Parasnya tak elok
Lusuh reyot
Berdiri pun ia limbung
Tak pernah ada yang mendandaninya
Tak pernah ada yang menyapanya
Dalam kesejatian
Ia ada
Entah sampai kapan
Seumur dunia mungkin
Atau
Ketika dunia dengan alam sebagai pesoleknya
Mulai akan menghardik
Ia sering berandai
Acap kali pula mengandai
Terlalu banyak
Yang ia saksikan
Ia rasa
Ia alami
Meski
Tetap berandai dan mengandai
Bisa saja sekonyong-konyong
Dua sosok atas nama asmara
Setelah tengak-tengok
Merebahkan diri di pangkuannya
Berasyik
Bermasyuk
Tentu atas nama asmara yang sejatinya antah berantah
Pernah pula
Entah siapa
Bau dendam membuncah
Terduduk sekejap kemudian senyap berlalu
Berkali
Petani penggarap yang sudah miskin
Berlama-lama memandangi lahannya
Yang sudah centang-perenang
Kemudian
Seperti yang lainnya
Duduk
Merebahkan diri sambil menahan nestapa
Dulu pernah ada
Segerombolan
Berseragam
Mampir
Untuk
Entahlah
Gubuk itu pernah menjadi saksi
Bahkan jadi bagian
Ketika ada laki perempuan
Dihakimi beramai-ramai
Atas nama pelanggaran norma
Gubuk itu menyaksikan
Bahwa atas nama norma
Manusia bisa sejahanam binatang paling jadah
Banyak
Banyak lagi
Banyak
Gubuk akan terus berandai dan mengandai
Andai saja
Andai saja
Dan andai saja
Ia ada
Ia saksi
Namun
Ia terbungkam dibisukan
Ia seperti tersapu oleh pongahnya dunia
Bahkan
Memohon pada Rabb nya saja ia kelu
Rabb pasti faham
Dengan berandai dengan mengandai
Gerimis Sabtu malam, 30520
Tia Damayanti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H