Mohon tunggu...
Tia Aryanti
Tia Aryanti Mohon Tunggu... Freelancer - love fiction

i will try to be better

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mika 2005

25 Oktober 2019   17:59 Diperbarui: 25 Oktober 2019   17:57 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh dari perkenalan apalagi untuk di kenal, jauh dari pujian bahkan sanjungan. seorang siswa sekolah dasar berambut pendek berjalan malu-malu dengan sepatu lusuh nya dan kaus kaki yang sudah kendur karena hilang karetnya. warna hitam sepatu nya yang mulai memutih dan ternganga alasnya, masih selalu ia gunakan.  katanya itu pemberian ayah yang paling mahal. melihat teman-teman sebaya nya yang memakai sepatu hitam dan terlihat kuat, sering kali membuatnya ingin dam berharap dapat memakainya. namun harapan itu tentu harus ia redam hingga tak terlihat, teringat wajah ayah yang selalu berkeringat sepulang bekerja tiap hari petang.

Ayah selalu mengatakan bahwa usahanya sebentar lagi akan terbuka, syaratnya mika harus bersabar dan rajin belajar. ayah nya selalu mengatakan bahwa dagangan nya laku keras dan sebentar lagi akan dapat uang dari pak bos.  selalu semangat dan optimis selalu ia tanamkan kepada mika.  mika anak yang cerdas, namun ketidak mampuan nya membeli buku pelajaran dan alat sekolah yang layak membuatnya lebih banyak takut dan pendiam.

Sebenarnya Mika sangat menyukai pelajaran seni, namun hal itu menjadi sedikit menyebalkan baginya ketika pelajaran seni yang mengharuskan untuk memakai pewarna yang tidak ia miliki. Baginya  harga pewarna itu mahal sekali. maka hari ini ia sedang mengumpulkan uang jajan nya untuk membeli pewarna yang di jual di warung alat tulis milik koh Acung.

Kata koh Acung, harganya 10 ribu untuk yang isi 10 warna, sekarang uang Mika masih ada 3.500 rupiah "pokonya aku gak akan jajan dulu hari ini" tekadnya dalam hati setiap pelajaran seni. Saat ini mika masih meminjam pewarna kepada Ayu teman sekelasnya,  namun mika hanya boleh meminjam 5 warna saja. katanya Ayu, 15 warna lagi adalah warna kesayangan nya. namun mika cukup tahu diri, di izinkan untuk memakai saja sudah syukur, karena ia tahu bahwa pewarna itu mahal dan tidak sanggup ia beli. Padahal, ingin sekali rasanya ia menggambar bunga yang penuh warna, boneka beruang merah muda yang sering kali ia impikan, tapi apa daya.. mika hanya mendapat pinjaman warna hitam, abu-abu, hijau tua, warna cream, dan kuning.

Pak tio selalu hafal gambar karya Mika, dari minggu ke minggu.. gambar yang ia kumpulkan selalu sama warna nya. kalau tidak kuning, ya hijau tua dan abu-abu, bahkan pernah suatu hari ia hanya memakai pinsil 2b untuk menggambar, karena di hari itu Ayu tidak masuk sekolah dan tidak ada teman lagi yang mau meminjamkan pewarnanya kepada Mika. Namun mika anak yang cerdas dan memiliki banyak imajinasi. Karya gambar nya selalu mendapat nilai tinggi di kelas. Namun tak ada apresiasi dari siapapun, tidak ada teman yang bertanya dan bangga padanya, termasuk pak Tio.

Mika termasuk anak yang sekolah karena biaya santunan, sekaligus anak yang tidak terlalu mendapat perhatian guru-guru, terlebih lagi sikap mika yang pendiam dan tampak menutup diri. Bagi mika, hal itu sudah menjadi hal wajar. Ia tahu, bahwa ia dapat biaya santunan untuk bersekolah saja sudah syukur dan tidak terfikirkan lebih untuk menikmati fasilitas, terlebih lagi perhatian dari guru dan teman sekolah. Karena baginya, di izinkan duduk di dalam ruang kelas pun sudah sangat beruntung. Maka inilah alasan yang mendorong ia memilih untuk diam dan mengalah.

Setiap pulang sekolah, mika selalu bingung. Kemana ia harus meminta  makan. Sampai di rumah ayah belum pulang dari pekerjaan nya, mama sudah lama meninggalkan mika dan ayah sejak setahun yang lalu. Setiap kali ia melihat sekeliling bangunan sudut rumah kecil nya, hanya terlintas mama. Mama sedang memasak, mama sedang menyapu, mencuci piring dan pakaian hingga masih hangat rasanya senyum mama yang sedang menunggu mika sembari menonton televisi. Tapi tuhan sayang mama, itu yang dibilang ayah kepada Mika. Meskipun masih banyak pertanyaan yang menggelayuti fikiran mika "mengapa tuhan ingin menang sendiri? Apakah tuhan tidak sayang mika dan ayah?", namun rasa sedih Mika lebih besar dari pada jutaan pertanyaan yang ada di kepalanya, hingga akhirnya hanya air mata yang dapat membuncahkan perasaan nya kala itu.

Mama selalu bilang, mika anak kebanggaan mama. Mika harus nurut sama ayah, jangan lupa makan. "mika, sebentar lagi ayah pulang nih bawa makanan enak! Tunggu sebentar ya nak. Mika mau makan apa?" suara ayah dari jauh dalam telpon uwa Hamid dan entah ayah sedang berada dimana, ayah selalu semangat saat menelpon Mika. Sering kali mika dipanggil uwak Hamid untuk menerima telepon dari ayah. Tapi hari ini, mika dengar sesuatu yang membuatnya kaget dan sedih saat di telepon ayah.

Di telepon itu ada suara laki-laki yang sedang marah-marah di dekat ayah, entah kepada siapa marah nya. "kalau mau nipu jangan disini pak !! duit udah lu makan, barang udah dua minggu ga lu anter ! di telpon gak diangkat-angkat ! BALIKIN SINI DUIT DAGANG GUA !" tut.. tuut.. tuuut.. . mika tersentak kaget dan spontan menutup telepon itu, tentu saja karena gentar saat dengar suara bagai petir di sebrang sana. Perasaan mika mengatakan bahwa orang itu marah kepada ayah, namun semua itu ia tepis. Tidak mungkin ayah menipu orang lain, ayah orang baik, ayah orang yang cerdas dan pintar. Ayah tidak mungkin menipu. Bahkan petang ini ayah belum juga pulang.

Mika masih menunggu ayah membawa makanan enak, namun jauh dari dalam hatinya mika masih memikirkan apa yang terjadi kepada ayah setelah ayah menutup telepon nya tadi siang. Apakah ayah tidak pulang karena ayah kena marah orang di telpon tadi?, ah film sinetron nya jadi tidak seru! mika terlalu kalut dan khawatir yang dihantui jutaan pertanyaan. Semua ini membuanya sedikit gentar. "ayah.. ayah lagi dimana..?".

"assalamualaikum, mika.. ayah bawa ayam bakar nih buat mika. Mika makan yu sama ayah",suara ayah membangunkan mika seketika yang baru saja terlelap, banyak pertanyaan hari ini untuk ayah, namun melihat wajah lelah dan rambut berantakan ayah yang mulai memanjang karena belum di cukur. pertanyaan itu ia ganti menjadi pelukan hangat. "ayah minta maaf ya nak, mika jadi laper banget karna ayah telat ya. Pokonya besok ayah pulang lebih awal biar mika nggak ketiduran sambil lapar lagi !" kata ayah, sembari melihat mika makan dengan lahap. Mika hanya mengangguk senang dapat mendengar kata-kata ayah yang sangat menenangkan. 

Ayam bakar malam ini begitu lezat bagi mika, tanpa henti doa selalu ia sertakan dalam hati untuk kesehatan ayah. Mika tidak peduli dengan orang lain yang menghina ayah. Bagi mika, ayah adalah kebanggan nya satu-satunya di dunia yang ia miliki. malam ini begitu sendu untuk mika dan ayah, dan di tutup dengan janji mika sembari mencium kening ayah yang tertidur lelap di depan ruang televisi. "ayah, semoga ayah sehat terus, sampai lihat mika bisa punya banyak uang untuk ayah !".

Hari ini jika ada orang yang bilang ayah penipu dan tidak punya uang. Esok Aku akan buktikan, aku anak ayah yang sukses dan berhasil. Tekad mika yang begitu besar, terus ia tanamkan dari hari ke hari sehingga ia tumbuh menjadi anak yang tegar dan tahan banting. Tidak banyak bicara namun lebih banyak berfikir dan bertindak,  itu lah mika hari ini esok dan seterusnya.

Pagi ini hujan begitu deras,berangkat sekolah jadi terhambat. Mika sedikit menggerutu dalam hati, "ah kaus kaki pasti basah nih kalau jalan ", sepatu rapuh itu tidak mampu melindungi kaki mika yang terbalut kaus kaki saat tanah menjadi becek ketika hujan turun. Ayah sudah pergi bekerja dari jam 6 pagi, jadi mau tidak mau mika harus berangkat sendiri ke sekolah. Uang saku dari ayah sebesar dua ribu rupiah di selipkan di kantung baju sekolah mika untuk jajan hari ini, seribu rupiah tidak lupa ia sisihkan untuk membeli pewarna impiannya di warung koh Acung.

Bel pulang sekolah telah berbunyi, antara senang dan bingung ketika mika harus pulang. Ia seperti memiliki rumah namun tak ada tempat untuk pulang, tidak ada mama yang menunggunya lagi sepulang sekolah. Tidak ada yang menyuruhnya lagi untuk sekadar membeli garam ke warung kelontong milik bang ucok. Seperti sudah tergambar saja semuanya. Pulang sekolah di teriaki untuk makan oleh nenek yang galak dan ketus, lalu bermain hingga sore dengan teman-teman sembari menunggu ayah pulang petang membawa makanan.

Ah, ingin sekali cepat besar rasanya dan menghasilkan uang untuk membantu ayah. Namun waktu terasa begitu lambat. Hingga akhirnya sampai di depan rumah, ia terdiam heran mengapa banyak orang yang menunggu di depan rumah nya. ada apa ini? Mengapa orang marah-marah dan menunggu di rumah ku?.

Ber sambung.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun