Mohon tunggu...
Tia Sulaksono
Tia Sulaksono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Random writer, suka menulis apapun. Buku solo: Petualangan Warna-Warni (kumpulan cerpen anak), JERAT KELAM (antologi cerpen horor). Dan 17 buku antologi puisi dan cerpen.

Perempuan biasa yang terbuat dari bahan organik tanpa pemanis buatan. Hanya ingin dikenal melalui karyanya. Betina misterius dan keras kepala. Jangan panggil bu, karena bukan ibu-ibu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sup Lada Buatan Babe

12 November 2024   22:49 Diperbarui: 13 November 2024   08:38 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesekalinya mendengar suaranya hanya saat memarahiku. Ah mungkin aku lupa. Mungkin saja sekali, dua kali dia pernah menyapaku. Tapi aku lupa. Benar-benar lupa. Maafkan aku.

Aku bahkan tak tahu apakah babe sayang sama aku -- atau sebaliknya. Sekali lagi maafkan aku. Duduk berduapun canggung. Saking canggungnya, aku tak pernah bisa satu ruangan sama babe. Selalu saja kucing-kucingan. Jika babe masuk ruang makan, aku ke dapur. Jika babe mau lewat dapur, aku langsung naik ke loteng. Jika babe terdengar menaiki tangga, aku naik genteng. 

Jika kebetulan terpaksa duduk berdua, kami hanya saling diam. Babe baca koran, aku baca pikiran. Karena bingung mencari topik pembicaraan agar tak canggung, iseng aku buka obrolan. 

"Maaf permisi, bapak namanya siapa? Kerja di mana? Sudah punya putra?"

Hingga, sakit menjadi sebuah keajaiban. Babe pun paling rajin menanyakan bagaimana kuliahku, bagaimana kesehatanku, mengapa aku kurusan. Akupun membiasakan diri bertanya bagaimana keadannya, apa yang dikeluhkan atau maukah kusuapi. Dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Bukan seperti 'alm nenek sudah sembuh?'.

Hubungan yang mulai mencair membuat target kuliahku untuk babe. Kupacu diriku sekeras mungkin agar bisa membanggakannya. Dan akhirnya berhasil membuat babe bangga dengan menggandengnya ke atas panggung untuk menerima penghargaan sebagai mahasiswi terbaik. Meski dengan langkah terseok karena kaki kanannya lumpuh. Wajah bungah membuncah babe tampakkan, terutama ketika dekanku sendiri yang menjemput untuk turun panggung. Aku puas. Mungkin itu satu-satunya yang bisa babe banggakan dariku.

***

"Sup buatan Babe sungguh lezat," ujarku pada ruang kosong. Seharusnya kalimat itu kuutarakan bertahun lalu di hadapan babe. Namun, waktu itu mulutku serasa terkunci oleh kebekuan kami. 

Keterasingan yang berakhir di saat-saat aku melewatkan Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, atau Senin bersama babe seutuhnya. Kami berbicara selayaknya orang tua dan anak. Tak lagi berupa kecapan dan desisan di meja makan.

"Jangan terlalu kurus, hiduplah dengan baik." Itu kata-kata terakhir, kemudian disusul tawa yang menghentikan detak jantungnya. Sup lada babe kini sering kami rindukan, sama seperti nasi goreng papa dalam kanal TV waktu itu.

Happy Father's Day

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun