Mohon tunggu...
Tia Aryanti
Tia Aryanti Mohon Tunggu... Freelancer - love fiction

i will try to be better

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mika 2005

25 Oktober 2019   17:59 Diperbarui: 25 Oktober 2019   17:57 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayam bakar malam ini begitu lezat bagi mika, tanpa henti doa selalu ia sertakan dalam hati untuk kesehatan ayah. Mika tidak peduli dengan orang lain yang menghina ayah. Bagi mika, ayah adalah kebanggan nya satu-satunya di dunia yang ia miliki. malam ini begitu sendu untuk mika dan ayah, dan di tutup dengan janji mika sembari mencium kening ayah yang tertidur lelap di depan ruang televisi. "ayah, semoga ayah sehat terus, sampai lihat mika bisa punya banyak uang untuk ayah !".

Hari ini jika ada orang yang bilang ayah penipu dan tidak punya uang. Esok Aku akan buktikan, aku anak ayah yang sukses dan berhasil. Tekad mika yang begitu besar, terus ia tanamkan dari hari ke hari sehingga ia tumbuh menjadi anak yang tegar dan tahan banting. Tidak banyak bicara namun lebih banyak berfikir dan bertindak,  itu lah mika hari ini esok dan seterusnya.

Pagi ini hujan begitu deras,berangkat sekolah jadi terhambat. Mika sedikit menggerutu dalam hati, "ah kaus kaki pasti basah nih kalau jalan ", sepatu rapuh itu tidak mampu melindungi kaki mika yang terbalut kaus kaki saat tanah menjadi becek ketika hujan turun. Ayah sudah pergi bekerja dari jam 6 pagi, jadi mau tidak mau mika harus berangkat sendiri ke sekolah. Uang saku dari ayah sebesar dua ribu rupiah di selipkan di kantung baju sekolah mika untuk jajan hari ini, seribu rupiah tidak lupa ia sisihkan untuk membeli pewarna impiannya di warung koh Acung.

Bel pulang sekolah telah berbunyi, antara senang dan bingung ketika mika harus pulang. Ia seperti memiliki rumah namun tak ada tempat untuk pulang, tidak ada mama yang menunggunya lagi sepulang sekolah. Tidak ada yang menyuruhnya lagi untuk sekadar membeli garam ke warung kelontong milik bang ucok. Seperti sudah tergambar saja semuanya. Pulang sekolah di teriaki untuk makan oleh nenek yang galak dan ketus, lalu bermain hingga sore dengan teman-teman sembari menunggu ayah pulang petang membawa makanan.

Ah, ingin sekali cepat besar rasanya dan menghasilkan uang untuk membantu ayah. Namun waktu terasa begitu lambat. Hingga akhirnya sampai di depan rumah, ia terdiam heran mengapa banyak orang yang menunggu di depan rumah nya. ada apa ini? Mengapa orang marah-marah dan menunggu di rumah ku?.

Ber sambung.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun