Mohon tunggu...
Tiara Afifah
Tiara Afifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa Program Studi Sosiologi di Universitas NegeriJakarta yang menyukai isu-isu sosial di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menilik Urgensi dan Pelaksanaan Program BLT dalam Sudut Pandang Strategi Pengembangan Masyarakat

2 April 2024   18:49 Diperbarui: 2 April 2024   18:49 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Konsep Awal Program Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Bantuan Langsung Tunai, atau biasa dikenal BLT, merupakan program yang pertama kali diluncurkan pada 10 September 2005 ketika terjadi kenaikan harga Bahan Baku Minyak (BBM) dunia.  Pada 2004, pemerintah Indonesia memotong subsidi minyak karena hanya digunakan oleh masyarakat kalangan menengah ke atas dalam bidang industri dan tidak menyentuh masyarakat umum, khususnya dari kalangan bawah. Terdapat sekitar 75% BBM telah digunakan sejak tahun 1998 sampai 2005. Untuk itu, pemerintah, dengan ide dari Jusuf Kalla pada kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meluncurkan Program BLT. Program ini dibarengi dengan kebijakan Instruksi Presiden No. 12 Tahun 2005 tentang Bantuan Langsung Tunai tidak bersyarat yang berlaku pada Oktober 2005 -- Desember 2006.

Pada 2008, BLT kembali dilakukan karena peningkatan kembali harga BBM di pasar internasional hingga mencapai US$ 120 /barel. Pelaksanaannya kembali dengan penerbitan kebijakan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2008. Pemerintah mengeluarkan Rp100.000/bulan dalam 7 bulan, sejak Juni -- Desember 2008, kepada 19.02 juta rumah tangga sasaran (RTS). Proses pencairan dana dilakukan dalam dua tahap, pertama sebesar Rp300.000 dan kedua Rp400.000.

Berikutnya, pada tahun 2013, pemerintah kembali melaksanakan BLT dengan nama baru, yaitu Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Jumlah anggaran pada BLSM sebesar Rp3,8 triliun dengan sasaran 18,5 keluarga miskin dan dikeluarkan Rp100.000/bulan. Pemerintah kembali mengeluarkan program baru sejenis dengan nama Program Keluarga Harapan (PKH) dengan syarat berasal dari keluarga tidak mampu dan harus menyekolahkan anaknya, dalam rentang usia 0 -- 15 tahun, dan rutin melakukan pengecekan kesehatan.

Dapat disimpulkan, BLT merupakan program usungan pemerintah dalam bentuk uang tunai yang didistribusikan langsung untuk masyarakat yang tidak mampu atau miskin. Jika melihat prosesnya, pelaksanaan BLT tergolong cepat dengan hanya memberikan uang kepada masyarakat sasaran. Program ini bertujuan untuk membantu pemenuhan kebutuhan di kalangan masyarakat miskin dan mencegah penurunan kesejahteraan masyarakat akibat faktor ekonomi. Pelaksanaan BLT bersifat sementara dan situasional hanya dalam situasi tertentu. Seiring dengan perkembangan zaman, BLT pemerintah mengalami perkembangan ragam, mulai dari BLT Subsidi Upah, BLT Dana Desa, BLT UMKM, Program Kartu Prakerja, Bantuan Pokok Non-Tunai (dalam bentuk uang digital/bank), BLT Covid 19, BLT El Nino dan sebagainya.

 

Meninjau Pelaksanaan dan Kebijakan Program BLT di Lapangan

Program BLT memiliki dinamika tersendiri dalam proses pelaksanaan nya. Identifikasi permasalahan dilakukan oleh pemerintah untuk memetakan permasalahan sosial apa saja yang dapat ditangani dengan BLT. Contoh permasalahan situasional seperti kenaikan harga BB dan pandemi Covid 19 yang berdampak langsung pada kesejahteraan hidup masyarakat. Beberapa BLT tetap yang rutin diberikan seperti BLT Dana Desa yang diberikan sebesar Rp300.000 per bulan.

Jika meninjau kelebihannya, kebermanfaatan BLT dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dengan mengelola sendiri dana bantuan yang diterima. Dana tersebut dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing keluarga. Dalam penelitian Husni A., dkk, dana BLT Covid 19 digunakan untuk membeli kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Beberapa masyarakat juga menggunakan dana bantuan BLT untuk modal usaha atau bisnis dengan harapan dapat melipatgandakan uang tersebut. Walaupun tak sedikit yang mengalami kerugian akibat minimnya pengetahuan masyarakat dalam mengelola usaha atau bisnis.

Program BLT tergolong kontroversial di seluruh kalangan masyarakat karena kekurangan dan berbagai praktik yang menghiasi pelaksanaan program ini. Salah satu praktik yang kerap kali dilakukan, bahkan hingga berulang kali, adalah maladministrasi. Menurut Peraturan Ombudsman Nomor 26 Tahun 2017, maladministrasi adalah perilaku melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Praktik maladministrasi dalam program BLT dapat terjadi sejak di masa awal hingga akhir pelaksanaan.

Dalam penelitian Siswanti. W, 2008, pelaksanaan BLT di Kebumen mendapatkan banyak keluhan dari masyarakat, mulai dari pendataan kelayakan masyarakat yang kurang akurat, antrean panjang yang tidak manusiawi, hingga pemangkasan dana BLT oleh aparatur desa. Pemangkasan dana BLT dilakukan dengan alasan untuk kepentingan warga desa, pembangunan infrastruktur desa, dan alasan lain yang tidak kredibel. Terjadi pula mistargeting atau salah sasaran dalam distribusi dana bantuan. Contohnya di Kebumen, aparatur desa memutuskan untuk menentang aturan dengan membagi rata BLT karena terdapat beberapa warga yang tidak lolos verifikasi, serta dengan alasan kesetiakawanan dan kepedulian antarwarga karena pedesaan masih teguh pada solidaritas mekanik. Contoh lain, saat pelaksanaan BLT Covid 19, banyak persepsi negatif muncul karena kekecewaan masyarakat yang tidak menerima bantuan, padahal mereka sama terdampaknya, atau bahkan lebih kesulitan, dibandingkan dengan masyarakat yang menerima bantuan.

Mistargeting terjadi karena ketidakjelasan kriteria untuk para calon penerima BLT. Masyarkat calon penerima BLP perlu melakukan pendaftaran dan verifikasi untuk ditentukan sebagai penerima BLT. Terdapat pula kasus penyelewengan verifikasi yang hanya diarahkan kepada penerima BLT tahun 2005 yang sudah meninggal atau pindah dari wilayah tersebut. Keterbatasan sumber daya, sarana, dan prasarana turut mengurangi kinerja efektivitas program BLT. Terdapat banyak daerah yang belum memperbarui data-data penerima BLT karena keterbatasan atau ketidakpahaman teknologi.

Selain itu, menurut Lembaga Peneliti Smeru (2011), persoalan BLT juga terjadi di antara lembaga di tingkat pemerintahan di Indonesia. Lemahnya koordinasi dan konsolidasi antarlembaga dan antartingkat, mencakup desa, kecamatan, dan kabupaten, disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu ketidakjelasan pembagian kewenangan antarinstansi, lamanya pengeluaran dana untuk koordinasi dan operasional BLT tingkat provinsi ke kabupaten, alur birokrasi yang berbelit, dan ambiguitas pemahaman akan tujuan, bentuk, dan sifat sesungguhnya dari program BLT.

Jika ditinjau secara keseluruhan, pelaksanaan program BLT lebih banyak menimbulkan kontroversi dan konflik di masyarakat. Program ini juga rawan untuk dicederai oleh berbagai oknum-oknum dari kalangan aparatur pemerintahan. Pendekatan top-down yang digunakan dalam distribusi dana bantuan seolah-olah mengundang para oknum untuk mencederai wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Pada akhirnya, masyarakat, sebagai penerima manfaat, hanya mendapatkan sisa-sisa belas kasihan dari para elit.

 

Urgensi Program BLT dalam Sudut Pandang Strategi Pengembangan Masyarakat

Strategi pengembangan masyarakat adalah proses penguatan partisipasi masyarakat secara aktif dan berkelanjutan dengan berorientasi pada prinsip keadilan sosial, akuntabilitas, partisipasi, dan kerja sama, guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat tersebut. Selain untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup, tujuan utama dari strategi pengembangan masyarakat adalah untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mensejahterakan diri mereka sendiri. Peran pemerintah atau negara hanya sebagai pendorong, penggerak, dan fasilitator dalam program pembangunan masyarakat. Sementara itu, masyarakat perlu berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraannya.

 

Apakah program BLT telah sesuai dengan prinsip pengembangan masyarakat?

Terdapat 4 prinsip dalam pengembangan masyarakat. Pertama, pengembangan masyarakat yang berkomitmen pada masyarakat miskin, keadilan sosial, hak asasi manusia, kewarganegaraan, pemberdayaan, penentu diri sendiri, tindakan kolektif, dan keanekaragaman. Dalam kasus BLT, program tersebut belum mampu berkomitmen pada keanekaragaman di Indonesia, dengan dilihat dari generalisasi pemberian dana antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kedua, pengembangan masyarakat mengubah struktur diskriminasi di masyarakat. Upaya BLT adalah dengan berusaha meratakan pemberian dana kepada masyarakat. Namun, hal tersebut justru membuat pemerintah menarik garis besar dalam penentuan solusi kemiskinan di wilayah dengan karakteristik dan kebutuhan yang berbeda.

Ketiga, pengembangan masyarakat dengan membebaskan masyarakat yang tertinggal untuk menjadi masyarakat yang partisipatoris. Dalam kasus BLT, keterlibatan masyarakat sangat minim, bahkan tidak ada. Pendekatan Top-Down yang digunakan mengakibatkan masyarakat hanya berperan sebagai penerima manfaat dari dana bantuan tersebut. Sedangkan, strategi pengembangan masyarakat lebih menggunakan pendekatan Bottom-Up sehingga masyarakat mampu ikut bersinergi bersama dalam melaksanakan pembangunan. Keempat, pengembangan masyarakat dengan suasana yang bersahabat dan informal. Pendekatan Top-Down tanpa sadar memberikan jarak yang kontras antarapemerintah dengan masyarakat, sehingga hubungan yang tercipta cenderung bersifat formal dan kaku.

Program BLT memang terbukti telah memberikan solusi cepat melalui dana bantuan yang diberikan. Namun, apakah solusi cepat tersebut telah terbukti tepat?

Cepat tidak berarti tepat. Segala kontroversi dan konflik dalam dinamika pelaksanaan program BLT seharusnya cukup menjadi bukti bahwa program ini belum mampu menangani kemiskinan yang ada di Indonesia secara menyeluruh. Ditambah isu dan kasus penyelewengan kekuasaan oleh oknum-oknum terkait justru membentuk pandangan buruk dari masyarakat terhadap program ini.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam program BLT adalah bagaimana pemerintah memberikan uang kepada masyarakat, tanpa tahu memberitahu cara mengelola uang tersebut agar dapat digunakan secara tepat sesuai dengan kebutuhan. Kondisi tersebut sama saja dengan memberikan sepatu kepada anak kecil, tanpa mengajarkan cara menggunakan sepatu tersebut. Selain itu, pengembangan masyarakat turut mengedepankan keberlanjutan, yang berupaya mempertahankan, selama mungkin, kebermanfaatan program tersebut kepada masyarakat. Secara substansi, program BLT tidak memenuhi kriteria keberlanjutan yang ada. Dapat disimpulkan bahwa program BLT memberikan solusi cepat, tetapi cepat pula habis manfaatnya.

Realitanya, program BLT memang memberikan manfaat bagi masyarakat melalui dana bantuan tersebut. Namun, BLT belum komprehensif jika diandalkan sebagai program atau kebijakan satu-satunya dalam mengentaskan kemiskinan. Terdapat berbagai macam kemiskinan di Indonesia dan tidak mungkin jika hanya dituntaskan dengan uang dari pemerintah tanpa usaha-usaha lain. Program BLT dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, tetapi masih terdapat berbagai program lain yang lebih urgent, spesifik, dan menyentuh karakter masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan. Program BLT memerlukan opsi pemberdayaan dalam pelaksanaan lanjutannya. Program pemberdayaan dengan melibatkan masyarakat dengan komitmen untuk meningkatkan partisipasi, pengetahuan, keterampilan, kemandirian, serta kualitas hidup masyarakat.

 

Referensi

Dewi, R., & Andrianus, H. F. (2021). Analisis pengaruh kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) terhadap kemiskinan di indonesia periode 2005-2015. Menara Ilmu: Jurnal Penelitian dan Kajian Ilmiah, 15(2).

Husni, A., Arfa, D., Prastiyo, E. B., Rohana, S., Putra, I. K., Wibowo, T. C., & Aisyah, S. (2023). Persepsi Masyarakat Terhadap Pemberian Bantuan Langsung Tunai Dimasa Pandemi Covid-19 (Studi Di Desa Air Asuk Kec. Siantan Tengah Kab. Kepulauan Anambas). Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 4(2), 1125-1144.

Ombudsman. BLT-Dana Desa Rawan Maladministrasi?. Diakses pada 2 April 2004 pada https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--blt-dana-desa-rawan-maladministrasi-

Rosfadhila, M., Toyamah, N., Sulaksono, B., Devina, S., Sodo, RJ, & Syukri, M. (2011). Kajian singkat pelaksanaan program bantuan langsung tunai (BLT) 2008 dan evaluasi penerima program BLT 2005 di Indonesia. Lembaga Penelitian SMERU , 1-107.

Siswanti, W. (2015). Dinamika Implementasi Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Studi Kasus di Kaupaten Kebumen. JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik), 12(1), 99-110.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun