Hai para pembaca dan penulis Kompasiana. Kita bersua lagi di jejaring dunia maya ini. Setelah sekian lama vakum dari Kompasiana, karena beberapa alasan fundamental, JPIC Kapusin Medan kembali mencoba mengisi akun yang sudah cukup 'berdebu' ini.
Pada 1 September yang lalu, kami mendapatkan berita bahwa Paus Fransiskus mengadakan pertemuan oikumene dengan Patriak Bartolomeus (Uskup Agung Konstantinopel) dan Uskup Yustinus Welby (Uskup Agung Canterbury).Â
Pertemuan yang membahas keprihatinan akan keadaan bumi dewasa ini, turut menjadi pembukaan bagi Masa Penciptaan (Season of Creation) 2021.Â
Masa penciptaan
Masa penciptaan merupakan satu periode bagi umat Kristen untuk mengenangkan, merefleksikan, dan mengendapkan nilai luhur penciptaan yang dilakukan oleh Allah. Periode ini berlangsung hanya satu bulan, terhitung sejak 1 September hingga 4 Oktober, hari peringatan Fransiskus Asisi yang dinobatkan sebagai Pelindung Ekologi oleh Paus Yohanes Paulus II pada 29 November 1975.Â
Masa ini awalnya dimulai oleh Gereja Ortodoks Timur pada 1989. Lalu, Gereja-gereja Kristen Eropa dan Katolik Roma ikut ambil bagian pada 2001 dan 2015.
Proses penciptaan creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan), seperti dikisahkan dalam Kitab Kejadian, adalah karya agung (master piece) Allah. Tak satu ciptaan pun jelek, rusak, atau cacat di mata Allah. Sifatnya baik dan bahkan amat baik. Terlebih manusia - sebagai ciptaan yang amat baik - menjadi puncak ciptaan, karena dicipta menurut gambar dan rupa-Nya.
Dicipta menurut gambar dan rupa Allah mengandung maksud bahwa, kapasitas ilahi (dalam kadar tertentu) diberikan Allah kepada manusia. Kapasitas itu antara lain akal budi, kehendak bebas, kemampuan bertindak, dan berefleksi.
Atas kapasitas tersebut, Allah menitipkan apa yang telah diciptakan-Nya agar dipelihara, dijaga, dirawat, dan dikembangkan sesuai kodratnya masing-masing. Hanya kepada manusia, sebagai co-creator (rekan) Allah.
Hal inilah yang hendak disegarkan kembali dalam rasio dan hati manusia. Setelah sekian lama bumi diciptakan dan siklus kehidupan berlangsung, bisa jadi manusia sudah terlalu terbuai dan terlena lupa pada misi awal yang disampaikan oleh Allah.
Bahkan, manusia sudah jauh melenceng. Lebih parah, muncul tafsir sesat bahwa titipan Allah tersebut adalah mutlak sarana memenuhi kenikmatan semata. Maka, manusia abai terhadap hak yang harus diberikan kepada bumi dan isinya; perawatan, perhatian, penjagaan, dan pengertian akan siklus alamiah.
Di dalam bumi, Allah menempatkan segala ciptaan-Nya. Bumi menjadi rumah dan dalam arti tertentu menjadi rahim yang menjaga segala ciptaan-Nya. Di rumah yang besar ini, Allah-manusia-dan ciptaan lain tinggal dan berinteraksi satu sama lain.Â
Karena tinggal di satu rumah, masing-masing penghuni punya peran dan sumbangsih untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan. Untuk itu, dengan sangat minim diusahakan agar tidak terjadi dominasi yang berlebihan. Terlebih dari pihak manusia, eksploitasi tanpa ampun harus ditekan.
Tekanan di atas tadi menjadi deskripsi utama tema masa penciptaan 2021, yakni "Rumah untuk Semua? Membarui Oikos Tuhan". Paus Fransiskus pun punya cara pandang yang sama, bahwa bumi adalah rumah bersama (common home) atau rumah untuk semua makhluk. Bahkan, Tuhan sendiri tinggal di bumi yang diciptakan-Nya sendiri.
Untuk itu, agar makin nyaman dan tenang tinggal di rumah sendiri, diperlukan pembaruan yang kreatif dan berkelanjutan dari penghuninya. Tidak monoton, setengah-setengah, dan tidak mandek! Dan, rasanya mustahil kenyamanan terasa apabila tidak ada kerja sama di antara manusia sebagai 'rekan tuan rumah' yang diberikan hak.
Kerja sama
Paus Fransiskus dan kedua temannya dalam pertemuan oikumene tadi menekankan sikap koperatif dari masing-masing orang, bukan eksklusif Kristen untuk membarui bumi ini.
Aksi membarui dimulai dari kesadaran bahwa bumi yang dihuni ini, bukan milik manusia. Bumi adalah milik Allah yang dititipkan kepada manusia, meski manusia punya hak untuk mengambil apa saja dari bumi demi kehidupannya.
Setelah sadar, masing-masing orang harus membuka hati untuk peka dan terlebih peduli hak sesama dan makhluk lain. Masih banyak orang paling miskin, menderita, dan lemah yang harus diperhatikan dan ditopang; terlebih, karena pandemi Covid-19 yang hampir dua tahun ini belum bisa direm.
Gotong royong akan jauh lebih meringankan dibanding kerja sendiri-sendiri. Apa yang diusahakan terhadap orang lain tentu memiliki dampak positif dan direkam.Â
Demikianlah peneguhan dari Paus Fransiskus. "Tak seorang pun aman jika yang lainnya tidak aman. Sebab, tindakan yang kita lakukan akan memiliki efek kepada yang lain. Apa yang kita kerjakan hari ini akan berefek pada hari berikutnya".
Terhadap isi bumi yang lain, berlaku apa yang dipesankan Paus Fransiskus. Merawat alam dengan penuh kasih menjadi jembatan persaudaraan bagi manusia untuk lebih erat dan dekat dengan tumbuhan, hewan, dan benda-benda kosmik.
Selain oleh karena siklus alamiah, krisis dan kerusakan lingkungan dewasa ini adalah ulah kenakalan pikiran dan tangan manusia. Untuk itu, manusia harus bertobat.Â
Dalam ranah ekologis, bertobat artinya perubahan dan pembaruan pola pikir. Pendidikan ekologis sudah sangat mendesak untuk digiatkan, terutama bagi anggota keluarga di rumah. Dalam Ensiklik Laudato Si' (24 Mei 2015), Paus Fransiskus sungguh menekankan urgensi pendidikan ekologis ini.
Pewarisan kebiasaan yang tidak ekologis kepada generasi muda harus dihentikan. Ajaran sesat yang menyiksa bumi justru akan berisiko fatal kedepannya. Generasi muda akan menjadi semakin bar-bar.Â
Bahkan, mereka tidak akan dapat menikmati kemegahan Allah yang tersembunyi dalam ciptaan-Nya. Mereka hanya akan membaca atau mendengarnya dari dongeng, cerita, atau rekaman sejarah.
Aksi sederhana
Setelah membaca dan mendalami berita dari Tahta Suci di atas, muncul gumam di hati: "Sudah saatnya kita beraksi!".
Sederhana saja, tapi sarat makna dan edukatif. Dalam konteks masa pandemi ini: kita setia menjaga protokol kesehatan,(pakai masker, jaga jarak, rajin cuci tangan, kurangi pergerakan, dan vaksinasi) agar orang lain tidak sakit karena kelalaian kita. Selain itu, mari kita berbagi kepada tetangga kita yang butuh dibantu.
Sampah-sampah yang kita hasilkan dari alat kesehatan seperti masker atau sarung tangan, jangan dibuang sembarang. Kemaslah sampah itu dan taruhlah di tempat sampah dengan kode agar orang tidak menyentuhnya.
Di rumah atau lingkungan sekitar, jagalah agar sampah tidak dibuang sembarangan. Rawatlah pohon dan tanaman hijau yang bisa dikonsumsi. Semakin organik, semakin sehat.
Aksi ini adalah bukti kecil bahwa kita peduli lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Masih bisa dijabarkan lagi aksi yang hendak diaplikasikan.
Semoga sukses dan berhasil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI