Sesekalinya mendengar suaranya hanya saat memarahiku. Ah mungkin aku lupa. Mungkin saja sekali, dua kali dia pernah menyapaku. Tapi aku lupa. Benar-benar lupa. Maafkan aku.
Aku bahkan tak tahu apakah babe sayang sama aku -- atau sebaliknya. Sekali lagi maafkan aku. Duduk berduapun canggung. Saking canggungnya, aku tak pernah bisa satu ruangan sama babe. Selalu saja kucing-kucingan. Jika babe masuk ruang makan, aku ke dapur. Jika babe mau lewat dapur, aku langsung naik ke loteng. Jika babe terdengar menaiki tangga, aku naik genteng.Â
Jika kebetulan terpaksa duduk berdua, kami hanya saling diam. Babe baca koran, aku baca pikiran. Karena bingung mencari topik pembicaraan agar tak canggung, iseng aku buka obrolan.Â
"Maaf permisi, bapak namanya siapa? Kerja di mana? Sudah punya putra?"
Hingga, sakit menjadi sebuah keajaiban. Babe pun paling rajin menanyakan bagaimana kuliahku, bagaimana kesehatanku, mengapa aku kurusan. Akupun membiasakan diri bertanya bagaimana keadannya, apa yang dikeluhkan atau maukah kusuapi. Dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Bukan seperti 'alm nenek sudah sembuh?'.
Hubungan yang mulai mencair membuat target kuliahku untuk babe. Kupacu diriku sekeras mungkin agar bisa membanggakannya. Dan akhirnya berhasil membuat babe bangga dengan menggandengnya ke atas panggung untuk menerima penghargaan sebagai mahasiswi terbaik. Meski dengan langkah terseok karena kaki kanannya lumpuh. Wajah bungah membuncah babe tampakkan, terutama ketika dekanku sendiri yang menjemput untuk turun panggung. Aku puas. Mungkin itu satu-satunya yang bisa babe banggakan dariku.
***
"Sup buatan Babe sungguh lezat," ujarku pada ruang kosong. Seharusnya kalimat itu kuutarakan bertahun lalu di hadapan babe. Namun, waktu itu mulutku serasa terkunci oleh kebekuan kami.Â
Keterasingan yang berakhir di saat-saat aku melewatkan Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu, atau Senin bersama babe seutuhnya. Kami berbicara selayaknya orang tua dan anak. Tak lagi berupa kecapan dan desisan di meja makan.
"Jangan terlalu kurus, hiduplah dengan baik." Itu kata-kata terakhir, kemudian disusul tawa yang menghentikan detak jantungnya. Sup lada babe kini sering kami rindukan, sama seperti nasi goreng papa dalam kanal TV waktu itu.
Happy Father's Day