Nama: Tiara Margaretta Sihotang
NIM: 43222010086
Dosen Pengampu: Appolo, Prof. Dr, M.Si.Ak
Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB
Pendahuluan
Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang lahir pada 7 September 1802 dan meninggal pada 17 Januari 1873, adalah seorang sastrawan, pujangga, dan penulis terkemuka dari Jawa. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam sastra dan budaya Jawa, serta merupakan bagian dari generasi pujangga yang berperan dalam mengembangkan sastra di tengah peralihan budaya dari tradisi lisan ke tradisi tulis. Ranggawarsita adalah keturunan bangsawan yang memiliki nama asli Raden Mas Ali bin Raden Mas Mangkubumi. Ia memiliki latar belakang pendidikan yang baik, termasuk dalam bidang agama dan sastra, yang mempengaruhi karya-karyanya.
Karya-karya Ranggawarsita terkenal karena mengandung nilai-nilai filosofis dan spiritual yang dalam. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah "Serat Jayabaya," yang merupakan kumpulan ramalan dan filosofi kehidupan. Dalam karya ini, ia mencerminkan pandangan hidup masyarakat Jawa serta mengaitkannya dengan ajaran agama dan adat. Ranggawarsita juga dikenal karena karyanya dalam bentuk puisi, prosa, dan naskah yang menampilkan keindahan bahasa Jawa dan pemikiran yang mendalam.
Selain kontribusinya dalam dunia sastra, Ranggawarsita juga memiliki peran penting dalam menjaga dan melestarikan budaya Jawa. Ia aktif dalam memperjuangkan kebudayaan lokal di tengah arus modernisasi dan kolonialisasi yang terjadi pada masanya. Ranggawarsita tidak hanya dianggap sebagai sastrawan, tetapi juga sebagai seorang filsuf dan pemikir yang mampu memberikan pandangan kritis terhadap keadaan sosial dan budaya di sekitarnya. Karya-karyanya masih dipelajari dan dihargai hingga saat ini, menjadikannya sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah sastra dan budaya Indonesia.
Apa itu Era Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu?
1. Era Kalasuba (Makmur)
Kalasuba berarti "indah" atau "makmur." Era ini dianggap sebagai masa keemasan, di mana masyarakat hidup dalam kesejahteraan, keadilan, dan ketenteraman. Pada masa ini, pemimpin yang adil (dalam budaya Jawa disebut "Ratu Adil") berperan penting dalam menciptakan kondisi sosial-politik yang harmonis. Korupsi dan ketidakadilan sangat minim, karena ada kesadaran kolektif (Eling lan Waspodo) di kalangan masyarakat untuk menjaga etika dan moralitas. Era ini melambangkan masa yang diidamkan, penuh dengan keadilan dan kesejahteraan sosial.
- Makmur dan Sejahtera: Seluruh rakyat menikmati kemakmuran, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun politik. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan jarang terjadi, karena pemimpin berkomitmen pada prinsip-prinsip keadilan dan kebijaksanaan.
- Eling lan Waspodo: Masyarakat selalu diingatkan untuk "eling" (ingat) akan tanggung jawabnya dan "waspada" terhadap ancaman yang bisa menghancurkan kemakmuran ini.
- Imam Mahdi: Dalam tradisi Islam, Imam Mahdi merupakan sosok mesias yang akan datang di akhir zaman untuk memimpin dunia menuju keadilan dan kedamaian. Ini paralel dengan konsep Ratu Adil, di mana diharapkan datangnya seorang pemimpin yang akan membawa masyarakat keluar dari kegelapan dan kekacauan.
Dalam konteks modern, era ini bisa dilihat sebagai cita-cita masyarakat yang menantikan masa depan yang makmur di mana hukum ditegakkan dengan baik, dan kehidupan sosial berfungsi dengan harmoni.
2. Era Kalatidha
Kalatidha berasal dari kata "tidha," yang berarti kabur atau tidak jelas. Kata "kalatidha" dalam bahasa Jawa berarti "masa sulit" atau "masa ketidakpastian." Di era ini, nilai-nilai moral mulai memudar. Egoisme dan ketidakpedulian mendominasi, dan orang-orang mulai mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri. Baik dan buruk diabaikan, sehingga banyak terjadi penyimpangan seperti korupsi, ketidakadilan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Era Kalatidha adalah masa krisis moral dan etika, di mana sistem sosial mulai retak karena hilangnya rasa tanggung jawab kolektif.
- Manusia Egoisme, Enak Sendiri: Di era ini, manusia menjadi egois, hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kesejahteraan kolektif. Kebijakan dan tindakan yang mementingkan diri sendiri mulai merusak tatanan sosial.
- Baik Buruk Diabaikan: Dalam era ini, batas antara baik dan buruk menjadi kabur. Korupsi menjadi merajalela karena orang-orang tidak lagi mempedulikan etika dan moralitas. Penegakan hukum menjadi lemah, dan tindakan kriminal serta penyalahgunaan kekuasaan dibiarkan tanpa konsekuensi.
- Feodal: Munculnya kembali sistem kekuasaan yang sentralistik dan tidak adil. Kekuasaan terpusat di tangan segelintir orang atau kelompok elit, yang memperparah ketidakadilan dan ketidakstabilan sosial. Kesenjangan antara kaya dan miskin menjadi semakin lebar.
Dalam konteks Indonesia, era ini mencerminkan situasi di mana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang biasa, dan nilai-nilai moral diabaikan demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Ini bisa dikaitkan dengan kondisi politik yang dipenuhi oleh oligarki atau kekuasaan yang disalahgunakan oleh segelintir elit.
3. Era Kalabendhu
Dalam konteks Indonesia, era ini mencerminkan situasi di mana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang biasa, dan nilai-nilai moral diabaikan demi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Ini bisa dikaitkan dengan kondisi politik yang dipenuhi oleh oligarki atau kekuasaan yang disalahgunakan oleh segelintir elit. "Kalabendhu" berarti "zaman edan" atau era kehancuran. Ini adalah era puncak dari kekacauan dan krisis yang telah berlangsung sejak Kalatidha. Dalam era ini, sistem sosial dan politik benar-benar runtuh, nilai-nilai terbalik, dan kehidupan menjadi tidak tertata.
- Kembang Seruni: Kembang seruni sering digunakan sebagai simbol keindahan yang rapuh dan singkat. Dalam konteks ini, ia mewakili puncak dari era kehancuran, di mana seluruh tatanan moral dan sosial yang dulu ada telah hilang.
- Zaman Edan, Walik Zaman: Frase ini menggambarkan keadaan dunia yang terbalik atau terdistorsi. Orang-orang yang benar dianggap salah, dan yang salah dianggap benar. Segala nilai yang dulunya dihormati kini diabaikan. Zaman edan ini sering diartikan sebagai masa di mana masyarakat kehilangan arah dan hancur secara moral.
- Era Kehancuran: Ini adalah masa di mana bangsa atau masyarakat jatuh ke dalam kehancuran. Korupsi, ketidakadilan, dan kekacauan merajalela. Tidak ada lagi hukum yang dapat ditegakkan dengan benar, dan masyarakat berada di ambang kehancuran total.
Dalam kondisi Indonesia atau dunia modern, era ini mungkin mencerminkan titik nadir di mana korupsi dan ketidakadilan mencapai puncaknya, sistem politik dan sosial runtuh, dan harapan untuk perbaikan sangat minim.
Ratu Adil versi Ranggawarsita
Konsep keadilan dan kepemimpinan yang ideal menurut pandangan Ranggawarsita.
- Era Klasik: Mengacu pada periode awal dalam sejarah, di mana teks-teks asli dan model digunakan sebagai acuan.
- Era Transisi: Masa peralihan di mana terjadi perubahan dalam penggunaan bahasa dan gaya penulisan.
- Era Modern: Periode kontemporer yang menekankan pada penggunaan bahasa kiasan dan interpretasi baru.
Teori Sigmund Freud:
- Id, Ego, Superego: Struktur kepribadian manusia menurut Freud, di mana “Id” mewakili dorongan dasar, “Ego” sebagai pengatur realitas, dan “Superego” sebagai pengawas moral.
- Perbandingan 2:1: Menunjukkan bahwa keburukan lebih banyak dibandingkan kebaikan dalam konteks tertentu.
Tragedi Kisah Ajisaka:
“Kembang Seruni”: Mengacu pada kisah atau simbol yang mungkin terkait dengan perjuangan dan pengorbanan.
Tewasnya Dora-Sembada: Bagian dari cerita Ajisaka yang menggambarkan tragedi dan pengorbanan karakter-karakter utama. Tewasnya Dora-Sembada: Bagian dari cerita Ajisaka yang menggambarkan tragedi dan pengorbanan karakter-karakter utama.
Fenomena Korupsi di Indonesia dan Mengapa korupsi menjadi masalah yg serius ?
Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk keuntungan pribadi atau kelompok, sering dengan cara mengambil dana atau sumber daya secara ilegal. Biasanya terjadi dalam bentuk penyuapan, penggelapan, atau pemalsuan, yang merugikan masyarakat serta merusak integritas institusi dan pemerintahan. Keburukan Lebih Banyak Dibandingkan Kebaikan: Dalam konteks ini, korupsi digambarkan sebagai masalah yang lebih dominan daripada kebaikan, mencerminkan kondisi moral yang buruk dalam masyarakat.
Korupsi menjadi masalah serius karena dampaknya yang merusak berbagai aspek kehidupan masyarakat dan negara. Ketika pejabat atau pihak berwenang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tersedot untuk kepentingan pribadi, memperlambat kemajuan sosial dan ekonomi. Selain itu, korupsi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan hukum, menciptakan ketidakadilan, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar kesenjangan sosial. Dengan begitu, korupsi bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga moral dan sosial, yang memengaruhi stabilitas negara secara keseluruhan.
Mengapa Tiga Era Ini Penting untuk Memahami Fenomena Korupsi di Indonesia?
Fenomena korupsi di Indonesia dapat dianalisis menggunakan konsep Tiga Era Ranggawarsita:
- Kalasuba dengan korupsi
Kalasuba menjadi standar ideal yang diinginkan, di mana tidak ada korupsi dan semua pihak bertindak dengan integritas. Kondisi Kalasuba sangat kontras dengan situasi korupsi saat ini, yang menunjukkan betapa jauh masyarakat telah menyimpang dari nilai-nilai ideal tersebut.Mengingat kembali era Kalasuba dapat memotivasi masyarakat untuk berjuang melawan korupsi dan mengembalikan nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan.
- Kalatidha dengan korupsi
Era ini ditandai dengan meningkatnya egoisme dan kepentingan pribadi, yang merupakan akar dari banyak tindakan korupsi. Dalam era ini, nilai-nilai moral dan etika sering diabaikan, menciptakan lingkungan di mana korupsi dapat berkembang. Kondisi ketidakpastian dan kekacauan dalam era Kalatidha mencerminkan situasi di mana hukum dan aturan sering kali tidak ditegakkan dengan baik, memungkinkan korupsi untuk merajalela.
- Kalabendhu dengan korupsi
Era ini ditandai dengan kekacauan dan kehancuran, yang mencerminkan dampak buruk dari korupsi yang meluas. Dalam era ini, nilai-nilai moral dan etika runtuh, menciptakan lingkungan di mana korupsi dapat berkembang tanpa hambatan. Kalabendhu menggambarkan masa di mana kepemimpinan yang adil dan bijaksana hilang, memungkinkan praktik korupsi untuk merajalela.
Bagaimana korupsi bisa dihentikan berdasarkan Era Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu?
Korupsi bisa dihentikan dengan pendekatan yang diambil dari tiga era menurut Ranggawarsita:
1. Kalasuba (Era Keemasan):
- Kepemimpinan yang Adil dan Bijaksana: Pemimpin yang berintegritas tinggi dan adil dapat menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi.
- Penegakan Hukum yang Kuat: Sistem hukum yang tegas dan konsisten mencegah praktik korupsi.
- Nilai Moral dan Etika: Menghormati dan menerapkan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari.
2. Kalatidha (Era Ketidakpastian):
- Pendidikan Anti-Korupsi: Meningkatkan kesadaran dan pendidikan tentang bahaya korupsi sejak dini.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Mendorong transparansi dalam pemerintahan dan bisnis untuk mengurangi peluang korupsi.
