Setiap tahun, biasanya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) beserta perangkatnya (seperti PPID Pelaksana, petugas layanan informasi/ pejabat fungsional yang membantu PPID) rutin memperbaharui atau memutakhirkan Daftar Informasi Publik (DIP). Bahkan jika suatu Badan Publik belum memiliki DIP, maka pertama kali PPID dan perangkatnya tersebut akan menyusun kemudian menetapkan DIP.
Jika merujuk pada Pasal 1 angka 20 Peraturan Komisi Informasi (PerKI) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP), DIP yang disusun atau yang dimutakhirkan merupakan catatan yang berisi keterangan secara sistematis tentang seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaan Badan Publik, namun tidak termasuk Informasi yang dikecualikan. Ini menunjukkan bahwa DIP menjadi "rumah" yang mewadahi informasi publik yang klasifikasinya terbuka yang bisa diakses oleh publik.Â
Adapun "rumah" yang mewadahi informasi yang dikecualikan berada pada penetapan PPID tentang Klasifikasi Informasi yang Dikecualikan yang melampirkan hasil uji konsekuensi yang telah ditandatangani oleh pimpinan unit kerja serta disetujui oleh pimpinan Badan Publik.
Sebelum PerKI Nomor 1 Tahun 2021 tentang SLIP lahir, penyusunan atau pemutakhiran DIP secara teknis mengacu pada PerKI Nomor 1 Tahun 2010 tentang SLIP. Adapun petunjuk teknis dalam mengecualikan informasi publik merujuk pada PerKI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengklasifikasian Informasi Publik.Â
Namun seiring dengan perkembangan zaman, teknologi, informasi dan komunikasi serta kebutuhan publik, maka kedua PerKI tersebut direvisi dan hasil revisinya digabungkan ke dalam PerKI 1 Tahun 2021 tentang SLIP.Â
Dengan demikian acuan dalam memutakhirkan DIP dan mengklasifikasikan informasi yang dkecualikan telah berada dalam satu kebijakan yang sama, yakni PerKI Nomor 1 Tahun 2021 tentang SLIP.
Usulan DIP yang akan disusun atau dimutakhirkan dapat disampaikan oleh PPID Pelaksana atau unit kerja yang menguasai informasi kepada PPID. Selanjutnya, PPID dan pejabat fungsional yang ditunjuk melakukan telaah dan analisis atas usulan DIP analisis tersebut. Lalu apa sajakah yang dapat disertakan dalam usulan DIP maupun pada DIP yang nantinya ditetapkan PPID?
Jika merujuk pada Pasal 21 ayat (2) PerKI Nomor 1 Tahun 2021, unsur-unsur yang ada dalam DIP paling sedikit memuat:
a. nomor;
b. ringkasan isi Informasi;
c. pejabat atau unit/satuan kerja yang menguasai Informasi;
d. penanggungjawab pembuatan atau penerbitan Informasi;
e. waktu dan tempat pembuatan Informasi;
f. bentuk Informasi yang tersedia; dan
g. jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip.
Sebagai PPID atau pejabat fungsional atau petugas layanan informasi publik, unsur-unsur tersebut tentu sudah bukan suatu hal yang asing lagi. Namun pada tulisan ini, penulis ingin menekankan bahwa ketika memutakhirkan DIP, PPID dan perangkatnya juga harus turut membuka instrumen bidang kearsipan yang dapat memberikan deskripsi spesifik pada unsur jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip.Â
Dengan demikian, baiknya pada proses pengusulan DIP oleh unit kerja/PPID Pelaksana dan pemutakhiran DIP oleh PPID, perlu melibatkan SDM kearsipan, baik arsiparis atau pengelola arsip yang telah ditunjuk menjadi pegawai/pejabat fungsional yang membantu PPID atau pun yang ditugaskan secara khusus untuk membantu menelaah DIP (misalnya dari unit kearsipan/ records center).
Berbicara retensi arsip, perlu diingat pula bahwa pada suatu instansi pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah selain berperan menjadi Badan Publik juga berperan sebagai pencipta arsip. Ini artinya, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, setiap pencipta arsip wajib memiliki Jadwal Retensi Arsip (JRA).Â
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan disebutkan bahwa JRA merupakan daftar yang berisi sekurang-kurangnya jangka waktu penyimpanan atau retensi, jenis arsip, dan keterangan yang berisi rekomendasi tentang penetapan suatu jenis arsip dimusnahkan, dinilai kembali, atau dipermanenkan yang dipergunakan sebagai pedoman penyusutan dan penyelamatan arsip.
Lalu, untuk Apa Retensi Arsip Ada dalam DIP?
JRA yang berlaku pada suatu pencipta arsip/Badan Publik tentunya harus ditetapkan terlebih dahulu oleh pimpinan pencipta arsip/Badan Publik. JRA tersebut terdiri dari JRA fasilitatif dan JRA substantif.Â
JRA fasilitatif yakni berkaitan dengan jangka waktu simpan arsip bidang fasilitatif (seperti: keuangan, hukum, kepegawaian, dll) pada suatu instansi. Adapun JRA substantif berkaitan dengan jangka waktu simpan arsip bidang substantif yang mencerminkan tugas dan fungsi pada suatu instansi/organisasi.
JRA menjadi salah satu petunjuk bagi PPID untuk memprediksi apakah informasi publik yang terekam dalam suatu arsip berstatus masih berada di unit kerja (artinya arsipnya masih arsip aktif), sudah diserahkan kepada unit kearsipan (arsipnya sudah berstatus inaktif), sudah dimusnahkan oleh Badan Publik (dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Arsip), atau sudah diserahkan kepada lembaga kearsipan sesuai dengan wilayah kewenangannya.Â
Hal ini menjadi bukti bahwa dalam pengelolaan Keterbukaan Informasi Publik, unsur kearsipan tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana ditegaskan secara eksplisit dalam Pasal 8 UU No.14 Tahun 2008 tentang KIP, bahwa Kewajiban Badan Publik yang berkaitan dengan kearsipan dan pendokumentasian Informasi Publik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sebaliknya, dalam bidang kearsipan juga tidak dapat lepas dari unsur KIP, khususnya dalam hal akses arsip. Pada PP No. 28 Tahun 2012, juga ditegaskan bahwa penggunaan arsip dinamis oleh pengguna yang berhak dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.Â
Adapun yang dimaksud dengan pengguna yang berhak adalah setiap orang atau badan hukum yang memiliki akses terhadap arsip yang didalamnya terkandung informasi publik yang tidak dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik.
Bagaimana Menuliskan Retensi Arsip dalam DIP?
DIP yang ditetapkan oleh PPID salah satunya akan memuat kolom ringkasan informasi, sedangkan pada JRA yang ditetapkan pimpinan pencipta arsip tidak ada kolom khusus yang menyebutkan tentang ringkasan informasi. Hanya terdapat kolom nomor, jenis arsip, dan jangka waktu penyimpanan/ retensi yang terdiri dari retensi aktif dan inaktif.
Lalu, bagaimana kah kita mengetahui bahwa suatu ringkasan informasi publik yang tertuang dalam DIP memiliki retensi arsip berapa lama? Untuk menjawab hal ini, perlu kembali diingat dengan merujuk pada Peraturan Kepala ANRI No. 17/2011, Bab I, Alinea 2, disebutkan bahwa arsip dinamis sebagai salah satu sumber informasi publik, bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa suatu ringkasan informasi publik, dapat bersumber dari kategori arsip yang mana.
Sebagai contoh, pada DIP disebutkan ringkasan informasi publik adalah tentang Rencana Kerja Tahunan. Pada JRA tidak ditemukan secara persis arsip Rencana Kerja Tahunan, tetapi terdapat kategori arsip fasilitatif tentang program kerja tahunan yang terdiri dari berkas arsip Usulan Unit Kerja, Usulan Instansi, Program Kerja Tahunan Instansi. Maka, dapat dipilih retensi arsip untuk kategori Program Kerja Tahunan Instansi.Â
Demikian pula untuk yang lainnya, oleh karenanya dalam pengusulan DIP atau pemutakhiran DIP, kolaborasi dengan SDM kearsipan juga menjadi salah satu bagian penting.
Selanjutnya, muncullah pertanyaan bagian mana dari suatu JRA yang harus disertakan? Maksudnya, jika kita melihat JRA yang telah ditetapkan suatu pencipta arsip/Badan Publik, maka akan ditemukan retensi penyimpanan arsip yang terbagi menjadi 2 jenis, yaitu aktif dan inaktif. Ini menunjukkan berapa lama "umur" suatu arsip tersebut aktif dan inaktif.Â
Retensi aktif menunjukkan jangka waktu simpan minimal suatu jenis arsip pada Unit Pengolah/Unit Kerja. Sedangkan retensi inaktif menunjukkan jangka waktu simpan suatu jenis arsip pada Unit Kearsipan. Lalu yang manakah yang harus disertakan dalam DIP?
Dilansir dari laman www.anri.go.id, DIP yang dirilis PPID Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), pada kolom retensi arsip memuat retensi arsip baik aktif dan inaktif.Â
Hal tersebut, salah satunya bertujuan untuk menjadi rambu-rambu bagi PPID ketika akan mengoordinasikan suatu permohonan informasi yang tertuang dalam DIP. Misalnya, ketika informasi yang dimohon pada tahun tertentu ternyata sudah berada pada kategori arsip inaktif.Â
Maka, ketika melakukan koordinasi dengan unit kerja penguasa informasi, PPID sekaligus memastikan apakah unit kerja sudah menyerahkan arsip yang merekam informasi tersebut kepada unit kearsipan.Â
Jika sesuai JRA unit kerja telah memindahkan arsipnya ke unit kearsipan, maka unit kerja sebagai penguasa informasi akan merekomendasikan PPID untuk mengakses arsip tersebut melalui unit kearsipan.
Identifikasi rentensi arsip yang disertakan pada DIP sebetulnya dapat dilakukan dimulai pada proses pengusuan DIP oleh unit kerja/PPID Pelaksana. Biasanya, pada instansi pemerintah, di setiap unit pengolah/unit kerja juga menugaskan/menempatkan pengelola arsip/arsiparis, sehingga bisa berkolaborasi bersama dalam pengusulan DIP kepada PPID Utama.Â
Selanjutnya, sebelum DIP ditetapkan dalam bentuk keputusan oleh PPID dan disetujui atasan PPID, penelaahan terhadap usulan DIP oleh PPID dan pejabat fungsional yang ditunjuk untuk membantu PPID, juga dilakukan penelaahan terhadap retensi arsip atas suatu ringkasan isi informasi yang akan disertakan dalam DIP.Â
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu DIP, dapat memprediksi di mana kah posisi suatu sumber informasi publik yang terekam dalam arsip organisasi. Oleh karenanya, tidak lah berlebihan jika, retensi arsip memiliki "peran" pada DIP, sebagai salah satu peta yang dapat menjelaskan status dan posisi arsip yang merekam suatu informasi publik disimpan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H