Mohon tunggu...
Tia Sulaksono
Tia Sulaksono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Random writer, suka menulis apapun. Buku solo: Petualangan Warna-Warni (kumpulan cerpen anak), JERAT KELAM (antologi cerpen horor). Dan 17 buku antologi puisi dan cerpen.

Perempuan biasa yang terbuat dari bahan organik tanpa pemanis buatan. Hanya ingin dikenal melalui karyanya. Betina misterius dan keras kepala. Jangan panggil bu, karena bukan ibu-ibu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matinya Kucing-Kucing di Kota

6 Desember 2024   17:12 Diperbarui: 6 Desember 2024   17:28 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi, desain Canva AI oleh TiSu 

"Bi-a-dab!"
Lelaki berjaket hijau daun mengepalkan tangan menatap lurus pada jalanan. Aspal yang seharusnya keabuan dengan sedikit air sisa hujan semalam, kini penuh genangan berwarna merah.


Merah. Merah. Di mana-mana merah.


Sumpah serapah menggaung memenuhi lorong-lorong kota Tuwa. Puluhan kucing ditemukan terbujur kaku pagi ini -- di atas genting, tergantung di bawah lampu lalu lintas, tersangkut ranting-ranting pohon menggantikan bebungaan, dan di tiap sudut jalan. Jasad-jasad tak berdosa itu tak hanya mengundang kerumunan warga yang selalu saja penasaran, kumpulan lalatpun tak mau kalah. Baik warga dan lalat, berebut ingin mendekat. Warga mendengungkan makian, lalat mendengungkan rasa lapar.


Tak sampai satu jam dengungan makian digantikan alunan sirine memilukan. Polisi beserta penyelidik dan ahli forensik didatangkan. Seserius itu petugas tata tertib kota menangani, mengingat korban berjumlah puluhan. Kepala tata tertib mengkhawatirkan kekacauan yang kelak akan terjadi jika kasus langka ini tak segera ditangani -- tentu saja dia memikirkan reputasinya.


Dalam angannya, pada perhelatan menyambut tahun baru minggu depan, dia akan tampil berpidato mendampingi Bapak Walikota. Dan masyarakat akan mengelukannya sebagai pahlawan. Komunitas pecinta kucing yang disegani di kota Tuwa, akan memberinya penghargaan tinggi. Ah, ini prestasi bagus di akhir tahun bukan.


"Tolong beri ruang pada petugas," teriak pria sedikit tambun yang turun dari mobil dinas hitam mengkilap. Pria itulah kepala tata tertib yang dibicarakan di atas.


"Warga dimohon untuk menjauhi tempat-tempat kejadian demi mudahnya penyelidikan. Sekali lagi, para warga dimohon menjauh. Biarkan petugas yang menangani," sambung seorang polisi muda dengan toa di tangannya.


Lelaki berjaket hijau daun akhirnya pergi setelah sang kepala tata tertib pergi.


"Sekadar seremonial pencitraan," nyinyirnya pelan lalu memutuskan untuk duduk di warung kopi tak jauh dari lokasi. Para polisi maju sambil mendesak bahu, mendorong punggung, kemudian menarik lengan beberapa orang yang menonton.


"Permisi! Tolong menyingkir, ini bukan tontonan. Dan tolong jangan sentuh apapun agar jejak pelaku tak hilang." Petugas lain kembali memperingatkan. Rekan-rekannya mulai mengamati kucing-kucing malang itu.


Ahli forensik dan penyelidik berbagi tugas. Mereka memotret, mengambil sampel kemudian mengevakuasi jasad. Puluhan kantong kresek disiapkan sebagai pengganti kantong jenazah. Cukup lama mereka berkutat mengumpulkan bukti. Sorot kelelahan berbalut lelehan keringat terpampang jelas di wajah dan mata mereka.


"Akhir tahun yang berat," keluh salah satu di antara para petugas seraya melangkahkan kaki menuju warung kopi.


"Kau! Hei, pria berjaket hijau!" Polisi muda yang masih menggenggam toa, berteriak memanggil pria berjaket hijau daun.


Pria berjaket hijau daun mendekat, "Ya, Pak?"


"Apakah kau sudah lama berdiri di tempat kejadian?" Pria berjaket hijau daun mengangguk.


"Bisa ceritakan yang kau ketahui?"


"Tadi sekitar jam 5 lewat, saya melintas di jalan ini mencari kucing saya yang hilang. Namun, betapa terkejutnya saya mendapati pemandangan yang memilukan."


"Apakah ada yang mencurigakan sebelumnya?" Kali ini polisi muda tersebut beralih ke pemilik warung.


"Saya baru buka jam 7. Semalam, tidur terlalu lelap, Pak. Saya tak mendengar kegaduhan apapun."


Belum juga mulut pemilik warung tertutup, polisi muda sudah merogoh kantong celana mengeluarkan ponsel yang berbunyi nyaring. Dari mimik mukanya, tampak sekali kegelisahan. Dengan gerakan cepat, polisi itu berdiri dan mengajak rekannya beralih lokasi.


"Korban lagi," gerutunya.
"Saya ikut, Pak," seru pria berjaket hijau. "Saya mau mencari kucing saya," sambungnya sebelum sang polisi bertanya.


***


Dalam tiga hari, populasi kucing liar di kota Tuwa semakin menipis. Kejadian aneh ini menyibukkan polisi yang seharusnya berkonsentrasi menangani penjual petasan, mengoperasi knalpot brong, dan sejumlah tindakan melawan hukum lainnya yang biasa terjadi menjelang tahun baru.


Pelaku sulit dilacak, sedikitpun tak meninggalkan jejak. Bagian forensik melaporkan tak menemukan sidik jari di tiap jasad kucing. CCTV jalan tak menangkap pergerakan apapun. Ini yang paling aneh. Bagaimana cara pelaku menggantung bangkai di atas lampu lalu lintas tanpa tertangkap layar? Apakah mereka hantu? Pertanyaan-pertanyaan yang saat ini sulit dijawab.


Warga resah. Yang paling terdampak adalah warung makan. Bau busuk yang menguar ditambah datangnya jutaan lalat tentu saja membuat pembeli enggan mendekat. Warungpun tutup satu per satu. Satu-satunya yang berjaya adalah penjual terompet dan petasan. Tunggu dulu, bukankah petasan dilarang.


"Coba kau pergi ke gedung pengendali kamera pengawas. Selidiki ada apa di sana. Aku akan ke bagian forensik memeriksa para bangkai sialan itu."


"Permisi, Pak." Dari arah luar pria berjaket hijau daun mendekat. Jaketnya masih sama.


"Kau lagi. Apa kucingmu belum ketemu?"


"Belum, Pak. Biskuit tak tampak di antara para bangkai yang diketemukan."


"Biskuit?"


"Ah ya. Itu nama kucing saya karena dia suka sekali makan biskuit."


"Ada keperluan apa kau ke sini?"


"Saya menemukan daun ini, Pak. Ada empat daun saya temukan di empat lokasi berbeda, masing-masing agak jauh dari bangkai kucing. Bahkan satu daun ini masih melekat hidup di rantingnya."


Daun bertuliskan deretan empat angka '2624', '2424', '2627', '2824' dalam kantong plastik itu di pegangnya dengan hati-hati. Angka itu ditulis dengan cat kuku. Cukup cantik dilihat, mengingatkannya pada souvenir pernikahan. Pasti pelaku sudah menyiapkan segalanya sebelum bertindak.


Mendapat temuan yang kira-kira menjadi bukti baru, sang polisi muda mengurungkan niat untuk pergi. Dia kembali ke ruangannya bermaksud memecahkan teka-teki empat angka itu. Dia mengambil kertas, kemudian mencoret-coretnya.


"Ah, kopstanta kaprekar!" serunya bahagia.
6422-2246 = 4176
7641-1467 = 6174


Dari 4 angka pertama sudah ditemukan hasil 6174 yang merupakan teori kopstanta kaprekar. Kembali dia berpikir, hasil akhir ini merujuk pada apa? Angka ini seharusnya menjadi petunjuk. Dan jika pelaku sengaja meninggalkan petunjuk, dia ingin dilacak. Huft, merepotkan saja.


"Pak Romi, bisa minta tolong ke bagian forensik untuk mencocokkan tulisan?" pintanya pada sang rekan melalui telepon.


Pak Romi masuk ruangan mengambil daun dan berlalu. Polisi muda itu kembali berkutat pada angka-angka tersisa yang semua merujuk pada deretan angka yang sama yaitu '6174'. Pelaku pasti mengarahkan pada satu tempat atau satu sosok. Kemungkinan sementara, kasus ini adalah pengalihan perhatian.


"Ketemu!" serunya lagi.


Bersamaan dengan itu, rekannya dari pusat pengendali kamera pengawas menelepon bahwa CCTV disabotase. Rekaman pada waktu peletakan bangkai, telah dipotong. Petugas pengawas sudah diamankan.


Sementara di sebuah ruangan, seorang pria sedikit tambun duduk berhadapan dengan lelaki kurus tinggi. Mereka saling memandang cukup sengit, dibalut senyum licik. Jari masing-masing mengepit sebatang rokok yang dibiarkannya terbakar tanpa diisap.


"Saya sudah membantu Anda banyak. Apakah hanya ini yang bisa Anda beri?" Amplop coklat besar ditimangnya.


"Simbiosis mutualisme. Saya bebas menjual petasan, Anda mendapat peghargaan. Jadi sebaiknya Anda jangan memeras saya," kata pria kurus sambil berlalu keluar ruangan.


***


Pagi ini, kembali polisi berkumpul di perempatan menangani kasus yang masih saja sama. Bangkai kucing bergeletakan di mana-mana. Polisi muda datang memamerkan senyum. Tak lama, kepala tata tertib kota tiba bersama rombongan dalam tiga mobil.


"Saya ikut menangani kasus ini karena menyangkut ketertiban kota kita tercinta. Saya sudah mengamati bagaimana kucing-kucing manis itu mati. Orang saya, bekerja keras mencari petunjuk termasuk mendapat sidik jari dan rekaman CCTV," celoteh pria sedikit tambun itu.


"Terima kasih, Pak. Tak perlu repot. Kami sudah mengumpulkan bukti dan menemukan aktor dibalik kejadian ini." Polisi muda menatap tajam pria di depannya. Polisi lain meringsek mengelilingi pejabat itu.


"S-siapa?"


Pria sedikit tambun itu memucat. Kepalanya menoleh kiri dan kanan dengan cepat. Tanpa disadari, tangannya sudah diborgol.


"Anda bisa memberi keterangan di kantor, Pak. Silakan nanti Bapak telpon pengacaranya." Senyum polisi muda kian mengembang. Kepala tata tertib berontak berteriak memaki petugas yang menggelandangnya. Kemudian sebuah mobil van berwarna hitam melintas melempar sesuatu. Ledakan terjadi. Semua panik.


"Ha-ha-ha ... Kebenaran atau keburukan tak penting. Siapapun yang lebih licik, dialah pemenang sesungguhnya." Tawa pemilik pabrik petasan menggema memenuhi mobil van.


Kota Tuwa, 6 Desember 2024

Catatan:
Konstanta Kaprekar diambil dari nama ahli matematika India, Dattatreya Ramchandra Kaprekar (1905-1986). Teori Konstanta Kaprekar mengungkap angka misterius 6174. Yang ketika melakukan perhitungan terhadap empat angka secara acak, kemudian empat angka itu diurutkan dari terbesar dan dikurangi ke urutan dari terkecil, maka hasil akhir akan muncul angka 6174. Seperti angka 2624 pada cerita di atas. Angka itu diurutkan dulu dari besar ke kecil menjadi 6422 yang nantinya dikurangi dengan urutan dari terkecil. Seperti di bawah ini contohnya:
6422-2246 = 4176
7641-1467 = 6174

Selamat bermain angka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun