Mohon tunggu...
Tiara Aisha
Tiara Aisha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

STIKes Mitra Keluarga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mari Tingkatkan Sehat Jiwa Dan Hati Sebagai Upaya Menyadarkan Masyarakat Pentingnya Kesehatan Mental

15 Juli 2023   13:29 Diperbarui: 15 Juli 2023   13:32 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MARI TINGKATKAN SEHAT JIWA DAN HATI SEBAGAI UPAYA MENYADARKAN MASYARAKAT PENTINGNYA KESEHATAN MENTAL 

Tiara Aisha

Jurusan Keperawatan STIKes Mitra Keluarga,Jalan Pengasinan Rawa Semut Margahayu Bekasi Timur 

 

Kesehatan mental merupakan aspek penting dalam mewujudkan kesehatan yang menyeluruh. Namun di sebagian besar negara berkembang, masalah kesehatan mental belum diprioritaskan apabila dibandingkan dengan penyakit menular. Regulasi, kebijakan kesehatan mental dan implementasinya di Indonesia masih diikuti oleh kesenjangan yang luas terkait dengan masalah cakupan dan akses pada pelayanannya (Ayuningtyas et al., 2018)

Di negara berpenghasilan rendah dan menengah, lebih dari 75 persen orang dengan gangguan mental, neurologis, dan penyalahgunaan zat tidak menerima pengobatan sama sekali untuk kondisi mereka. Prevalensi Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada populasi umum berkisar antara 4 persen sampai 41 persen dan prevalensi depresi berat meningkat 7 persen setelah wabah (Kang et al., 2020). Meskipun beberapa studi cost-effectiveness melaporkan berkurangnya kecacatan terkait dengan kesehatan mental, namun hanya sebagian kecil dari mereka yang terkena dampak mendapatkan pengobatan yang tepat. Kesenjangan perawatan ini tampak sangat lebar di negara-negara berpenghasilan rendah atau menengah, yaitu sekitar 85 persen dari populasi dunia (Bruckner et al., 2011)

Kebijakan kesehatan mental di Indonesia terbilang mengalami kemajuan apabila dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya, meskipun kemajuannya cenderung lambat. Perumusan kebijakan kesehatan mental belum didukung oleh data penunjang yang adekuat, sama halnya seperti yang dialami banyak negara berkembang lainnya. Padahal data yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk merumuskan kebijakan yang efektif sehingga pada tingkat pelayanan kesehatan primer dan sekunder upaya penanganan kesehatan mental dapat lebih optimal (Ridlo et al., 2018).

Menilik Riset Kesehatan Dasar (Ridlo, 2020), menemukan 14 persen keluarga yang melakukan kurungan, dengan 31,5 persen melakukannya dalam 3 bulan terakhir. Data WHO pada 2017 menunjukkan tingkat psikiater 0,31, tingkat perawat kesehatan mental 2,52, dan pekerja sosial menilai 0,17 (semua per 100.000 populasi) mengkonfirmasi kurangnya sumber daya kesehatan mental di Indonesia. Disability Adjusted Life Years (DALY) mencapai 2.463,29 per 100.000 populasi dan tingkat kematian bunuh diri 3,4 tanpa strategi terkait pencegahan bunuh diri ditemukan. Prevalensi nasional depresi di antara orang-orang 15 tahun mencapai 6,1 persen dengan hanya 9 persen dari mereka yang menerima perawatan dari para profesional (Riskesdas, 2019).

Peningkatan masalah kesehatan jiwa ini menunjukkan perlunya perhatian khusus terhadap kesehatan mental masyarakat Indonesia.Dilihat dari angka penderita gangguan mental yang tiap tahun meningkat maka seharusnya perawatan atau pengobatan yang ditawarkan juga semakin beragam, namun sayangnya hal ini tidak berlaku di Indonesia dimana penderita gangguan kesehatan mental masih dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan penderitanya harus dikucilkan. Berbagai stigma diberikan pada penderita gangguan kesehatan mental sehingga untuk keluarga penderitapun lebih memilih menutupi kondisi anggota keluarganya.Hal ini sangat disayangkan mengingat di zaman sekarang ini masyarakat diberikan berbagai opsi untuk pengobatan penderita gangguan kesehatan mental namun lebih memilih untuk berobat ke dukun atau orang pintar karena masih beranggapan bahwa sakit mental atau sakit jiwa itu dikarenakan adanya gangguan makhluk halus atau sebagainya. Oleh karena itu, sudah seharusnya masyarakat diedukasi tentang kesehatan mental, dan bagaimana cara penanganannya, agar penderita dapat diminimalisir kondisi buruk mentalnya dan masyarakat akan menghilangkan pandangan-pandangan yang tidak sesuai terhadap para penderita gangguan kesehatan mental.

1. Pengertian Kesehatan Mental 

Definisi kesehatan mental menurut WHO adalah kondisi kesejahteraan (wellbeing) seorang individu yang menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya (Organization & others, 2018) Kesehatan mental jelas merupakan bagian integral dari definisi sehat sehingga tujuan dan tradisi kesehatan masyarakat dan promosi kesehatan dapat diterapkan sama bermanfaatnya dalam bidang kesehatan mental. Kesehatan mental membahas lebih daripada tidak adanya penyakit mental, yang sangat penting bagi individu, keluarga dan masyarakat. Kesehatan mental merupakan pendekatan multidisiplin yang mencakup promosi kesejahteraan, kesehatan mental dan pencegahan penyakit.Gangguan kesehatan mental merupakan kondisi dimana seorang individu mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya dengan kondisi di sekitarnya. Ketidakmampuan dalam memecahkan sebuah masalah sehingga menimbulkan stres yang berlebih menjadikan kesehatan mental individu tersebut menjadi lebih rentan dan akhirnya dinyatakan terkena sebuah gangguan kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental dapat diperoleh semenjak anak dari dalam kandungan maupun ketika seseorang tumbuh dewasa namun dalam perkembangannya ditemui hal-hal yang dapat berdampak pada stres yang berlebihan. Kehidupan yang semakin modern membawa berbagai macam tuntutan yang harus dipenuhi. Bukan hanya karena sifatnya yang wajib atau penting melainkan keinginan diakui oleh masyarakat menjadikan individu merasa harus mengikuti trend yang sedang berlangsung tanpa sadar akan kapasitasnya.

2. Ciri-ciri Sehat Jiwa Atau Mental 

Menurut Undang-undang No 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan "Kesehatan Jiwa" adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut: "Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain. Seseorang yang "sehat jiwa atau mental" mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a.Merasa senang terhadap dirinya serta

  • Mampu menghadapi situasi
  • Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup
  • Puas dengan kehidupannya sehari-hari
  • Mempunyai harga diri yang wajar
  • Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak pula ,erendahkan

b. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta

  • Mampu mencintai orang lain
  • Mempunyai hubungan pribadi yang tetap
  • Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda
  • Merasa bagian dari suatu kelompok
  • Tidak "mengakali" orang lain dan juga tidak membiarkan orang lain "mengakali" dirinya

c. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta

  • Menetapkan tujuan hidup yang realistis
  • Mampu mengambil keputusan
  • Mampu menerima tanggungjawab
  • Mampu merancang masa depan
  • Dapat menerima ide dan pengalaman baru Puas dengan pekerjaannya

3. Klasifikasi Gangguan Mental 

Pada konteks kesehatan jiwa, dikenal dua istilah untuk individu yang mengalami gangguan jiwa. Pertama, Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Kedua, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/ atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Menurut (The ICD 2010) The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders: clinical descriptions and diagnostic guidelines tahun 1992, gangguan mental dapat diklasifikasikan menjadi 11 kategori berikut:

  • F00-F09: Organic, including symptomatic, mental disorders
  • F10-F19: Mental and behavioural disorders due to psychoactive substance use
  • -F29: Schizophrenia, schizotypal and delusional disorders
  • F30-F39: Mood [affective] disorders
  • F40-F48: Neurotic, stress-related and somatoform disorders
  • F50-F59: Behavioural syndromes associated with physiological disturbances and physical factors
  • F60-F69: Disorders of adult personality and behaviour
  • F70-F79: Mental retardation
  • F80-F89: Disorders of psychological development
  • F90-F98: Behavioural and emotional disorders with onset usually occurring in childhood and adolescence
  • F99-F99: Unspecified mental disorder

4. Penyebab Gangguan Kesehatan Mental

Terdapat berbagai unsur penyebab terjadinya gangguan kesehatan mental pada seseorang, gangguan kesehatan mental ini dibagi menjadi tiga kategori penyebab yakni faktor-faktor somatogenik, psikogenil, dan sosiogenik. Faktor somatogenik yang terdiri dari neroanatomi, nerofisiologi, nerokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organik, dan faktor-faktor pre dan perinatal. Faktor psikogenik meliputi interaksi ibu-anak yang tidak abnormal seperti tidak adanya rasa percaya, peranan ayah, sibling rivaly, intelegensi, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat, kehilangan yang menyebabkan kecemasan, depresi, rasa malu atau salah, pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya, dan tingkat perkembangan emosi. Faktor sosiogenik yang di dalamnya terdapat kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, keluarga dengan ekspresi emosi tinggi atau rendah, tingkat pendapatan atau ekonomi, tempat tinggal, masalah kelompok minoritas yang berprasangka, fasilitas kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan yang tidak memedai, pengaruh rasial dan keagamaan, dan nilai-nilai yang dijadikan pedoman. Dari ketiga faktor tersebut diketahui bahwa penyebab gangguan kejiwaan atau gangguan mental tidak hanya dapat disebabkan salah satu faktor, karena sifat manusia yang utuh dimana sistem dalam diri manusia merupakan sebuah kesatuan oleh karena itu sangat memungkin bahwa penyebab gangguan kesehatan mental merupakan kombinasi dari ketiga kategori dengan satu kategori sebagai penyebab utamanya. Oleh sebab perihal ini lah dalam melakukan assessment pada penderita haruslah dilakukan secara detail dan menyeluruh.

Menurut (Halonen & Santrock, 1999) penyebab gangguan jiwa pada umumnya dikategorikan menjadi aspek jasmaniah atau biologi seperti contohnya keturunan, kegemukan yang cenderung psikosa manik depresi dan dapat pula menjadi skizofernia, tempramen karena orang yang telalu sensitif, penyakit, dan cedera tubuh. Santrock juga menjelaskan bahwa gangguan jiwa juga dapat disebabkan oleh faktor psikologi dimana seseorang dengan pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang dialami akan mewarnai perilaku, kebiasaan, dan sifatnya di masa yang akan datang. Pernyataan bahwa hidup manusia dapat dibagi atas 7 masa dan pada suatu keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.

 5.Upaya Menjaga Kesehatan Mental 

WHO mencanangkan visi dari rencana aksi kesehatan mental 2013--2020 yaitu dunia dimana kesehatan mental dihargai, dipromosikan dan dilindungi, gangguan mental dicegah dan orang yang terkena gangguan ini dapat melakukan berbagai hak asasi manusia dan mendapat akses kualitas tinggi, kesehatan sesuai budaya dan pelayanan sosial pada waktu yang tepat untuk mendorong pemulihan, yang memungkinkan untuk mencapai kesehatan pada level tertinggi dan berpartisipasi sepenuhnya dalam masyarakat dan di tempat kerja, bebas dari stigmatisasi dan diskriminasi (Organization & others, 2018)

Memberikan edukasi mengenai kesehatan mental, gangguan kesehatan mental, berikut dengan penanganannya bukan hanya dibutuhkan oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan kesehatan mental, melainkan kepada masyarakat pada umumnya. Dalam konsep person in environment yang menjadi salah satu ciri khas dari pekerjaan sosial menjelaskan bahwa keberadaan seseorang individu akan mempengaruhi dann dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Untuk perihal kesembuhan penderita gangguan kesehatan mental maka seluruh lapisan masyarakat wajib dan berhak mendapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya untuk menciptakan lingkungan (sosial) yang proporsional bagi kesembuhan para penderita. Dengan memberikan pengetahuan mengenai kesehatan mental atau kejiwaan (termasuk psikososial) kepada masyarakat maka secara bertahap stigma 'orang aneh yang harus dikucilkan' akan sedikit demi sedikit berkurang, dan bagi keluarga yang anggotanya memiliki gangguan kesehatan mental atau kejiwaan akan langsung memberikan pengobatan di tempat yang sesuai, selain itu dengan terbukanya pikiran masyarakat maka secara berkala profesi pekerja sosial dalam bidang medis khususnya akan ikut terangkat.

Tersedianya berbagai macam treatment seharusnya dapat menjadi solusi atau jawaban bagi masyarakat yang mempertanyakan dan meragukan akan kesembuhan bagi para penderita gangguan kesehatan mental atau kejiwaan. Kuatnya stigma negatif masyarakat pada penderita gangguan kesehatan mental menjadikan penderita tidak mendapatkan perawatan yang sesuai. Dianggap sebagai sebuah aib, keluarga penderita gangguan kesehatan mental lebih memilih mengurung anggota keluarga yang terkena gangguan mental di rumah, bahkan masih sering ditemui yang memilih memasung karena berpikiran bahwa penderita gangguan kesehatan mental dapat membahayakan keselamatan orang lain. Dengan stigma negatif tersebut maka akan sulit institusi kesehatan yang menangani pesoalan ini untuk membantu mereka yang membutuhkan perawatan. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan mental,maupun gangguan kesehatanmental menjadikan masyarakat memilih untuk diam, dan melakukan hal yang sangat sederhana sebagai bentuk pengobatan. Kurangnya keterbukaan masyarakat terhadapa gangguan kesehatan mental menjadikan masyarakat terjebak di perspektif masing-masing.

Referensi

Ayuningtyas, D., Rayhani, M., & others. (2018). Analisis situasi kesehatan mental pada masyarakat di Indonesia dan strategi penanggulangannya. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(1), 1--10.

Bruckner, T. A., Scheffler, R. M., Shen, G., Yoon, J., Chisholm, D., Morris, J., Fulton, B. D., Dal Poz, M. R., & Saxena, S. (2011). The mental health workforce gap in low-and middle-income countries: a needs-based approach. Bulletin of the World Health Organization, 89, 184--194.

Halonen, J. S., & Santrock, J. W. (1999). Psychology contexts \& applications. McGraw-Hill.

Kang, L., Li, Y., Hu, S., Chen, M., Yang, C., Yang, B. X., Wang, Y., Hu, J., Lai, J., Ma, X., & others. (2020). The mental health of medical workers in Wuhan, China dealing with the 2019 novel coronavirus. Lancet Psychiatry. 2020; 7 (3): e14.

mondiale de la sant, O., Weltgesundheitsorganisation, Organization, W. H., WHO, & Staff, W. H. O. (1992). The ICD-10 classification of mental and behavioural disorders: clinical descriptions and diagnostic guidelines (Vol. 1). World Health Organization.

Organization, W. H., & others. (2018). Mental health action plan 2013--2020. Geneva: World Health Organization; 2013. This Document Was Produced in Response to the World Health Assembly Resolutions WHA66. 8 and WHA65. 4, Provides the Necessary Framework for Improving Mental Health Globally from the Government to Individual Level, and Provides a Strong Rationale for Collaborative Care.

Ridlo, I. A. (2020). Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental.

Ridlo, I. A., Zein, R. A., & others. (2018). Arah Kebijakan Kesehatan Mental: Tren Global dan Nasional Serta Tantangan Aktual. Buletin Penelitian Kesehatan, 46(1), 45--52.

Riskesdas, L. N. (2018). Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun