Mohon tunggu...
Tiara Margaretta
Tiara Margaretta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/S1 Akuntansi/Fakultas Ekonomi Bisnis/Universitas Mercu Buana

Halo semua, Saya Tiara Margaretta Sihotang, NIM (43222010086) S1 Akuntansi di Universitas Mercu Buana Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Mata kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

17 November 2024   18:01 Diperbarui: 19 November 2024   15:13 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar

Nama: Tiara Margaretta Sihotang

NIM: 43222010086

Dosen Pengampu: Appolo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Latang belakang

   Robert Klitgaard adalah seorang akademisi terkemuka dalam bidang kebijakan publik dan tata kelola pemerintahan, yang dikenal luas karena kontribusinya dalam mempelajari dan memerangi korupsi. Ia menekankan bahwa korupsi terjadi ketika seseorang atau kelompok memiliki kekuasaan yang terlalu besar, kebebasan bertindak tanpa pengawasan, dan minimnya akuntabilitas. Teorinya menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah individu, tetapi juga kelemahan dalam sistem pemerintahan. Klitgaard percaya bahwa korupsi dapat dicegah dengan mengurangi konsentrasi kekuasaan, memperjelas aturan, dan memastikan adanya transparansi serta pengawasan yang efektif.Ia telah menulis banyak buku dan menjadi penasihat bagi organisasi internasional serta berbagai negara, terutama yang sedang berjuang melawan korupsi. Melalui pendekatannya, ia menekankan pentingnya reformasi sistemik, perbaikan budaya organisasi, dan keterlibatan masyarakat dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

Jack Bologna adalah seorang ahli yang dikenal di bidang pencegahan kecurangan dan korupsi, serta manajemen risiko di organisasi. Ia memberikan banyak kontribusi penting dalam membantu organisasi memahami dan menangani masalah korupsi dan perilaku curang. Bologna adalah sosok yang mengembangkan Teori GONE, yang menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena kombinasi empat faktor utama: keserakahan, kebutuhan, kesempatan, dan rendahnya risiko terdeteksi. Menurutnya, keserakahan berasal dari dorongan pribadi untuk mencari keuntungan berlebih, sedangkan kebutuhan sering kali menjadi pendorong utama seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. Selain itu, kelemahan sistem pengawasan menciptakan kesempatan yang memungkinkan tindakan curang terjadi. Ketika risiko untuk terungkap rendah, hal ini semakin mendorong individu untuk melanggar aturan. Bologna juga dikenal sebagai penulis dan pengajar, dengan banyak karyanya digunakan oleh auditor, praktisi hukum, dan pengelola risiko di berbagai organisasi. Ia menekankan pentingnya membangun sistem yang transparan, menciptakan pengawasan yang efektif, dan menanamkan budaya etika di tempat kerja. Teori dan pandangannya memberikan panduan praktis untuk mencegah dan mengatasi korupsi secara menyeluruh.

Dokpri Prof Apollo
Dokpri Prof Apollo

Dokpri Prof Apollo
Dokpri Prof Apollo

Apa itu Teori CDMA oleh Robert Klitgaard dan Teori GONE oleh Jack Bologna?

 

https://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar
https://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar

Teori CDMA (Cultural Distance Model of Acculturation) oleh Robert Klitgaard adalah sebuah model konseptual yang menjelaskan penyebab utama korupsi dari perspektif sistemik. Teori ini memberikan rumus sederhana untuk memahami bagaimana korupsi terjadi dan apa yang memengaruhinya. CDMA adalah singkatan dari empat elemen utama: Corruption, Discretion, Monopoly, dan Accountability.Teori ini menunjukkan bahwa korupsi adalah hasil dari kombinasi monopoli kekuasaan, kebebasan bertindak tanpa pengawasan, dan lemahnya akuntabilitas dalam suatu sistem. Klitgaard menggambarkan hubungan ini melalui formula:


Korupsi = Monopoli + Diskresi Akuntabilitas

  • Corruption (Korupsi)

Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang untuk keuntungan pribadi. Dalam teori ini, korupsi bukan sekadar masalah individu yang tidak bermoral, melainkan hasil dari kelemahan dalam sistem tata kelola organisasi atau pemerintahan.

  • Monopoly (Monopoli)

Monopoli mengacu pada situasi di mana hanya satu individu atau kelompok yang memiliki kendali penuh atas suatu sumber daya, proses, atau keputusan penting. Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada satu pihak tanpa adanya pesaing atau alternatif, peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan menjadi sangat besar.

Contoh:

Seorang pejabat yang memiliki kekuasaan eksklusif untuk memberikan izin usaha tanpa adanya mekanisme persaingan atau pengawasan dari pihak lain.

Pencegahan:

Mendorong desentralisasi kekuasaan.

Menciptakan sistem yang memungkinkan adanya alternatif atau pesaing.

  • Dictionary (Ketidakjelasan aturan)

Ketidakjelasan atau ambiguitas dalam peraturan (misalnya regulasi yang tidak tegas atau saling bertentangan) menciptakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan penyimpangan. Hal ini sering kali mempersulit pengawasan terhadap tindakan korupsi.

Contoh:

Pejabat pajak yang dapat menentukan besaran pajak tanpa mengikuti aturan yang spesifik.

Pencegahan:

Membuat standar operasional prosedur (SOP) yang jelas dan transparan.

Mengurangi kebebasan diskresi dengan memastikan keputusan diambil secara kolektif atau berdasarkan aturan yang baku.

  • Accountability (Akuntabilitas)

Akuntabilitas adalah kemampuan sistem untuk memastikan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas tindakannya. Ketika akuntabilitas rendah, pelaku korupsi merasa aman dari konsekuensi hukum atau sosial. Rendahnya akuntabilitas sering kali disebabkan oleh lemahnya pengawasan, tidak adanya transparansi, atau kurangnya penegakan hukum.

Contoh:

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat tinggi tidak terdeteksi karena tidak ada audit yang memadai.

Pencegahan:

  • Meningkatkan transparansi, seperti melalui publikasi laporan keuangan atau kinerja secara terbuka.
  • Memperkuat mekanisme pengawasan dan audit, baik internal maupun eksternal.
  • Memberikan sanksi tegas kepada pelaku korupsi untuk meningkatkan efek jera.

Teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) oleh Jack Bologna adalah sebuah konsep yang digunakan untuk menjelaskan penyebab utama kecurangan (fraud) atau korupsi. Teori ini mengidentifikasi empat elemen utama yang sering menjadi akar terjadinya tindakan kecurangan. GONE adalah akronim dari Greed, Opportunity, Need, dan Exposure, yang masing-masing mewakili faktor-faktor yang memengaruhi perilaku individu dalam melakukan tindakan tidak etis.

  • Greed (Keserakahan)

Keserakahan adalah dorongan atau motivasi seseorang untuk mendapatkan keuntungan yang berlebihan, baik berupa uang, kekuasaan, atau hal lainnya. Dorongan ini sering kali berasal dari ambisi pribadi yang tidak terkendali atau tekanan sosial untuk memiliki sesuatu yang lebih.

Contoh:

Seorang manajer yang ingin memperkaya diri sendiri dengan mengambil keuntungan dari dana perusahaan secara ilegal.

Solusi:

Menanamkan nilai etika dan integritas di dalam organisasi.

Mengembangkan budaya kerja yang tidak mementingkan keserakahan materi.

  • Opportunity (Kesempatan)

Kesempatan merujuk pada situasi di mana seseorang memiliki akses atau peluang untuk melakukan kecurangan karena sistem pengawasan yang lemah atau kurangnya kontrol. Ketika kesempatan ada, seseorang yang memiliki dorongan (seperti keserakahan atau kebutuhan) lebih mudah untuk bertindak curang.

Contoh:

Sistem pengadaan barang pemerintah yang tidak transparan membuka peluang bagi oknum untuk menyalahgunakan anggaran.

Solusi:

Meningkatkan sistem pengawasan dan audit.

Membuat prosedur kerja yang transparan dan sulit dimanipulasi.

  • Need (Kebutuhan)

Kebutuhan mengacu pada kondisi di mana seseorang merasa terpaksa melakukan kecurangan karena desakan kebutuhan pribadi, seperti masalah keuangan, gaya hidup, atau utang. Faktor ini sering menjadi pendorong kuat bagi seseorang untuk melanggar aturan.

Contoh:

Karyawan yang mencuri uang perusahaan karena tidak mampu membayar utang pribadinya.

Solusi:

Memberikan kesejahteraan yang memadai kepada karyawan.

Memberikan bantuan atau dukungan keuangan kepada individu yang mengalami tekanan.

  • Exposure (Paparan Risiko)

Paparan risiko adalah kemungkinan seseorang untuk tertangkap dan menghadapi konsekuensi hukum atau sosial atas tindakannya. Ketika individu merasa risiko untuk tertangkap rendah, mereka lebih cenderung melakukan kecurangan. Sebaliknya, jika risiko tinggi, orang akan berpikir dua kali sebelum bertindak.

Contoh:

Seorang akuntan yang memanipulasi data karena tahu bahwa sistem auditnya jarang diperiksa.

Solusi:

  • Meningkatkan risiko tertangkap dengan memperkuat pengawasan dan audit.
  • Memberikan sanksi yang tegas dan transparan untuk menciptakan efek jera.

Fenomena Korupsi di Indonesia dan Mengapa korupsi menjadi masalah yg serius ?

https://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar
https://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar

    Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang bertentangan dengan kepentingan umum. Biasanya, korupsi melibatkan pengambilan uang atau keuntungan lain secara tidak sah dengan cara yang melanggar hukum, seperti suap, pemerasan, penipuan, atau penggelapan dana. Korupsi dapat terjadi di berbagai sektor, mulai dari pemerintahan, bisnis, hingga sektor-sektor lain yang melibatkan pengelolaan sumber daya publik.

Korupsi merusak sistem keadilan dan pemerintahan karena mengarah pada ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam distribusi sumber daya. Selain itu, korupsi menghambat pembangunan ekonomi dan sosial, karena anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat sering kali diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Praktik ini juga menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara dan institusi publik.

Fenomena korupsi di Indonesia telah menjadi masalah serius selama beberapa dekade. Korupsi merujuk pada penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, yang dapat melibatkan pejabat pemerintah, politisi, pengusaha, dan aparat penegak hukum. Korupsi di Indonesia meluas di berbagai sektor, mulai dari birokrasi pemerintahan hingga sektor swasta dan lembaga-lembaga negara.

Beberapa faktor yang menjadikan korupsi sebagai masalah serius di Indonesia antara lain:

  • Budaya Korupsi yang Sudah Mengakar: Korupsi di Indonesia sering kali dianggap sebagai hal yang "biasa" atau bahkan "diperlukan" dalam menjalankan suatu pekerjaan atau urusan. Sebagian masyarakat mungkin merasa bahwa tanpa memberi suap atau melakukan korupsi, urusan mereka tidak akan berjalan lancar. Pandangan ini memperburuk situasi karena menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus.
  • Sistem Hukum yang Lemah: Meskipun Indonesia memiliki banyak undang-undang anti-korupsi dan lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penerapan hukum sering kali tidak konsisten. Proses hukum bisa terhambat oleh intervensi politik atau pengaruh ekonomi, sehingga banyak pelaku korupsi tidak dihukum dengan tegas atau justru dibiarkan bebas.
  • Politik dan Kekuasaan: Korupsi sering kali terkait erat dengan politik dan kekuasaan. Beberapa pejabat politik menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Korupsi ini seringkali melibatkan hubungan antara politisi, pengusaha, dan birokrat, yang menciptakan jaringan yang kuat dan sulit dibongkar. Selain itu, kurangnya transparansi dalam proses pemilihan umum dan pendanaan politik juga membuka peluang untuk korupsi.
  • Ketimpangan Ekonomi: Ketimpangan ekonomi dan distribusi sumber daya yang tidak merata menciptakan kondisi yang memudahkan terjadinya korupsi. Mereka yang berada di posisi kekuasaan sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri, sementara masyarakat miskin atau marginal tidak memiliki akses yang sama untuk mendapatkan layanan atau manfaat yang seharusnya mereka terima.
  • Kurangnya Pengawasan dan Akuntabilitas: Sistem pengawasan yang lemah, baik di tingkat pemerintah maupun di sektor swasta, menjadi salah satu penyebab utama korupsi. Ketiadaan mekanisme pengawasan yang efektif membuat tindakan korupsi sulit untuk terdeteksi dan diberantas. Kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran negara dan pengadaan barang/jasa juga meningkatkan potensi terjadinya korupsi.
  • Keterlibatan Masyarakat yang Rendah: Meskipun ada kemajuan dalam hal kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi, partisipasi aktif masyarakat dalam pemberantasan korupsi masih rendah. Ketidakpercayaan terhadap sistem hukum dan pemerintah menyebabkan masyarakat cenderung tidak melaporkan kasus-kasus korupsi atau bahkan merasa bahwa mereka tidak berdaya melawan praktik korupsi.

Mengapa korupsi menjadi masalah serius di Indonesia?

  • Menghambat Pembangunan Ekonomi: Korupsi mengalihkan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sosial dan ekonomi menuju kepentingan pribadi. Ini memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Banyak proyek pembangunan yang seharusnya dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat, justru terkendala oleh penyalahgunaan anggaran.
  • Merusak Kepercayaan Publik: Korupsi yang melibatkan pejabat tinggi atau lembaga negara merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan dan lembaga-lembaga negara. Jika masyarakat merasa bahwa pemerintah atau lembaga hukum tidak efektif dalam memberantas korupsi, maka kepercayaan publik akan menurun, yang pada gilirannya dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik.
  • Mengurangi Kualitas Layanan Publik: Korupsi mengurangi kualitas pelayanan publik karena anggaran yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan layanan (seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur) malah diselewengkan. Akibatnya, rakyat biasa yang paling menderita, karena mereka yang paling bergantung pada layanan publik yang berkualitas.
  • Menurunkan Daya Saing Negara: Korupsi juga berdampak negatif pada daya saing Indonesia di tingkat internasional. Investor asing mungkin enggan berinvestasi di negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi karena mereka khawatir tentang transparansi, stabilitas hukum, dan keadilan dalam persaingan bisnis.
  • Berkepanjangan dalam Sektor Pemerintahan: Korupsi dalam pemerintahan bisa membuat proses birokrasi menjadi lambat dan tidak efisien. Tindakan korupsi juga bisa mempengaruhi kualitas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, mengarah pada kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, melainkan lebih mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Mengapa Kedua Teori Ini Penting untuk Memahami Fenomena Korupsi di Indonesia?

 

https://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar
https://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar
  • Pendekatan Kultural dan Sistematis: Kedua teori ini memberikan perspektif yang komprehensif tentang bagaimana korupsi bisa diatasi. Teori CDMA membantu memahami elemen budaya yang memperkuat praktik korupsi, sementara Teori GONE memberikan alat untuk merancang dan mengevaluasi strategi pemberantasan korupsi secara sistematis.
  • Mengidentifikasi Faktor Internal dan Eksternal: Teori-teori ini membantu mengidentifikasi faktor internal (budaya lokal dan kebiasaan korup) serta eksternal (hambatan struktural dan kebutuhan untuk perubahan) yang berkontribusi pada masalah korupsi, serta bagaimana menghadapinya dengan cara yang lebih terstruktur dan terencana.
  • Memberikan Perspektif Holistik: Dengan menggunakan kedua teori tersebut, kita bisa mengembangkan strategi pemberantasan korupsi yang tidak hanya mengandalkan aspek hukum, tetapi juga melibatkan perubahan budaya, pemberdayaan masyarakat, dan reformasi struktural.

Secara keseluruhan, Teori CDMA dan Teori GONE memberikan kerangka kerja yang saling melengkapi dalam memahami kompleksitas fenomena korupsi di Indonesia dan merancang solusi yang lebih holistik dan efektif.

Bagaimana Teori tersebut dapat diterapkan dalam konteks pemerintahan modern untuk mencegah korupsi?

  

https://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar
https://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=shar

Selain dengan menerapkan kedua teori tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Dukungan Teknologi dalam Pemerintahan Modern

Penggunaan teknologi digital dapat memperkuat penerapan kedua teori ini:

  • E-Government: Membuka akses layanan pemerintah secara online untuk meminimalkan kontak langsung yang dapat membuka peluang korupsi.
  • Big Data Analytics: Mengidentifikasi anomali dalam pengeluaran keuangan pemerintah yang mencurigakan.
  • Blockchain: Meningkatkan transparansi dalam transaksi pemerintah.

2. Kolaborasi dengan Masyarakat dan Media

Pelibatan masyarakat dan media sebagai pengawas independen juga menjadi elemen penting. Misalnya:

  • Melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam evaluasi kebijakan.
  • Membuka kanal komunikasi untuk melaporkan indikasi korupsi.

3. Penerapan Regulasi dan Penegakan Hukum yang Kuat

Langkah terakhir yang tak kalah penting adalah memperkuat regulasi dan memastikan penegakan hukum yang tegas, konsisten, dan transparan, sesuai dengan prinsip kedua teori ini. Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah berikut:

Memperkuat Sistem Hukum:

  • Meningkatkan kapasitas lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan lembaga antikorupsi agar dapat menangani kasus korupsi secara efektif.
  • Membuat undang-undang antikorupsi yang tegas dengan sanksi yang memiliki efek jera.

Menjamin Konsistensi Penegakan Hukum:

  • Menghindari diskriminasi dalam penanganan kasus korupsi, baik terhadap pejabat tinggi maupun pegawai biasa.

  • Melindungi saksi, pelapor, dan investigasi kasus korupsi dari intervensi politik atau intimidasi.

Memublikasikan Kasus dan Hukuman:

  • Memastikan semua kasus korupsi diungkap secara transparan kepada masyarakat, termasuk rincian hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku.
  • Meningkatkan kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi.

4. Pendekatan Multidimensional dalam Pencegahan Korupsi

Penerapan teori CDMA dan GONE juga perlu dikombinasikan dengan pendekatan lain, termasuk:

  • Pendidikan Antikorupsi: Menanamkan nilai-nilai integritas sejak dini di sekolah dan masyarakat.
  • Budaya Transparansi: Membudayakan transparansi dalam setiap keputusan pemerintah, mulai dari anggaran hingga pengadaan.
  • Peningkatan Partisipasi Publik: Memberi ruang kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan pengawasan kebijakan publik.

5. Contoh Implementasi Praktis

Sebagai contoh, penerapan teori ini terlihat pada negara-negara yang berhasil menurunkan tingkat korupsinya:

  • Skandinavia: Negara-negara seperti Denmark dan Norwegia berhasil menekan korupsi dengan memperkuat transparansi publik dan mengurangi monopoli kekuasaan.
  • Singapura: Pemerintah Singapura secara konsisten menerapkan pengawasan ketat, memberikan kesejahteraan memadai kepada pegawai negeri, dan menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu.

