Alam – mencakup flora dan fauna - kerap berkisah tentang diri mereka, yang kesemua itu merupakan refleksi dari kebesaran dan kemahadigdaya-an dari sang Pencipta.Â
Itu andai saja kita pandai-pandai membacanya.Â
Sebenarnya, tidak perlu persyaratan pandai, yang penting adalah kemauan (sangat simpel), untuk memandangnya, dan berlanjut kepada pemahaman. Pemahaman, idealnya akan menuju pada rasa cinta alam sekaligus ‘awareness’ terhadap tindakan merusak lingkungan hidup.
Begitulah, tadi pagi saya membaca sebuah artikel tentang hewan biota laut bernama oktopus (Octopus).
Hewan penghuni laut berlengan delapan ini (tangannya juga sekaligus berfungsi sebagai kaki) benar-benar membuatku trenyuh.Â
Ternyata oktopus betina itu ‘terlalu sangat amat’ penuh dengan pengorbanan kala ia telah menjadi calon ibu.Â
Dalam bereproduksi, hewan ini akan menjaga telur-telurnya penuh ketelatenan dan konsisten menjaga amanah.Â
Namun, apa yang terjadi… begitu telur-telur tersebut menetas, sang ibu baru – atau baru jadi ibu – itu pun tak berapa lama berselang akan mati.Â
Dan sang bunda – yang tanpa memiliki pilihan kecuali terenggut nyawanya ini - meninggalkan bayi-bayi oktopus sendirian.
 Jiwa-jiwa belia nan rentan, yang harus mempertahankan diri sendiri terhadap predatornya dalam keganasan kehidupan lautan luas.
Menyesak rasanya, membayangkan ini semua, anak-anak ini begitu membuka mata melihat dunia (samudra), sudah harus menyandang status anak piatu, tanpa pernah mengenal wajah bundanya, apalagi mencecap kasih sayang seorang ibu walau sekejap juga.Â
Padahal kasih sayang bunda itu adalah hal terindah dalam kehidupan seseorang, dalam ikatan paling purba sekalipun.
Di sisi lain, ditakdirkan menjadi seekor oktopus betina, berarti hanya bisa bereproduksi sekali seumur hidup.Â
‘Memilih menikah’ bagi mereka berarti diidentikkan dengan bunuh diri-kah?
Sesaat tampaknya hidup ini adalah seuntai dilema bagi oktopus, dilema hereditas yang berharga mati.Â
Ah, adakah ‘homo sapiens’ (manusia) yang bisa menanggung siklus hidup tertakdir dari makhluk semacam ini – para bunda yang tak akan pernah bisa menjamah buah hati seumur hayatnya?
(Saya jadi termangu dan tergugu, sambil menitip salam pada tetesan-tetesan hujan di luar sana.Â
Ada pelangi bersama doa untuk ayah bunda, dimana di pangkuan merekalah saya minta dijaga dan dimanja selama ini…)
 ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H