yang begitu banyak ditemukan di negara-negara khususnya negara berkembang.

Di satu sisi, perilaku ini memberikan kontribusi positif, yaitu membantu atau mempercepat (boost) pertumbuhan ekonomi, namun negatifnya adalah perilaku tersebut membuat angka kesenjangan, kemiskinan, pengangguran bahkan kriminalitas meningkat.

Esteem economy ini tentu saja juga membawa pengaruh besar bagi usaha yang mendapatkan dampaknya. Jika kita ambil contoh, beberapa waktu lalu sebuah tempat usaha roti bantal goreng khas Bandung, terkenal karena review unik dari salah satu pelanggannya. 

Sehingga, orang pun berbondong-bondong datang karena penasaran. Padahal, bisa dibilang hanya roti khas Bandung biasa yang diviralkan dan banyak usahawan yang menjualnya juga, namun banyak yang rela antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan 'pengakuan' atau ingin melihat langsung dan memamerkannya di sosial media.

Tentu saja hal ini mendatangkan keuntungan besar untuk usaha tersebut, namun seiring dengan berjalannya waktu, karena tidak adanya hal 'spesial' dan terkesan biasa saja, pengunjung pun berangsur kembali seperti biasa, tidak ada lagi lonjakan. 

Sehingga bisa dikatakan, esteem economy akan membawa keuntungan untuk tempat usaha. Namun kembali lagi, ekspektasi tinggi dari para pelanggan menjadi faktor penting dari fenomena tersebut.

Mereka berpendapat bahwa sesuatu yang viral sudah pasti adalah hal yang luar biasa, sehingga layak untuk didatangi dan dipamerkan.

Mindset harus sempurna dan luar biasa ini pada awalnya akan membuat objek dielu-elukan, tidak akan habis dipuji keunikan, ataupun gebrakannya.

Namun seiring berjalannya waktu, seperti bumerang, pujian tersebut menjadi hal yang berbalik menikam, ketika ditemukan kejelekan ataupun kesalahan meskipun bisa dibilang sepele.

Sudah banyak contoh kejadian dari hal ini, efek meniru dan ikut-ikutan ini padahal memberikan dampak yang sangat signifikan kepada objek.

Contoh penggunaan sosial media (Sumber : dokumen pribadi)
Contoh penggunaan sosial media (Sumber : dokumen pribadi)

Pentingkah peran influencer?

Fenomena yang sudah menjadi bagian dari kehidupan saat ini, diperkuat dengan semakin banyaknya panutan di sosial media, yang mendapatkan bayaran dari suatu tempat wisata untuk mempromosikan usahanya, 'mengajak' warganet untuk datang, dan juga promosi barang usaha, sehingga bisa dikatakan influencer menjadi salah satu orang yang berperan penting dalam fenomena ekonomi ini.

Di dalam dunia marketing bisnis, influencer adalah salah satu faktor penting, menjadi demo atau faktor utama marketing yang menyebarkan ke masyarakat luas produk keluaran suatu perusahaan, sehingga orang-orang pun tertarik untuk membelinya.

Metode ini terbilang praktis dan efisien bagi marketing perusahaan untuk menjangkau masyarakat secara menyeluruh ataupun menambah jangkauan produk.

Jika ditelusuri lebih dalam, fenomena ini muncul sebagai dampak dari demonstration effect, yaitu keinginan untuk meniru sesuatu, dalam bahasan yaitu gaya hidup yang dimiliki oleh sang 'panutan'.

Demonstration effect atau conspicuous effect memberikan dampak seperti keinginan untuk membeli barang yang bersifat konsumtif, tidak terlalu dibutuhkan serta mementingkan gengsi (Sukarniati 2021:89)

Para influencer memiliki keunikannya masing-masing, sehingga dengan beragamnya selera masyarakat keunikan tersebut menjadi daya tarik yang menyegarkan.

Semakin banyak pengikut di media sosial, maka semakin besar pengaruh yang dimilikinya, dan semakin besar juga biaya untuk 'mengendorse' influencer ini.

Keinginan untuk memakai barang atau pergi ke tempat yang sama dari influencer tersebutlah yang menjadi poin utama, sehingga mereka pun rela mendatangi ke tempat wisata ataupun membeli barang yang telah dipromosikan. 

Banyak usaha yang rela mengeluarkan biaya besar untuk mempromosikan usaha mereka dengan iming-iming serta keyakinan bahwa influencer dengan jumlah pengikut yang besar sudah pasti akan membuat laku usaha mereka.

Padahal, tidak semua promosi yang dilakukan oleh influencer ini dapat laku, dan dengan keyakinan tersebut wirausahawan yang telah mengeluarkan biaya besar akan merasa kecewa sebagai akibat dari ekspektasi tinggi yang diharapkan.

Saat ini, semua orang bisa menjadi influencer, dapat kita temukan dengan mudah di berbagai platform sosial media. Banyak influencer yang memperkenalkan usaha baru, atau bisa jadi mereka yang membuat usaha baru. Usaha-usaha inilah yang diharapkan terkena demonstration effect , didatangi oleh para penggemar atau masyarakat umum. 

Orang-orang yang datang belum tentu memiliki keinginan sesungguhnya untuk datang, bisa jadi mereka hanya ingin memenuhi rasa penasaran, setelah datang mereka akan memberi review di sosial media, supaya bisa mendapatkan pengakuan (esteem), meski tidak begitu berpengaruh pada tempat usaha, mereka hanya ingin orang-orang tahu bahwa mereka telah datang ke tempat tersebut.

Inilah yang disebut sebagai dampak ekonomi dari perilaku esteem, yang sayangnya sudah menjadi hal umum di kehidupan masyarakat pada saat ini.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa esteem economy ini memberikan profit terhadap usahawan, karena saat influencer membagikan foto ke media sosial di mana masyarakat akan lebih mudah mengetahui, otomatis akan banyak yang datang sehingga ekonomi si pelaku usaha pun memiliki peningkatan penjualan. Bisa dikatakan bahwa influencer menjadi salah satu orang yang berperan penting dalam fenomena esteem economy ini.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua manusia mudah tergiur, atau menyukai hal seperti memamerkan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka.

Terdapat ungkapan human needs is important more than human wants. Sehingga, saat kita ingin membuka usaha, kualitas adalah hal yang perlu diperhatikan dan diutamakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun