"Manusia telah diciptakan menurut citra Allah, yang sendiri adalah cinta. Oleh karena Allah telah menciptakannya sebagai pria dan wanita, maka cinta di antara mereka menjadi gambar dari cinta yang tak tergoyangkan dan absoulut, yang dengannya Allah mencintai manusia (Katekismus Gereja Katolik 1604)"
Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan satu untuk yang lain (Kejadian 2:18) dalam ikatan cinta ilahi. Perempuan dibentuk dari tulang rusuk laki-laki dan Allah memberikan perempuan itu kepada laki-laki sebagai penolong yang sepadan dan sederajat dengannya. Selanjutnya, akan tiba waktunya baik laki-laki maupun perempuan akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu. Kesatuan cinta mereka sifatnya tidak terceraikan sebab mereka bukan lagi dua, melainkan telah menjadi satu di dalam Allah yang mengikat mereka (bdk. Mat 19:6). Demikianlah terjadi perkawinan/pernikahan antara mempelai laki-laki dan perempuan.
Akan tetapi, pengalaman yang jahat bisa mempengaruhi ikatan suci tersebut. Kesatuan di antara keduanya diancam oleh perselisihan, nafsu, ketidaksetiaan, kecemburuan, konflik, ketidakpedulian, rasa bosan, dan berujung pada perceraian. Hal ini bisa disebabkan oleh kedangkalan cinta, pengetahuan akan nilai luhur perkawinan, dan barangkali ada pedoman yang mengizinkan untuk sebuah perceraian.
Dalam Gereja Katolik sendiri, tidak diizinkan ada perceraian perkawinan. Hal ini didasarkan pada sabda Yesus sendiri: "Apa yang dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6)".Â
Perkawinan juga dipandang sebagai sebuah sakramen (Latin: sacramentum: hal-hal yang berkaitan dengan yang kudus atau yang ilahi; tanda keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia). Maka, konsekuensi logisnya adalah perkawinan itu bersifat kudus dan ilahi karena datang dari Allah sendiri. Untuk itu, perlu dijaga dengan sikap hormat.Â
Maka, sebelum berlangsung sebuah perkawinan, pihak Gereja akan lebih dahulu mempersiapkan para calon mempelai dengan katekese dan pendalaman iman seputar sakramen perkawinan. Yang disampaikan kepada mereka adalah betapa luhurnya sakramen perkawinan dalam gereja Katolik. Itu harus dihayati dan dihidupi.Â
Kursus Persiapan Perkawinan (KPP)
Kursus persiapan perkawinan merupakan masa bagi calon mempelai untuk membekali diri dengan nilai-nilai luhur perkawinan dalam gereja dan masyarakat. Tujuan umum KPP ada tiga, yakni membekali para muda-mudi dalam membangun rumah tangga keluarga Katolik; menambah wawasan para calon mengenai perkawinan dan hidup berkeluarga secara teologis, psikologis, moral, seksualitas, kesehatan, ekonomi, dan gender; dan memberikan pegangan bagi para calon untuk mengambil tindakan dan mengatur hidupnya sesuai asas moral kristiani. KPP juga mempersiapkan para calon untuk masyarakat umum, agar keluarga yang baru dibentuk hidup dengan baik dan memasyarakat (sumber).
Para calon juga harus mengerti bahwa perkawinan di gereja Katolik pun ada hukumnya. Untuk itu, mereka harus tahu apa yang digariskan secara hukum gereja dapat dilakukan dan apa yang harus dihindari agar perkawinan dapat berlangsung secara sah dan tidak terhalang.Â
KPP juga membantu para calon untuk berpikir secara matang betul untuk siap akan suka-duka di masa depan. Faktual, bahwa kehidupan berkeluarga tidak akan selamanya manis dan mulus, akan ada ujian, cobaan, gesekan konflik, duka, kesedihan. Untuk itu, mereka yang tengah mempersiapkan diri, harus membuka hati dan pikiran untuk itu. Apalagi, calon istri atau suami yang hendak dipilihnya akan menjadi pendampingnya seumur hidup: hanya maut yang bisa memisahkan.