Mohon tunggu...
Tiara Angelina
Tiara Angelina Mohon Tunggu... Mahasiswa - FIB UI

Undergraduate Dutch Literature Student at Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pengaruh Politik Etis dan Feminisme Belanda terhadap Emansipasi Wanita Pribumi di Jawa Tengah 1901-1942

18 Desember 2024   15:35 Diperbarui: 20 Desember 2024   09:50 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

- Ide-ide Feminisme Belanda dan Pengaruhnya pada Emansipasi Wanita di Jawa Tengah
Kartini, seorang putri dari Bupati Jepara menjadi tonggak awal bagi gerakan feminis di Indonesia (Kurniawati, 2014). Pada tahun 1899, Kartini memulai kontak dengan Marie Ovink-Soer, istri dari Asisten Residen Hindia Timur yang datang ke Jawa pada tahun 1894. Menurutnya, Marie adalah seorang perempuan yang memiliki wawasan mengenai ide-ide Eropa liberal dengan penolakan moral pada budaya di Jawa pada masa itu. Melalui pengaruh Marie, yang juga memiliki peran penting dalam jurnal feminis ternama De Hollandsche Lilie (The Dutch Lily), Kartini diperkenalkan pada gagasan tentang "pendidikan bagi perempuan muda". Marie tidak hanya menjadi mentornya tetapi juga mendorong Kartini untuk memahami lebih dalam tentang feminisme, pendidikan, dan dunia luar (Qamarani, 2021). Semangat Kartini sebagai seorang feminis semakin tumbuh seiring dengan terbukanya pemikirannya, hingga ia mulai menyadari pentingnya hak-hak perempuan yang seharusnya diperjuangkan.

Pada pertengahan tahun 1899, Kartini mengundang korespondensi untuk saling bertukar surat dengannya di majalah sekaligus jurnal The Dutch Lily. Sahabat pena pertama yang membalas undangan tersebut adalah Stella Zeehandelaar, seorang feminis sosialis yang berpartisipasi aktif dalam perjuangan politik sayap kiri. Seiring berjalannya waktu, relasi korespondensi Kartini dengan para feminis semakin luas, membuka pikirannya terhadap ketimpangan hak antara perempuan dan laki-laki yang terjadi pada masa itu. Kepedulian Kartini pada emansipasi berlanjut, ia terus mengutarakan apa yang ingin dia perjuangkan, yaitu adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam salah satu suratnya yang ditulis pada 4 Oktober 1902 kepada Profesor G.K. Anton dan istrinya di Jena, Kartini menuliskan:

"Jika kami menginkan pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan... Itu bukan karena kami ingin menjadikan perempuan menjadi saingan lelaki..tetapi..kami ingin menjadikan perempuan lebih cakap melakukan tugas besar yang diberikan Ibu Alam ke tangannya agar menjadi ibu: pendidik umat manusia yang utama. Kepada kaum ibu, pusat kehidupan rumah tangga, dibebani tugas besar mendidik anak-anaknya untuk keluarga besar, keluarga raksasa yang bernama masyarakat, karena anak-anak itu suatu waktu akan menjadi anggotanya. Untuk inilah kami meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis." (Kartini 2009: 61-62)

Di tengah awal penerapan kebijakan Politik Etis, nama Kartini mulai dikenal di berbagai wilayah Hindia Belanda, termasuk Batavia. Ketenarannya pun sampai ke telinga Jacques Henrij Abendanon, Menteri Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, serta istrinya, Rosa Manuela Madri. J.H. Abendanon, seorang tokoh liberal yang berpengaruh, dikenal sebagai salah satu pendukung kebijakan "etis" dalam sistem kolonial Belanda. Pasangan Abendanon kemudian menjalin hubungan dekat dengan Kartini dan turut berperan dalam mendukung perjuangan serta cita-cita feminisnya.

Pada tahun 1903, Kartini dan adiknya Roekmini memutuskan membuka sekolah untuk anak-anak gadis. Sekolah ini berfokus pada pembinaan budi pekerti dan pengembangan karakter, dengan suasana yang dibuat menyerupai lingkungan rumah agar tercipta kenyamanan dan kedekatan emosional. Aktivitas di sekolah selalu dilandasi oleh semangat kasih sayang, sehingga tercipta suasana ceria dan harmonis. Kartini mengelola sekolah ini secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah, sesuai dengan gagasan serta visinya sendiri. Murid-murid yang bersekolah umumnya berasal dari kalangan priyayi di Jepara, sehingga sekolah tidak memerlukan fasilitas penginapan. Kartini mencurahkan banyak waktunya untuk mengatur sekolah tersebut, terutama karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anak-anak mereka terus meningkat (Khozin, 2016).

Namun, harapan dan rencana Kartini terhadap sekolah dan karirnya menjadi guru sepenuhnya tidak pernah terwujud. Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang--melalui sebuah perjodohan dan dinyatakan meninggal karena kondisinya yang tidak kunjung pulih setelah melahirkan anak pertamanya. Perjuangan emansipasi pendidikan dan hak perempuan yang dilakukan oleh Kartini berhenti sampai saat ia wafat (Khozin, 2016). Meskipun begitu, buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang berisikan surat-surat Kartini terhadap sahabat penanya menjadi inspirasi bagi Van Deventer yang mendirikan Yayasan Kartini. Sekolah-sekolah Yayasan Kartini memberikan fasilitas pendidikan kepada para anak bangsawan perempuan pribumi (Qamarani, 2021). Meskipun perjuangannya terhenti karena kematian dini, pemikirannya tetap hidup melalui ide-idenya yang tertuang dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" dan diwujudkan dalam pendirian sekolah-sekolah oleh Yayasan Kartini. Dengan demikian, ide-ide feminisme Belanda turut berperan dalam membuka jalan bagi gerakan emansipasi wanita pribumi Jawa Tengah, khususnya dalam akses terhadap pendidikan.


- Keterkaitan Politik Etis dan Feminisme Belanda pada Perubahan Sosial di Jawa Tengah
Perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi pendidikan bagi perempuan Jawa dan pengakuannya sebagai pionir feminisme serta pahlawan nasional Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kebijakan Politik Etis yang menitikberatkan pada pendidikan kaum pribumi. Kemudahan Kartini dalam menyerap pengaruh Politik Etis Belanda dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti latar belakang keluarganya yang memiliki pendidikan serta budaya Eropa yang kuat secara turun-temurun. Selain itu, kedudukan Kartini sebagai seorang priyayi, yang menempatkannya di lapisan tertinggi dalam struktur sosial Jawa, turut mempermudah aksesnya terhadap pengetahuan Barat dan hak-hak istimewa. Posisi ini memungkinkan Kartini untuk menjalin komunikasi yang erat dengan kalangan Belanda, baik yang berada di Jawa maupun di negeri Belanda (Qamarani, 2021).
Keterkaitan antara Politik Etis dan feminisme Belanda memainkan peran krusial dalam perubahan sosial di Jawa Tengah, khususnya dalam memajukan pendidikan perempuan pribumi. Kebijakan ini secara khusus berdampak pada tokoh-tokoh seperti R.A. Kartini, seorang priyayi dari Jepara yang menyuarakan pentingnya pendidikan bagi perempuan sebagai upaya emansipasi. Dukungan Kartini terhadap pendidikan perempuan tidak terlepas dari pengaruh ide-ide feminisme Belanda yang dikenalkannya melalui korespondensi dengan tokoh-tokoh seperti Marie Ovink-Soer dan Stella Zeehandelaar. Periode 1899-1904 merupakan masa di mana Kartini menyampaikan pemikiran feminisnya melalui surat-surat kepada sahabat pena, serta memperjuangkan hak-hak perempuan Jawa khususnya dalam bidang pendidikan. Pada waktu yang bersamaan, gerakan feminisme di Belanda tengah berkembang pesat dan beragam. Peningkatan aktivitas feminisme di Belanda ini jelas mempengaruhi Kartini, baik melalui hubungan dengan sahabat-sahabat penanya maupun melalui pemberitaan di media massa dan jurnal feminisme yang sedang menjadi topik kontroversial pada masa itu (Qamarani, 2021).
Feminisme Belanda, dengan gagasan kesetaraan hak bagi perempuan, memberikan inspirasi bagi Kartini untuk mendirikan sekolah khusus perempuan pada tahun 1903. Langkah ini tidak hanya memperkenalkan akses pendidikan bagi perempuan Jawa dari kalangan priyayi, tetapi juga memicu kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam masyarakat. Kebijakan Politik Etis yang mendirikan berbagai sekolah di Jawa Tengah, seperti Sekolah Desa dan Vervolgschool, serta pendirian Sekolah Kartini di Semarang pada tahun 1913, menjadi bukti nyata bagaimana pengaruh kebijakan kolonial dan feminisme Belanda mampu mendorong perubahan sosial dan pendidikan di kalangan perempuan Jawa. Dengan demikian, integrasi antara kebijakan Politik Etis dan gagasan feminisme Belanda melahirkan gerakan emansipasi perempuan yang lebih luas dan progresif di Jawa Tengah.

- Kesimpulan
Politik Etis yang diperkenalkan pada tahun 1901 membawa perubahan fundamental dalam dinamika kolonial Belanda di Hindia Belanda, khususnya di wilayah Jawa Tengah. Kebijakan yang semula berakar dari sistem eksploitasi kolonial bergeser menuju upaya pemberdayaan masyarakat pribumi, dengan fokus utama pada pendidikan, yang secara signifikan membuka ruang baru bagi emansipasi wanita. Jawa Tengah menjadi wilayah strategis dalam implementasi Politik Etis, dengan perkembangan pendidikan yang menunjukkan transformasi sosial yang progresif. Pendirian Sekolah Desa di Kedu pada tahun 1906 dan berkembangnya Vervolgschool menunjukkan komitmen pemerintah kolonial dalam memperluas akses pendidikan, yang sebelumnya sangat terbatas bagi masyarakat pribumi, terutama kaum perempuan.

Di tengah konteks tersebut, R.A. Kartini muncul sebagai sosok sentral dalam gerakan emansipasi wanita. Melalui korespondensinya dengan tokoh-tokoh feminis Belanda, Kartini tidak sekadar menjadi penerima pasif gagasan, melainkan agen perubahan yang aktif. Ia berhasil mentransformasi ide-ide kesetaraan pendidikan dan hak perempuan ke dalam konteks lokal. Sekolah yang didirikannya di Jepara pada tahun 1903 menjadi simbol perjuangannya, yang kemudian berkembang menjadi Yayasan Kartini dengan cabang sekolah di berbagai kota.

Interaksi dinamis antara kebijakan Politik Etis dan ide-ide feminisme Belanda menciptakan ruang transformatif bagi perempuan pribumi di Jawa Tengah. Periode 1901-1942 tidak sekadar menjadi masa kolonial, melainkan babak penting dalam perjalanan emansipasi perempuan Indonesia. Melalui pendidikan, korespondensi lintas budaya, dan semangat perubahan, Kartini dan para pendukungnya berhasil membuka pintu bagi kesadaran dan gerakan pemberdayaan perempuan yang lebih luas. Dengan demikian, kebijakan Politik Etis dan gagasan feminisme Belanda bukan hanya sekadar alat kolonial, melainkan juga menjadi pemicu perubahan sosial yang membantu menciptakan kesadaran baru tentang peran dan hak perempuan di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah.

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun