Nama: Tiara Margaretta Sihotang
NIM: 43222010086
Dosen Pengampu: Appolo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB
Â
Mens Rea merupakan istilah yang berasal dari bahasa Latin yang berarti "pikiran bersalah." Istilah ini digunakan dalam hukum pidana yang mengarah pada elemen subjektif dari suatu tindak pidana, yaitu niat atau kesadaran seseorang dalam melakukan tindakan yang melanggar hukum. Konsep ini penting dalam menentukan apakah seseorang dapat dianggap bertanggung jawab secara pidana atas suatu tindakan. Konsep mens rea dapat kita telusuri kembali ke hukum Romawi. Dalam hukum ini, penekanan diberikan pada perbedaan antara tindakan yang dilakukan dengan niat jahat (dolus) dan tindakan yang terjadi karena kelalaian (culpa). Prinsip ini menjadi dasar bagi pemahaman niat dalam hukum pidana modern.
Dalam hukum kanon Gereja Katolik, terdapat prinsip yang serupa, yaitu "actus non facit reum nisi mens sit rea", yang berarti "tindakan tidak membuat seseorang bersalah kecuali disertai pikiran yang bersalah." Prinsip ini mencerminkan pentingnya niat dalam menentukan kesalahan moral atau hukum.Konsep mens rea mulai berkembang lebih sistematis dalam sistem common law Inggris. Pada abad ke-17, hakim Inggris seperti Sir Edward Coke menekankan pentingnya elemen niat dalam hukum pidana. Dia mengembangkan definisi formal bahwa kejahatan membutuhkan kombinasi actus reus (tindakan melawan hukum) dan mens rea (pikiran bersalah). Dalam hukum pidana modern, terutama di negara-negara dengan tradisi common law, konsep mens rea diterapkan untuk mengukur tingkat kesalahan atau tanggung jawab seseorang. Elemen ini diintegrasikan dalam berbagai undang-undang, seperti hukum pidana Inggris dan Amerika Serikat.
Berikut ini unsur-unsur dalam Mens Rea:
1. Intention (Niat)
 Intention adalah kehendak atau maksud sadar untuk menyebabkan akibat tertentu.
Klasifikasi:
- Direct Intention: Ketika pelaku secara langsung bermaksud untuk mencapai akibat tertentu (misalnya, membunuh korban).
- Oblique Intention: Ketika akibat tertentu bukan tujuan utama pelaku, tetapi pelaku menyadari bahwa akibat tersebut hampir pasti terjadi sebagai hasil dari tindakannya.
Contoh: Seorang individu merencanakan pembunuhan dengan cara memasang jebakan berbahaya di rumah korban. Dalam hal ini, mens rea berupa niat untuk mencelakai korban sudah terbukti karena adanya perencanaan.
Mens rea dalam kasus ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut bukan kebetulan, tetapi direncanakan dengan penuh kesadaran.
2. Recklessness (Kesembronoan)
Recklessness terjadi ketika pelaku menyadari adanya risiko signifikan dari tindakannya, tetapi tetap melakukannya dengan mengabaikan risiko tersebut.
Subjektif vs. Objektif Recklessness:
- Subjektif Recklessness (lebih sering digunakan): Pelaku benar-benar menyadari risiko, tetapi tetap melanjutkan tindakannya.
- Objektif Recklessness (jarang digunakan): Risiko harus jelas dan nyata bagi orang yang masuk akal dalam situasi tersebut, meskipun pelaku mungkin tidak menyadarinya.
Contoh: Seorang pengemudi dengan sengaja menerobos lampu merah meskipun menyadari risiko kecelakaan. Jika tindakan tersebut menyebabkan kerusakan atau korban jiwa, maka mens rea berupa kecerobohan dapat dikenakan hukuman.
3. Negligence (Kelalaian)
Negligence terjadi ketika pelaku gagal memenuhi standar kewaspadaan yang wajar, menyebabkan kerugian atau bahaya yang seharusnya dapat dihindari
Objektif: Kelalaian diukur berdasarkan standar orang yang masuk akal (reasonable person), bukan berdasarkan kesadaran subjektif pelaku.
Contoh: Â Seorang dokter yang tidak mematuhi standar prosedur operasi sehingga menyebabkan kematian pasien. Dokter mungkin tidak memiliki niat langsung untuk mencelakai pasien, tetapi kelalaiannya tetap dianggap sebagai bentuk mens rea.
Dalam kasus ini, mens rea adalah kelalaian yang cukup serius untuk dianggap sebagai kejahatan.
4. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak)
Dalam beberapa kasus, mens rea tidak perlu dibuktikan. Hanya tindakan yang melanggar hukum (actus reus) yang cukup untuk menjatuhkan hukuman.
Contoh: Menjual makanan yang tidak memenuhi standar kesehatan. Walaupun pelaku tidak berniat melanggar hukum, tetap bertanggung jawab secara hukum.
 Doktrin hukum pidana secara umum mengharuskan adanya mens rea (niat atau kesadaran bersalah) untuk mengklasifikasikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Ini didasarkan pada prinsip fundamental bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika mereka memiliki kesalahan (culpability), baik berupa niat, kesembronoan, atau kelalaian.
Dasar Pemikiran
- Prinsip Moralitas: Hukum pidana tidak hanya menilai tindakan (actus reus), tetapi juga keadaan mental pelaku. Tanpa mens rea, seseorang mungkin bertindak tanpa kesadaran atau niat jahat, sehingga menghukumnya dianggap tidak adil.
- Prinsip "Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea": Artinya, tindakan seseorang tidak membuatnya bersalah secara pidana kecuali jika disertai dengan niat atau kesadaran bersalah.
- Tanggung Jawab Individual: Mens rea memastikan bahwa seseorang hanya bertanggung jawab atas tindakan yang benar-benar mereka maksudkan atau akibat yang mereka abaikan secara sadar.
Pengecualian
Meski mens rea adalah elemen penting dalam kebanyakan tindak pidana, terdapat pengecualian dalam kasus strict liability offenses (tindak pidana tanggung jawab mutlak). Menurut kaus ini, pembuktian niat atau kesadaran bersalah tidak diperlukan. Contohnya adalah pelanggaran lalu lintas atau pelanggaran administratif tertentu, di mana aspek pelanggaran hukum cukup dilihat dari perbuatannya saja.
Mengapa konsep Mens Rea penting?
Â
  Konsep mens rea merupakan elemen yang penting dalam hukum pidana danmenjadi dasar untuk menentukan tanggung jawab pidana seseorang. Mens rea mengarah pada keadaan mental atau niat pelaku saat melakukan suatu tindakan melanggar hukum. Tanpa adanya niat atau kesalahan mental, menghukum seseorang atas tindakan tertentu sering dianggap tidak adil dan bertentangan dengan prinsip dasar hukum pidana. Mens rea memastikan bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika mereka bertindak dengan kesadaran, niat, atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk dianggap bersalah secara hukum. Ini memberikan perlindungan terhadap individu yang bertindak tanpa kesengajaan, seperti dalam kasus kecelakaan atau peristiwa yang di luar kendali mereka. Misalnya, seseorang yang tanpa sadar merusak barang orang lain karena situasi mendesak mungkin tidak memiliki niat untuk melanggar hukum, sehingga tidak seharusnya dianggap bertanggung jawab secara pidana.
  Selain itu, mens rea membantu membedakan antara berbagai tingkat kesalahan, seperti tindakan yang sepenuhnya disengaja, dilakukan dengan ceroboh, atau hasil dari kelalaian. Dengan adanya mens rea, hukum dapat mengkategorikan kejahatan dan menentukan tingkat hukuman yang proporsional. Misalnya, pelaku dengan niat jahat dihukum lebih berat daripada pelaku yang hanya bertindak lalai. Mens rea juga memainkan peran penting dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Dengan memeriksa keadaan mental pelaku, hukum dapat memastikan bahwa hanya tindakan dengan kesalahan moral yang dihukum. Hal ini juga memberikan dasar untuk mempertimbangkan kondisi mental tertentu, seperti gangguan jiwa, yang dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk memiliki niat jahat.
Bagaimana penerapan mens rea di indonesia?
   Di Indonesia, penerapan mens rea diatur melalui sistem hukum pidana yang mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mens rea diterapkan sebagai elemen penting dalam menentukan apakah seseorang dapat dianggap bertanggung jawab secara pidana atas suatu perbuatan. Berikut adalah penjelasan tentang penerapannya:
1. Unsur Kesalahan dalam Tindak Pidana
Mens rea diterapkan melalui unsur kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Dalam KUHP, banyak pasal yang mensyaratkan adanya salah satu dari dua bentuk mens rea ini untuk menetapkan tanggung jawab pidana:
- Kesengajaan (dolus): Pelaku sadar dan bermaksud untuk mencapai akibat tertentu dari tindakannya. Misalnya, dalam pasal-pasal tentang pembunuhan atau pencurian, pelaku harus memiliki niat untuk melanggar hukum.
- Kelalaian (culpa): Pelaku tidak berniat melanggar hukum, tetapi gagal memenuhi standar kewaspadaan yang wajar, sehingga mengakibatkan kerugian atau bahaya bagi orang lain. Contohnya adalah dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kelalaian.
2. Kesesuaian Mens Rea dengan Actus Reus
Dalam hukum pidana Indonesia, mens rea harus berkaitan dengan actus reus (tindakan fisik). Artinya, pelaku dianggap bersalah jika tindakan fisik yang dilakukan (actus reus) sesuai dengan niat atau kelalaiannya (mens rea). Jika tindakan terjadi tanpa kesengajaan atau kelalaian, biasanya tidak dapat dipidana, kecuali dalam kasus strict liability.
3. Strict Liability dan Pengesampingan Mens Rea
Ada beberapa tindak pidana di Indonesia yang menggunakan prinsip strict liability atau tanggung jawab mutlak. Dalam kasus ini, mens rea tidak menjadi syarat untuk menetapkan tanggung jawab pidana. Misalnya:
- Pelanggaran di bidang lingkungan hidup.
- Pelanggaran lalu lintas. Pada strict liability, cukup dibuktikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan melanggar hukum tanpa perlu membuktikan niat atau kelalaian.
4. Peran Mens Rea dalam Pembuktian
Mens rea harus dibuktikan melalui:
- Keterangan pelaku: Pengakuan tentang niat atau kesadaran pelaku saat melakukan perbuatan.
- Keterangan saksi atau bukti lain: Untuk menunjukkan bahwa pelaku sadar akan akibat perbuatannya. Hakim mempertimbangkan semua fakta untuk menilai apakah pelaku memiliki kesalahan yang memenuhi unsur mens rea.
5. Pengaruh Kondisi Psikologis
Hukum pidana Indonesia juga mempertimbangkan kondisi psikologis pelaku, yang dapat memengaruhi mens rea. Contohnya:
- Ketidakmampuan mental: Orang dengan gangguan jiwa tidak dapat dianggap memiliki mens rea, sehingga dapat dibebaskan dari tanggung jawab pidana.
- Keadaan terpaksa: Jika seseorang dipaksa untuk melakukan tindak pidana, mens rea mereka dianggap tidak sepenuhnya terbentuk.
6. Contoh Penerapan Mens Rea di KUHP
- Pembunuhan (Pasal 338): Membutuhkan kesengajaan (dolus) untuk menghilangkan nyawa orang lain.
- Pencurian (Pasal 362): Membutuhkan niat untuk mengambil barang milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum.
- Kelalaian yang menyebabkan kematian (Pasal 359): Mensyaratkan kelalaian (culpa) yang menyebabkan orang lain kehilangan nyawa.
  Penerapan mens rea di Indonesia menekankan pada adanya kesengajaan atau kelalaian dalam setiap tindak pidana, kecuali untuk tindak pidana strict liability. Prinsip ini memastikan bahwa hanya pelaku yang memiliki kesalahan secara moral dan hukum yang dapat dihukum, dengan mempertimbangkan hubungan antara niat, tindakan, dan akibat perbuatan mereka. Sistem ini menjaga keseimbangan antara keadilan bagi pelaku dan korban, serta melindungi individu dari penghukuman yang tidak adil.
Pendekatan dualistis dalam hukum pidana membedakan dua elemen utama yang harus dipenuhi untuk dapat menilai suatu tindakan sebagai tindak pidana, yaitu:
1. Actus Reus (Elemen Fisik)
Actus reus adalah tindakan atau perilaku fisik yang melanggar hukum. Ini mencakup segala bentuk perbuatan, kelalaian, atau situasi yang secara hukum dianggap sebagai pelanggaran.
Komponen Utama Actus Reus:
- Perbuatan: Tindakan positif, seperti mencuri atau menyerang seseorang.
- Kelalaian (Omission): Kegagalan melakukan tindakan yang diwajibkan oleh hukum, misalnya tidak memberikan bantuan kepada korban kecelakaan jika diwajibkan oleh undang-undang.
- Keadaan (State of Affairs): Keadaan tertentu yang menimbulkan tanggung jawab pidana, seperti kepemilikan barang terlarang.
Contoh: Dalam kasus pencurian, mengambil barang milik orang lain tanpa izin adalah actus reus.
2. Mens Rea (Elemen Mental)
Mens rea adalah keadaan mental pelaku pada saat melakukan actus reus. Ini menggambarkan niat, kesadaran, atau kelalaian pelaku dalam tindak pidana.
Contoh: Dalam kasus pencurian, pelaku memiliki niat untuk mengambil barang milik orang lain secara permanen.
Hubungan antara Actus Reus dan Mens Rea
Â
Kedua elemen ini harus berkaitan erat untuk menyatakan seseorang bertanggung jawab secara pidana. Actus reus tanpa mens rea (misalnya, tindakan yang tidak disengaja) biasanya tidak menghasilkan tanggung jawab pidana, kecuali dalam kasus strict liability.
Contoh: Jika seseorang tanpa sengaja menjatuhkan barang milik orang lain tanpa niat atau kesembronoan, tidak ada mens rea, sehingga tidak dapat dihukum pidana.
Pendekatan Dualistis dalam Praktik
Pendekatan dualistis digunakan untuk memastikan bahwa:
- Keadilan bagi pelaku: Hanya tindakan yang disertai dengan niat atau kelalaian tertentu yang dapat dihukum.
- Kepastian hukum: Ada standar objektif (actus reus) dan subjektif (mens rea) untuk menilai perbuatan pidana.
 Pendekatan ini mendasari sistem hukum pidana di banyak negara, termasuk Inggris dan Indonesia, di mana elemen fisik dan mental menjadi kriteria utama dalam penegakan hukum pidana.
Contoh Kasus di Indonesia
1. Kasus Korupsi PT Asuransi Jiwasraya
Latar Belakang Kasus: Kasus ini melibatkan pengelolaan investasi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara sebesar Rp16,8 triliun. Praktik ini melibatkan beberapa pihak, termasuk korporasi manajer investasi dan pejabat perusahaan.
Actus Reus (Tindakan Nyata):
- Manipulasi laporan keuangan Jiwasraya untuk menampilkan kinerja positif yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada.
- Pengelolaan dana investasi yang tidak bertanggung jawab, termasuk pengalihan investasi ke saham-saham berkualitas rendah atau reksa dana yang tidak menguntungkan.
- Pengaturan harga saham secara tidak wajar melalui kerja sama antar perusahaan lain.
Mens Rea (Niat atau Kesadaran):
- Para pelaku, termasuk direksi dan manajer investasi, memiliki niat untuk mengelabui pemegang polis dan regulator untuk keuntungan pribadi.
- Kesadaran untuk mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dana investasi meskipun mereka memahami dampaknya kepada keuangan perusahaan.
Penindakan oleh KPK:
- Penetapan tersangka untuk sejumlah individu dan korporasi.
- Penyitaan aset yang diduga dari hasil kejahatan, termasuk properti, saham, dan kendaraan mewah.
- Pemrosesan hukum hingga beberapa terdakwa yang dijatuhi hukuman pidana.
2. Kasus Proyek E-KTP
Latar Belakang Kasus: Kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) yang merugikan negara sampai Rp2,3 triliun.
Actus Reus (Tindakan Nyata):
- Penggelembungan anggaran dalam proses pengadaan proyek E-KTP.
- Pembagian fee atau suap kepada anggota DPR dan pejabat pemerintah agar meloloskan proyek.
- Penggunaan dana proyek yang di gunakan untuk kepentingan pribadi oleh beberapa pihak.
Mens Rea (Niat atau Kesadaran):
- Adanya niat untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok dari proyek E-KTP.
- Kesengajaan dalam menyusun skema korupsi yang melibatkan banyak pihak y ada, termasuk korporasi dan individu.
Penindakan oleh KPK:
- KPK menetapkan sejumlah tersangka yang berasal dari kalangan pemerintah, DPR, dan swasta.
- Pengembalian sebagian kerugian negara yang didapat dari penyitaan aset.
- Proses hukum terhadap para tersangka hingga beberapa di antaranya dijatuhi hukuman yang berat.
Â
Â
Â
Daftar pustaka
Â
Apollo, Prof. (n.d.) Actus Reus dan Mens Rea: Elemen Kejahatan. Dokumen pribadi.
Kejaksaan Agung RI. (2020). Laporan Penanganan Kasus PT Asuransi Jiwasraya. Jakarta: Kejaksaan Agung.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2018). Kasus Korupsi Proyek E-KTP: Fakta dan Data. Jakarta: KPK.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1998.
Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia, 1996.
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Eresco, 1983.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H