6. Meningkatkan Kolaborasi Antarlembaga

Pemerintahan modern memerlukan sinergi yang kuat antara berbagai lembaga untuk memastikan implementasi teori ini berjalan efektif:

Kerjasama Antarlembaga Pemerintah:

  • Memastikan bahwa setiap lembaga memiliki kewajiban saling mengawasi melalui mekanisme check and balance.
  • Membentuk tim lintas sektoral yang bertugas menganalisis potensi korupsi di berbagai bidang seperti pengadaan barang, distribusi anggaran, atau penyaluran bantuan.

Kemitraan dengan Sektor Swasta:

  • Melibatkan sektor swasta dalam menciptakan sistem pengadaan yang transparan dengan memanfaatkan teknologi seperti blockchain.
  • Mendorong sektor swasta untuk mematuhi prinsip etika bisnis dan standar antikorupsi internasional.

Kolaborasi dengan Lembaga Internasional:

  • Memanfaatkan pengalaman dan dukungan dari organisasi internasional seperti Transparency International, OECD, dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dalam membangun sistem antikorupsi yang komprehensif.

Contoh kasus korupsi di Indonesia

 

Input sumhttps://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_so
Input sumhttps://www.canva.com/design/DAGT_slrJKg/LrMhkK35fV8rGwsmk-KTLQ/edit?utm_content=DAGT_slrJKg&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_so

Kusmahadi Setya Jaya adalah terdakwa dalam kasus dugaan korupsi terkait penyelewengan dana di PT. Nusantara Terminal Service, anak perusahaan PT. Pelindo IV. Terdakwa dalam kasus ini adalah Pelaksana Harian Direktur Utama PT. Nusantara Terminal Services, yang terlibat dalam pembuatan dua perjanjian kerja sama dengan PT. Ale Heavy Lift Indonesia untuk kegiatan bongkar muat material PLTB Jeneponto. Salah satu perjanjian tersebut mencakup klausul pemberian cash back kepada PT. Ale Heavy Lift Indonesia, yang tidak diakui oleh pihak tersebut. PT. Nusantara Terminal Services menerima pendapatan dari sewa lahan penumpukan yang dibukukan sebagai pendapatan, namun kemudian mengeluarkan uang cash back yang ditransfer ke rekening pribadi Bambang Haryono, Direktur Utama PT. Ale Heavy Lift Indonesia, sehingga mengurangi pendapatan perusahaan. Bambang Haryono kemudian mentransfer kembali cash back tersebut kepada Terdakwa melalui rekening staf PT. Nusantara Terminal Services, yang berpotensi menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2.034.960.000,00.

Dalam perjanjian kerja sama yang ditandatangani pada 27 November 2017, terdapat penambahan klausul mengenai pemberian cash back, yang dicairkan langsung ke rekening pribadi Bambang Haryono, bukan ke rekening perusahaan sesuai kontrak. Pencairan dana dilakukan tanpa persetujuan dari pemegang saham dan tidak melalui prosedur yang benar, melanggar ketentuan pengeluaran dana. Meskipun terdapat bukti pembayaran kepada PT. Nusantara Terminal Services sebesar Rp16.826.587.500,00 sesuai kontrak, tidak ada klausul tentang pemberian cash back dalam arsip perusahaan, menunjukkan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.Terdakwa dalam kasus ini terlibat dalam transaksi yang melibatkan pembayaran cash back yang dikirim dari rekening Bambang Haryono ke rekening Muhammad Chaidir Syamsir, seorang staf cleaning service di PT. Nusantara Terminal Services. Pembayaran cash back dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada 5 Januari 2018 sebesar Rp254.370.000 dan pada 19 Januari 2018 sebesar Rp558.740.000, dengan total mencapai Rp813.110.000, yang merupakan 53% dari total cash back.

Rekening Muhammad Chaidir dikuasai oleh Terdakwa selama periode transaksi tersebut, dan terdapat bukti bahwa Terdakwa meminjam rekening tersebut untuk mentransfer uang dari rekening Bambang Haryono. Seharusnya, PT. Nusantara Terminal Services mendapatkan keuntungan sebesar Rp2.034.960.000 dari kerjasama dengan PT. Ale Heavy Lift Indonesia, tetapi dana tersebut dialihkan untuk cash back sesuai klausul dalam perjanjian kerja sama. Akibat tindakan Terdakwa dan Bambang Haryono, keuangan negara mengalami kerugian yang sama dengan jumlah keuntungan yang seharusnya diperoleh PT. Nusantara Terminal Services. Laporan audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengonfirmasi kerugian tersebut. Dari fakta-fakta ini, Terdakwa diduga telah memperkaya diri sendiri dan Bambang Haryono secara ilegal, dengan masing-masing mendapatkan Rp813.110.000 dan Rp1.221.850.000 dari transaksi tersebut. Tindakan ini memenuhi unsur pidana berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan pengadilan terhadap Terdakwa dinilai tepat karena mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Alasan kasasi dari penuntut umum mengenai penilaian hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam tingkat kasasi, yang hanya berfokus pada penerapan hukum dan prosedur pengadilan yang benar.

 

Kesimpulan 

Teori CDMA menekankan pentingnya perubahan budaya dalam mengatasi korupsi. Budaya korupsi yang telah mengakar dalam masyarakat perlu diubah dengan memperkenalkan nilai-nilai transparansi, kejujuran, dan akuntabilitas. Perubahan ini dapat dilakukan melalui edukasi, penyuluhan, dan memperkenalkan norma-norma baru yang lebih mendukung integritas. Dengan memperkecil kesenjangan antara budaya lokal dan nilai-nilai global yang menentang korupsi, masyarakat dapat lebih mudah menerima dan menerapkan perubahan.

Sementara itu, Teori GONE menawarkan pendekatan sistematis untuk mengatasi korupsi dengan fokus pada tujuan yang jelas, mengidentifikasi hambatan, memenuhi kebutuhan yang diperlukan, serta melakukan evaluasi secara berkala. Pemberantasan korupsi memerlukan perencanaan yang matang, seperti penetapan sasaran yang terukur, penguatan sistem hukum dan pengawasan, serta pemberdayaan lembaga-lembaga yang berperan dalam pemberantasan korupsi. Evaluasi yang rutin diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan efektif dan untuk melakukan perbaikan jika diperlukan.

Secara keseluruhan, kedua teori ini mengajarkan bahwa pemberantasan korupsi memerlukan perubahan budaya yang mendalam serta langkah-langkah praktis dan terstruktur dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakan anti-korupsi. Dengan menggabungkan pemahaman dari kedua teori ini, Indonesia dapat membangun strategi pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.


Daftar Pustaka

Bologna, Jack. Teori GONE: Goals, Obstacles, Needs, Evaluation. [Sumber yang relevan].Bologna, Jack. Penanggulangan Korupsi dan Pemberdayaan Masyarakat. [Sumber yang relevan].

Hofstede, Geert. Cultural Dimensions: A Comprehensive Analysis. New York: McGraw-Hill, 1991.Hofstede, Geert. Understanding Cultural Distance in the Global Context. Harvard Business Review, 1995.

Kurniawan, Agus. "Korupsi di Indonesia: Penyebab dan Upaya Pemberantasan." Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, vol. 34, no. 2, 2019, pp. 45-62.

Miller, Christopher. Evaluating Anti-Corruption Efforts: Challenges and Strategies. London: Routledge, 2018.

Siahaan, M. T. "Korupsi dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Negara." Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, vol. 21, no. 1, 2020, pp. 100-112.

 

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). (2021). Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi di PT Nusantara Terminal Services. Nomor SR-823/PW21/5/2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun