Alam – mencakup flora dan fauna - kerap berkisah tentang diri mereka, yang kesemua itu merupakan refleksi dari kebesaran dan kemahadigdaya-an dari sang Pencipta.Â
Itu andai saja kita pandai-pandai membacanya.Â
Sebenarnya, tidak perlu persyaratan pandai, yang penting adalah kemauan (sangat simpel), untuk memandangnya, dan berlanjut kepada pemahaman. Pemahaman, idealnya akan menuju pada rasa cinta alam sekaligus ‘awareness’ terhadap tindakan merusak lingkungan hidup.
Begitulah, tadi pagi saya membaca sebuah artikel tentang hewan biota laut bernama oktopus (Octopus).
Hewan penghuni laut berlengan delapan ini (tangannya juga sekaligus berfungsi sebagai kaki) benar-benar membuatku trenyuh.Â
Ternyata oktopus betina itu ‘terlalu sangat amat’ penuh dengan pengorbanan kala ia telah menjadi calon ibu.Â
Dalam bereproduksi, hewan ini akan menjaga telur-telurnya penuh ketelatenan dan konsisten menjaga amanah.Â
Namun, apa yang terjadi… begitu telur-telur tersebut menetas, sang ibu baru – atau baru jadi ibu – itu pun tak berapa lama berselang akan mati.Â
Dan sang bunda – yang tanpa memiliki pilihan kecuali terenggut nyawanya ini - meninggalkan bayi-bayi oktopus sendirian.
 Jiwa-jiwa belia nan rentan, yang harus mempertahankan diri sendiri terhadap predatornya dalam keganasan kehidupan lautan luas.
Menyesak rasanya, membayangkan ini semua, anak-anak ini begitu membuka mata melihat dunia (samudra), sudah harus menyandang status anak piatu, tanpa pernah mengenal wajah bundanya, apalagi mencecap kasih sayang seorang ibu walau sekejap juga.Â