- Pengawasan Publik: Masyarakat aktif dalam mengawasi dan melaporkan tindakan korupsi.
3. Kalabendhu (Era Kehancuran):
- Reformasi Sistemik: Melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem pemerintahan dan hukum untuk menghilangkan celah korupsi.
- Pemulihan Nilai Moral: Mengembalikan dan memperkuat nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat.
- Kepemimpinan yang Tegas: Pemimpin yang berani mengambil tindakan tegas terhadap pelaku korupsi.
Dengan menggabungkan pendekatan dari ketiga era ini, kita dapat menciptakan strategi yang komprehensif untuk menghentikan korupsi dan membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Summary Ranggawarsita:
- Ingat dan Waspada: Pentingnya selalu ingat dan waspada terhadap ketentuan Tuhan dalam setiap perilaku dan tindakan.
- Perubahan Sosial: Kesadaran terhadap berbagai bentuk perubahan di masyarakat, baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional.
Pesan utama dari tulisan ini adalah pentingnya kesadaran dan kewaspadaan dalam menghadapi perubahan dan menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan Tuhan.
Kesimpulan
Pemikiran Ranggawarsita tentang tiga era—Kalasuba, Kalatidha, dan Kalabendhu—menyediakan kerangka kerja yang penting untuk memahami dan mengatasi korupsi di Indonesia. Era Kalasuba menggambarkan masa kemakmuran dan keadilan yang ideal, di mana kepemimpinan yang adil, penegakan hukum yang kuat, dan nilai moral yang tinggi menjadi tolok ukur untuk mencegah korupsi. Dalam era ini, masyarakat hidup dalam kesejahteraan dan harmoni, dengan pemimpin yang berintegritas tinggi dan sistem hukum yang efektif.
Sebaliknya, era Kalatidha mencerminkan ketidakpastian dan meningkatnya egoisme, yang relevan dengan kondisi korupsi saat ini. Dalam era ini, nilai-nilai moral dan etika sering diabaikan, menciptakan lingkungan di mana korupsi dapat berkembang. Pendidikan anti-korupsi, transparansi, dan pengawasan publik menjadi kunci untuk mengatasi korupsi dalam era ini. Masyarakat perlu dididik tentang bahaya korupsi dan pentingnya integritas sejak dini, serta mendorong transparansi dalam pemerintahan dan bisnis.
Era Kalabendhu menggambarkan kekacauan dan kehancuran yang diakibatkan oleh korupsi yang meluas. Dalam era ini, nilai-nilai moral runtuh dan kepemimpinan yang adil hilang, memungkinkan praktik korupsi untuk merajalela. Reformasi sistemik, pemulihan nilai moral, dan kepemimpinan yang tegas diperlukan untuk menghentikan korupsi. Reformasi menyeluruh dalam sistem pemerintahan dan hukum, serta pemulihan nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat, menjadi langkah penting untuk mengatasi korupsi.
Dengan menggabungkan pendekatan dari ketiga era ini, kita dapat menciptakan strategi yang komprehensif untuk menghentikan korupsi dan membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Kesadaran dan kewaspadaan terhadap perubahan sosial serta penegakan nilai-nilai moral dan etika adalah kunci utama dalam upaya ini. Pemikiran Ranggawarsita memberikan panduan yang berharga untuk memahami dinamika sosial dan moral yang mempengaruhi korupsi, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasinya.
Daftar Pustaka
Apollo, Prof. (2024). Pujangga Agung Raden Ngabei Ranggawarsita. Mercu Buana Jakarta.
Ranggawarsita, R. N. (2023). Serat Kalatidha, Kalabendhu, dan Kalasuba. Yogyakarta: Kanisius.
Fitriyanti, A. (2023). Pemikiran Ranggawarsita: Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia. Diakses dari Kompasiana pada 25 Oktober 2024.
Mohamad, M. (2023). Pemikiran Ranggawarsita: Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia. Diakses dari Kompasiana pada 25 Oktober 2024.
Amelia, P. (2023). Pemikiran Ranggawarsita: Kalasuba, Katatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia. Diakses dari Kompasiana pada 25 Oktober 2024.
Hadi, S. S. (2010). Karya-Karya Pujangga Jawa. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI