Politik Etis merupakan salah satu kebijakan penting yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Kebijakan ini muncul sebagai tanggapan atas kritik tajam terhadap praktik eksploitasi yang terjadi melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan sejak tahun 1830. Penderitaan rakyat pribumi akibat Sistem Tanam Paksa membangkitkan keprihatinan sekelompok orang Belanda, terutama dari kalangan liberal, yang mendesak agar kebijakan itu segera dihentikan (Sinaga, 2024). Pada tahun 1899, Van Deventer menerbitkan tulisan berjudul Een Eereschuld (Utang Kehormatan) di majalah De Gids. Tulisan ini dianggap sebagai tonggak awal perubahan sikap politik Belanda terhadap tanah jajahannya dan menjadi cikal bakal lahirnya gagasan Politik Etis (Sukmana, 2021).
Politik Etis, yang secara resmi diberlakukan pada tahun 1901, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi melalui tiga program utama: irigasi, edukasi, dan emigrasi. Program edukasi berfokus pada peningkatan akses pendidikan bagi rakyat pribumi, dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dapat diakses oleh anak-anak pribumi. Kebijakan tersebut membawa dampak signifikan bagi masyarakat pribumi, membuka peluang lebih luas untuk mengakses pendidikan, pekerjaan, dan kegiatan berorganisasi (Sinaga, 2024). Semangat perubahan yang diusung oleh Politik Etis mendorong perempuan menjadi lebih aktif dalam memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Selain itu, semakin banyak juga perempuan yang berani menyuarakan hak dan pendapat mereka.
Sebagai salah satu wilayah utama di Pulau Jawa, Jawa Tengah memiliki peran strategis dalam pelaksanaan kebijakan Politik Etis dengan fokus yang lebih besar pada pendidikan dibandingkan aspek lainnya. Kebijakan ini mendorong pendirian sekolah-sekolah untuk pribumi. Kota-kota seperti Jepara dan Rembang menjadi contoh wilayah di Jawa Tengah yang merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. Jepara, misalnya, dikenal sebagai tempat awal pendidikan bagi tokoh seperti Kartini, dengan didirikannya Sekolah Kartini yang dirancang khusus untuk perempuan pribumi, meskipun terbatas pada kalangan elite atau bangsawan. Di wilayah ini pula, gerakan emansipasi wanita pribumi mulai berkembang, dipengaruhi oleh kebijakan Politik Etis dan ide-ide feminisme Belanda (Hikmah, Sriyono, Taufik; 2023).
Feminisme Belanda yang memperjuangkan kesetaraan gender mulai memengaruhi perempuan pribumi, khususnya melalui tokoh-tokoh seperti R.A. Kartini di Jawa Tengah. Kartini menjadi simbol perjuangan pendidikan dan kesetaraan bagi wanita pribumi, dengan mengadaptasi gagasan feminisme Eropa ke dalam konteks sosial-budaya lokal. Pengaruh-pengaruh 'etis' kolonialisme Belanda terhadap Kartini tertuang selama ia bertukar pikiran dan berkomunikasi dengan sahabat-sahabat penanya yang merupakan kaum Feminis dari Belanda. Unsur gerakan feminisme dan kebebasan yang dimiliki oleh perempuan Belanda pada saat itu mempengaruhi Kartini dalam perjuangan emansipasinya (Qamarani, 2021).
Namun, meskipun ide-ide feminisme Belanda dan kebijakan politik etis memberikan peluang baru bagi perempuan pribumi, implementasinya seringkali terbatas oleh norma-norma patriarki lokal dan prioritas kolonial yang berorientasi pada kepentingan politik Belanda. Kebanyakan sekolah yang didirikan hanya tersedia untuk kalangan elit pribumi, sehingga pendidikan yang diberikan juga lebih berfokus pada keterampilan administratif yang mendukung pemerintahan kolonial daripada pendidikan yang mendorong pemikiran kritis dan emansipasi. Penelitian ini penting untuk memahami bagaimana kebijakan politik etis dan feminisme Belanda berperan dalam membentuk kesadaran emansipasi wanita pribumi di Jawa Tengah, serta dampaknya pada perubahan sosial di masyarakat kolonial.
Beberapa kajian yang menyoroti Politik Etis dan ide-ide feminisme Belanda salah satunya adalah tesis karya Inasya Nur Qamarani berjudul "Pengaruh Politik Etis dan Feminisme Belanda di Hindia Belanda terhadap Kartini" (2021). Tesis tersebut membahas pengaruh kebijakan Politik Etis dan gagasan feminisme Belanda terhadap Kartini sebagai perempuan di wilayah koloni pada masa kolonialisme Belanda. Pembahasannya mencakup relasi antara Belanda dan Hindia Belanda, peran aktor-aktor pendukung Politik Etis dan feminisme, serta media-media Belanda yang turut berkontribusi dalam membentuk kesadaran emansipasi Kartini. Namun, cakupan dalam tesis tersebut masih cukup luas, yakni mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, makalah ini berfokus pada lingkup yang lebih spesifik, yaitu Jawa Tengah, terutama kota Jepara, Rembang, dan Kedu, yang merupakan pusat berdirinya sekolah-sekolah pribumi pada masa itu.
- Pelaksanaan Politik Etis dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan Perempuan di Jawa Tengah
Politik Etis lahir sebagai jawaban atas kritik terhadap eksploitasi kolonial terhadap Hindia Belanda. Pada akhir abad ke-19, sebagian kaum liberal Belanda mulai menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan dan status masyarakat pribumi. Van Deventer, seorang penulis majalah De Gids, terinspirasi oleh pandangannya terhadap eksploitasi kolonial yang dilakukan penjajah terhadap masyarakat Hindia Belanda. Menurutnya, sudah waktunya pemerintah Belanda memprioritaskan kesejahteraan rakyat jajahan sebagai bentuk "pembayaran utang" atas penderitaan yang telah mereka alami (Susilo & Isbandiyah, 2018; 404). Kebijakan Politik Etis didasarkan pada tiga pilar utama: irigasi, pendidikan, dan emigrasi. Menurut Bernard H.M. Vlekke, dari ketiga aspek tersebut, pendidikan memiliki dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat Hindia Belanda.
Kebijakan Politik Etis dalam mendirikan Sekolah-sekolah bagi anak-anak pribumi merupakan langkah awal dalam perjuangan pemuda di Indonesia. Meskipun sebagian besar yang diperbolehkan sekolah adalah anak-anak dari para bangsawan pribumi (elit pribumi), namun kemudian para anak bangsawan itu muncul sebagai kaum intelek yang memikirkan nasib bangsanya yang tertindas (Suliso & Isbandiyah, 1018; 410). Di Jawa Tengah, salah satu tokoh intelektual dari kalangan bangsawan pribumi yang menjadi ikon perubahan sosial adalah Kartini. Sebagai seorang perempuan dari kalangan Priyayi, Kartini memandang bahwa akses pendidikan merupakan hal krusial yang harus dimiliki oleh perempuan modern (Qamarani, 2021). Pandangan Kartini tentang pentingnya pendidikan perempuan tidak hanya menginspirasi perubahan di lingkungannya, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kebijakan Politik Etis mulai membawa dampak nyata di Jawa Tengah, terutama melalui pendirian sekolah-sekolah yang memberikan peluang baru bagi kaum pribumi.
Jawa Tengah mempunyai keistimewaan dalam semangat memajukan pendidikan, seperti tercermin dalam pribadi Kartini dan cita-citanya untuk memajukan kesejahteraan dan martabat bangsanya, terkhusus kaum wanita. Sebagai salah satu dari tiga provinsi utama di Pulau Jawa, Jawa Tengah menonjol dalam perkembangan pendidikan formal pada abad ke-20, terlihat dari banyaknya jumlah sekolah yang didirikan di wilayah tersebut. Sejak dimulainya politik etis, jumlah sekolah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Sekolah-sekolah ini mencakup institusi yang didirikan oleh pemerintah (Gubernemen) maupun lembaga swasta, baik yang berafiliasi dengan kelompok agama untuk misi keagamaan (Islam, Protestan, Katolik) maupun yang diselenggarakan oleh gerakan nasional dan organisasi non-agama lainnya (Moehadi, Surojo, dkk, 1997; 52).
Sesuai dengan kebijakan Politik Etis, pemerintah kolonial mulai meningkatkan jumlah dan kualitas sekolah negeri bagi masyarakat Indonesia sejak awal abad ke-20. Sekolah Desa (Volkschool) pertama kali didirikan di Kedu, Jawa Tengah pada tahun 1906. Perkembangan Sekolah Desa ini setiap tahunnya mengalami kenaikan, sehingga pada tahun 1921 jumlahnya mencapai 2.318 buah. Namun, perkembangan pesat ini memunculkan tantangan baru terkait kelanjutan pendidikan bagi lulusan sekolah desa tersebut. Maka tahun 1915 diciptakan sebuah "sekolah sambungan" bagi sekolah desa untuk dapat sekolah yang lebih tinggi, yaitu Vervolgschool. Pendirian Vervolgschool sebagai kelanjutan dari Sekolah Desa menjadi upaya pemerintah kolonial untuk menjawab tantangan tersebut (Moehadi, Surojo, dkk, 1997; 53). Namun, di sisi lain, perhatian terhadap pendidikan perempuan pribumi juga mulai meningkat, seiring dengan gagasan emansipasi yang berkembang pada masa itu.
Pada tahun 1903, Kartini mendirikan sebuah sekolah khusus untuk perempuan Jawa di kediamannya Jepara, Jawa Tengah. Sekolah yang dikenal dengan nama "Sekolah Kartini" ini merupakan langkah revolusioner yang membuka peluang baru dalam pendidikan perempuan di Indonesia. Kurikulum di sekolah ini tentu berbeda dengan sekolah Belanda. Kartini berfokus pada pengajaran dasar seperti membaca, menulis, berhitung, serta sejumlah keterampilan praktis lainnya. Sayangnya, perjuangannya terhenti lebih awal karena ia meninggal pada September 1904.
Perjuangan Kartini dilanjutkan oleh Van Deventer, seorang tokoh pendukung Politik Etis yang terinspirasi oleh gagasan-gagasan visioner Kartini yang tercermin dalam surat-suratnya. Pada tahun 1912, ia mendirikan Yayasan Kartini yang kemudian membuka Sekolah Wanita pertama di Semarang, Jawa Tengah satu tahun setelahnya. Sekolah tersebut kemudian berkembang ke berbagai kota lain seperti Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan wilayah lainnya, sebagai bentuk nyata dari upaya memperluas akses pendidikan bagi perempuan (Hikmah, Taufik, dkk, 2023; 258). Awalnya, total perempuan yang mendaftar di Sekolah Kartini hanya berkisar sekitar 86 murid. Kemudian, pada tahun 1930 total murid perempuan yang mendaftar mencapai sebanyak 1.502 murid di Jawa. Meskipun dalam skala sederhana, pengaruh Kartini dan sekolahnya cukup besar untuk para perempuan dan kaum bangsawan. Selain dibukanya Sekolah Kartini pada 1913, rekan-rekan perempuan Kartini dari kelas priyayi mulai membuka sekolah-sekolah yang menyandang namanya (Qamarani, 2021).