Ini benar-benar membuat hati nya merasakan amarah. Namun meski begitu, ia harus sebisa mungkin menahannya. Karena sesuatu yang dilakukan dengan emosi tentu tidak akan menjadi baik. Justru jika begitu, maka bisa-bisa ia terjebak dalam emosi nya sendiri dan akan membuat suasana jauh lebih buruk.
***
Hujan yang semula hanya rintik-rintik kecil, kini berubah menjadi deras yang setiap kejatuhan nya begitu jelas terdengar di telinga. Riuh angin bak menyapa perlahan, juga sesekali berbisik halus.
Tangan Frans terangkat ke udara, bersentuhan dengan air tumpahan langit itu. Tak lama, lalu ia mendongak- menatap langit abu sore ini. Setelah diberi tahu jika dirinya ditunjuk sebagai pimpinan delegasi Nugini Belanda dalam Konferensi Meja Bundar ia benar-benar semakin dilanda kebingungan.
Nasib Irian Barat seolah ada di tangannya. Hati kecil Frans merasa bahwa Belanda tengah mencoba mendikte nya.
Besok pagi, apa yang menjadi pilihannya adalah apa yang sudah ia pikirkan matang-matang. Meski ia tahu risiko apa yang ia akan ia terima nanti nya jika ia tetap keukeuh mengatakan apa yang sudah menjadi keputusannya.
Tapi demi apapun, ia lebih baik seperti itu daripada terus-menerus berad dalam cengkraman Belanda yang kian merajalela. Ia harus siap dengan apapun nanti yang akan dihadapi nya.
Lalu tibalah esok hari, saat Frans mendatangi markas Belanda yang terlihat mencekam bahkan hanya dari luar saja. Ia memantapkan langkah dengan pandangannya yang lurus ke depan juga seperti terisi penuh dengan keteguhan.
"Jadi, bagaimana Frans?" Mr. Van Maarseveen bertanya dengan semangat kala mengetahui jika Frans datang dan nampaknya, Frans akan mengatakan keputusannya.
Frans menghela napas, lalu menatap sekeliling terlebih dahulu. Walau banyak orang-orang Belanda yang kini menatap nya tajam, ia harus tetap yakin dengan keputusannya ini.
"Tidak, saya tidak mau menjadi pimpinan. Kalian pasti berusaha mendikte saya. Dan ingat satu hal, Irian Barat, sampai kapanpun adalah Indonesia."