Selama ini, belum ada institusionalisasi khusus yang mengatur negara-negara mengenai pengelolaan sumber daya alam di kawasan LCS. Adapun, untuk meredam konflik diantara negara-negara yang bertikai dilakukan melalui Code of Conduct (COC) yang merupakan kelanjutan dari Declaration on the Conduct (DOC).Â
COC bertujuan untuk mengatur perilaku negara-negara yang terlibat agar tidak bertindak secara provokatif dengan melibatkan pendekatan yang damai. Merujuk pada Antara, Peneliti Senior di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan Laksmana menjelaskan bahwa COC bukanlah sebuah solusi utama dalam penyelesaian masalah laut yang disengketakan.
Penulis tidak membicarakan bahwa tidak ada kerjasama diantara negera-negara yang berkonflik di LCS. Melansir dari ASEAN.org, ASEAN dan Tiongkok tergabung dalam kesepakatan perdagangan bebas yang melibatkan 15 negara di kawasan Asia-Pasifik melalui Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).Â
RCEP menjadi kerjasama yang baik untuk melanggengkan perdamaian di kawasan, namun kerjasama tersebut tidak secara langsung membahas isu di Laut China Selatan. Penulis menyarankan agar membentuk institusi khusus -baik berupa kerjasama atau kelompok- yang fokus pada pengelolaan Laut China Selatan secara bersama-sama. Dengan catatan bahwa pengelolaan berasaskan pada UNCLOS.
Jauh sebelum terbentuknya Uni Eropa (UE), negara-negara Eropa membentuk kerjasama mengenai batu bara dan baja melalui European Coal and Steel Community (ECSC). ECSC menjadi fondasi awal perdamaian pasca Perang Dunia II. ECSC merupakan bentuk kerjasama fungsionalisme, yaitu kerjasama yang berlandaskan pada fungsi-fungsi spesifik di luar isu-isu yang bersifat kontroversial. ECSC hanya fokus pada kerjasama di sektor batu bara dan baja, namun kerjasama ini mendatangkan perdamaian bagi kawasan Eropa.Â
Mekanisme kerjasama ECSC dapat diadopsi oleh negara-negara di kawasan Laut China Selatan (LCS), di mana negara-negara tersebut bekerjasama berdasarkan fungsi-fungsi spesifik. Setiap negara memanfaatkan potensi dan asetnya di kawasan LCS untuk kerjasama yang saling menguntungkan.Â
Kerjasama yang dilakukan dapat berupa pengelolaan bersama perdagangan maritim, pengelolaan sumber daya alam, dan kerjasama perdangangan sektor perikanan. Mengingat, LCS menjadi rute pelayaran utama dengan lebih dari 21% perdagangan global, senilai $3,37 triliun, serta potensi sumber daya alam seperti potensi perikanan dan mineral yang berada di wilayah LCS (BBC News, 2023).Â
Mekanisme kerjasama di laut ini diharapkan dapat menjaga perdamaian negara-negara yang berkonflik, terutama untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Indonesia dapat mempelopori pembentukan institusi kerjasama baru di kawasan LCS -sebagaimana kerangka neoliberal institutionalism-, selain untuk meredam konflik, ini juga berarti bagi peningkatan ekonomi negara.Â
Pandangan ini menjadi lebih baik daripada mengedepankan kehadiran militer sebagai upaya penyelesaian masalah. Dalam pandangan ini, perdamaian diciptakan melalui kerjasama ekonomi antar negara, bukan melalui balance of power di kawasan. Kedaulatan harus dilihat melalui kacamata yang lebih inklusif agar dapat membuka peluang kerjasama.Â
Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih kooperatif terhadap kedaulatan tidak berarti melemahkan kedaulatan negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia. Sebaliknya, dengan mempromosikan perdamaian dan stabilitas melalui kerjasama "functionalism" regional, Indonesia dan negara-negara di LCS dapat memperkuat kedaulatannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H