Rasanya masih segar di ingatan kita, momen ketika saham PT Freeport Indonesia kembali ke pangkuan ibu pertiwi sejak dikuasai oleh asing berpuluh-puluh tahun lalu. Dilansir dari laman cnbcindonesia.com, tahun 2018 presiden ke-7 Republik Indonesia, bapak Ir. Joko Widodo berhasil menguasai kembali 51% saham PT Freeport Indonesia sehingga mengukuhkan posisi Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas perusahaan tersebut.
Selama 51 tahun tambang emas ini dikuasai asing, nominal fantastis yang terpaksa melayang sia-sia ke negara lain bukanlah titik paling menyedihkan. Izzati & Mulyana (2019) dalam bukunya menjabarkan bahwa biaya termahal dari kehilangan aset strategis bukan hanya pada kerugian moneter / material, melainkan pada ketidakmampuan untuk menentukan penggunaan sumber daya tersebut. Negara dan warganya hanya bisa meratap ketika pundi-pundi dolar terdistribusi lancar ke ‘dompet bule’, sedang negara ini tetap stuck pada wacana perubahan yang entah kapan akan terealisasi. Namun, artikel ini tidak akan berbicara tentang tambang emas atau sejenisnya, melainkan ‘emas’ dalam tafsiran lainnya.Â
Penulis percaya bahwa Indonesia bukan hanya memiliki ‘tambang emas’, melainkan juga kualitas emas Sumber Daya Manusia (SDM) yang bisa dibanggakan di kancah dunia. Tak kurang artikel yang memberitakan tangan-tangan lokal yang berkontribusi terhadap karya / produk kelas dunia. Chris Lie, sosok di balik kostum karakter fenomenal seperti SpiderMan adalah sosok yang menghabiskan masa kuliahnya di Institut Teknologi Bandung (ITB) (Sebayang, 2021). Lie, bukan satu-satunya, artikel yang ditulis Yanto (2024) menceritakan fenomena unik ketika tunggal putri badminton asal Belgia berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan pelatihnya. Artinya, tak perlu diragukan lagi kualitas tangan-tangan Indonesia di level dunia.
Pertanyaannya, jika talenta terbaik memilih ‘realistis’ dan ‘profesional’ dengan berkontribusi pada perusahaan asing, bagaimana dengan nasib industri dan SDM di negeri kita tercinta?Â
Pertama, perlu kita pahami bersama bahwa berdasarkan data terbaru yang dihimpun oleh World Population Review (2024) dalam lamannya, Intellectual Quotient (IQ) rata-rata masyarakat Indonesia berada di angka 78,49 yang masuk dalam kategori rendah. Angka di atas merepresentasikan bagaimana umumnya kualitas SDM di negara +62 ini, artinya hanya segelintir saja masyarakat dengan kecerdasan di atas rata-rata. Sayangnya, jumlah kecil itu masih harus tereduksi dengan hidup realistis yang mereka pilih. Aamodt (2018) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki prestasi merasa tertarik dengan perusahaan yang dapat memberikan penghargaan yang sesuai dengan kinerja mereka. Mereka yang memilih bekerja untuk perusahan asing bukan berarti penghianat bangsa, hanya saja negara ini yang belum sepenuhnya mampu memenuhi hak warga negaranya.
Hasibuan (2024) melalui laman berita CNBC Indonesia memberitakan terkait eksploitasi karyawan yang dilakuka oleh perusahaan animasi di wilayah Ibu Kota. Ditambah dengan Subarkah (2024) melalui laman berita Harian Jogja memotret kasus eksploitasi pekerja oleh salah satu kafe di wilayah Yogyakarta. Hal ini divalidasi oleh Izzati & Mulyana (2019) menyampaikan bahwa pemberi kerja asing dipersepsikan lebih profesional dan lebih baik dari penyedia kerja lokal. Jika seperti itu citra industri dalam negeri di mata talenta berbakat negeri ini, jangan salahkan jika pada akhirnya UMKM dan perusahaan lokal bahkan regional hanya mendapat ‘SDM layer 2 atau bahkan 3’ dalam menjalankan bisnisnya.
Kedua, penulis tertarik untuk memotret ini dari perspektif realita industri di Indonesia dan dampak yang berpotensi terjadi jika permasalahan ini tak kunjung mendapat perhatian. Berkaitan dengan rataan IQ masyarakat Indonesia, Gibson et al., (2011) menyampaikan bahwa keterampilan kognitif merupakan aspek paling mendasar bagi keberhasilan suatu organisasi. Tak perlu jauh bicara soal kemajuan teknologi dan industrialisasi, jika kemampuan kognitif masyarakatnya dicerminkan oleh siswa yang mengira Garut bagian dari Eropa.
Gibson et al., (2011) juga menyatakan bahwa globalisasi telah membuka peluang bagi para tenaga kerja untuk bekerja tanpa terhalang batas geografi. Pilihan karir dan industri bagi para tenaga kerja tak sesederhana PNS dan ‘kerja kantoran’. Ketika industri lokal tak sanggup menampung ide kreatif dan inovatif SDM unggul Indonesia, mudah saja untuk mereka mencari investor asing yang berbaik hati memfasilitasi gagasannya. Hilang lagi potensi tumbuhnya ekonomi, makin deras aliran perkembangan ekonomi, industri, dan teknologi ke luar negeri.
Pendapat menarik disampaikan oleh Robbins & Judge (2013) bahwa organisasi yang berfokus pada pengembangan bakat yang ia miliki relatif unggul dari perusahaan yang sekadar mengandalkan inovasi berkelanjutan. Sayangnya, pendapat tersebut tak tercermin pada realita industri di Indonesia. Betapa banyak pemimpin yang berpikir ‘yang penting usaha jalan, uang lancar, yang lain nanti dulu’ tanpa mempertimbangkan domino effect yang terjadi jika potensi karyawan tak diindahkan, terlebih bagi UMKM.
Izzati & Mulyana (2019) menjabarkan bahwa UMKM merupakan tulang punggung ekonomi nasional, namun sering kehilangan SDM terbaik yang dimiliki negeri ini. Jika tulang punggungnya keropos, kemana lagi nasib ekonomi negeri ini akan disandarkan?