Dari mana ya munculnya anggapan seperti ini?
“mister mister, can I take a picture with you?”
“mister mister, you and me cekrik cekrik please”
“mister foto mister”
Tulisan tulisan yang bisa didengar ya friends? Di mana sih biasanya kita dengar ujaran ujaran itu? Yup, di tempat tempat wisata yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara khususnya Bali.
Ngomong-ngomong pernah nggak kalian mempertanyakan kenapa orang Indonesia terkesan heboh banget kalau bertemu dengan orang asing kulit putih yang kita sebut “bule”?
Kebanyakan masyarakat kita terlihat bangga jika bisa berfoto dengan bule, kemudian memamerkannya di media sosial yang mereka punya. Tidak hanya sekedar berfoto, namun juga percakapan yang panjang sehingga si bule seperti tokoh Kulin di film terlalu tampan.
Seolah-olah bisa dekat dengan bule adalah suatu prestasi yang membanggakan sehingga bisa dipamerkan kepada siapa saja. Saya sendiri pun pernah seperti itu. Tapi jika dipikir pikir apa sih istimewanya bule? Padahal mereka juga orang biasa seperti kita. Bukan artis, apalagi pejabat.
Belum lama ini netizen Indonesia dibuat gemas dengan bule Kazakstan bernama Dayana. Berawal dari percakapan online dengan youtuber Indonesia Fiki Naki yang membuat netizen baper, followers Instagram Dayana yang awalnya hanya sekitar 2000 followers naik hingga 2,2 juta followers.
Dari peningkatan followers Dayana yang pernah meningkat drastis dan komentar-komentar yang dilontarkan sebelum dihujat seperti sekarang ini, terlihat jelas bahwa masih banyak orang Indonesia yang terkesan mengagung agungkan orang kulit putih.
Memang ras kulit putih asli di zaman sekarang yang mengadaptasi tren black aesthetic berlomba lomba mendapatkan kulit cokelat yang katanya eksotis.
Dalam kasus ini terlihat sangat jelas bahwa retorika white superiority adalah nyata. Karena orang kulit putih yang kita sebut “orang bule” tetap memiliki privilege atau hak istimewa dimanapun kapanpun tidak peduli segelap apapun kulitnya. Mereka tidak pernah mendapat diskriminasi dan tidak pernah dianggap rendah atau dianggap tidak berpendidikan oleh masyarakat kita. Bahkan bagi bule kulit tan atau kecokelatan sekarang dianggap berasal dari kelas atas yang menandakan mereka memiliki uang lebih banyak untuk berlibur dan berjemur.
Sementara saudara timur kita sendiri, orang-orang Papua malah sering mengalami diskriminasi dan rasisme dari masyarakat kita sendiri juga karena warna kulitnya.
Sebenarnya seperti apakah akar superioritas warna kulit ini?
Menengok dari sejarah, perbudakan ras kulit hitam disebabkan karena supremasi kulit putih yang ditanamkan oleh orang -orang Eropa bahwa ras kulit putih jauh lebih superior daripada ras lain bahkan harus berkuasa dan diperbolehkan membinasakan ras lain.
Pada masa apartheid orang yang berasal dari ras kulit hitam dipaksa melakukan pekerjaan berat di luar ruangan sedangkan mereka ras kulit putih boleh melakukan pekerjaan di dalam ruangan.
Akhirnya muncul anggapan yang langgeng dimana mana bahwa orang yang berkulit gelap dianggap orang miskin sementara orang yang berkulit putih dianggap lebih dianggap dari kalangan elite karena dipastikan tidak banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dibawah matahari.
Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sulit jika tidak dikaitkan dengan kolonialisme dan imperialisme bangsa barat terhadap bangsa kita. Dimana pernah juga terjadi perbudakan di nusantara yang terlihat dari perbudakan kerja paksa, dan perempuan-perempuan yang dijadikan gundik pemuas nafsu pada masa itu. Yang menyebabkan pemikiran bahwa ras kulit putih jauh lebih sempurna dari segala aspek.
Hal tersebut terlihat di keseharian kita ketika mengetahui perempuan lokal menikahi orang bule pasti dianggap memperbaiki keturunan. “oalah pantesan anaknya cakep orang suaminya bule” ujaran seperti ini tentunya sangat familiar di telinga kita kan? Kata “memperbaiki keturunan ini sebenarnya ‘nyelekit’ seolah olah mengisyaratkan bahwa kulit gelap itu buruk dan kulit terang itu bagus.
Melalui bidang entertaimet, fashion dan produk kecantikan di negara kita pun turut melanggengkan inferioritas bangsa kita terhadap bangsa barat. Dimana aktor dan aktris yang ditampilkan dalam industry perfilman sebagai tokoh utama protagonis selalu memiliki paras seperti bule. Apalagi artis-artis Indonesia yang blasteran, didewa dewakan dan dianggap tanpa cacat bak bidadari.
Akhirnya kulit putih, hidung mancung, dan langsing yang menjadi standar kecantikan masyarakat kita hingga detik ini. Katanya sih cantik dan ganteng itu relatif. Tapi rasanya tidak mungkin ada orang yang bisa mengatakan bahwa mbak Cinta Laura Kiehl yang ‘kebule-bulean’ nggak cantik.
Selain itu banjirnya produk produk kecantikan yang menggunakan ‘embel-embel’ white beauty, white secret, flawless white secara tidak langsung menanamkan anggapan bahwa kita harus putih jika mau disebut cantik. Tapi ini fakta. Alih alih menggunakan kata “cantik” biasanya masyarakat kita lebih memilih kata “hitam manis” untuk memuji perempuan berkulit gelap. Itupun untuk perempuan dengan kondisi fisik tertentu yakni berwajah mulus tanpa jerawat, berbadan kurus langsing dan hidungnya mancung.
Inferioritas ini memang sangat meresahkan khususnya di kalangan remaja putri yang dikit-dikit insinyur eh insecure. Meskipun mereka tidak benar benar membenci kulitnya yang berwarna sawo matang, pada akhirnya banyak dari mereka yang terpaksa mengikuti standar kecantikan yang ada.
Mengusahakan berbagai cara untuk menjadi semirip mungkin dengan bule. Atau paling tidak kulitnya harus berubah menjadi putih bagaimanapun caranya, tidak peduli apakah produk kecantikan yang mereka gunakan baik atau tidak untuk kulit, hanya agar diperlakukan dengan baik oleh orang lain. Alhasil tidak sedikit perempuan yang mengalami masalah pada kulitnya akibat kosmetik yang mereka gunakan.
Memang hampir tidak mungkin untuk menghapus pandangan bahwa bule atau ras kulit putih lebih superior daripada ras kita. Namun setidaknya kita menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan kulit sawo matang atau kulit hitam kita.
Tidak ada yang salah dengan hidung pesek kita. Tidak ada yang salah dengan tinggi badan kita. Perlahan lahan jika kita sadar, kita akan mampu mengedukasi orang-orang di sekitar kita untuk menciptakan pandangan yang baik terhadap semua ras, semua warna kulit, semua manusia.
Embrace your flaws! 😊
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H